Menilik sejarah dalam tataran nasional, peran serta KH Abdul Wahab Chasbullah dalam perjuangan kemerdekaan jelas besar, sehingga pada tahun 2014 lalu Mbah Wahab dianugerahi gelar Pahlawan Nasional menyusul dua sosok muassis NU sebelumnya, yakni KH Muhammad Hasyim Asy’ari yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional sejak 1961 dan KH Abdul Wahid Hasyim tahun 1964.
Gelar Pahlawan Nasional ini disematkan karena semasa hidupnya, Mbah Wahab memiliki peran sentral sebagai penggerak nasionalisme santri dengan strategi terstruktur yang menggerakkan unit terpenting dari bagian-bagian kehidupan sosial kemasyarakatan yakni dengan melakukan pergerakan pendidikan sosial, keagamaan dan pergerakan ekonomi.
Dimulai dengan pergerakan nasionalisme di bidang pendidikan demi tercapainya kemerdekaan Indonesia melalui pembentukan perguruan yang berfungsi sebagai wadah menggembleng pemuda baik dari segi keilmuan, keagamaan dan kebangsaan dengan nama organisasi Nahdhatul Wathan. Organisasi pendidikan ini secara resmi tercatat secara hukum tahun 1916.
Sesuai arti namanya, Nahdhatul Wathan bertujuan sebagai wadah diskusi dan menyusun strategi bagaimana bisa meraih kemerdekaan yang diidam-idamkan. Tentunya dengan sasaran santri sebagai aktor utamanya. Dimulai dengan menyemangati secara personal kepada individu-individu yang bergabung dalam Nahdhatul Wathan serta menumbuhkan semangat perjuangan untuk mengusir penjajah yang menginjak-menginjak kedaulatan negara Indonesia kala itu.
Dimulai dengan terbentuknya Nahdhatul Wathan yang hanya di satu wilayah, akhirnya bermunculan berbagai cabang di berbagai daerah dengan nama berbeda. Uniknya, meski dengan nama berbeda, cabang-cabang Nahdhatul Wathan di daerah tetap menggunakan nama dengan Bahasa Arab. Hal ini dinilai sebagai salah satu strategi Mbah Wahab agar Belanda tidak curiga dengan berkembangnya organisasi ini. Nahdhatul Wathan cabang Gresik diberi nama Far'ul Wathan (elemen bangsa), di Wonokromo bernama Ahlul Wathan (warga bangsa) kemudian di Jombang diberinama Hidayatul Wathan (Pencerah Bangsa).
Tak hanya sukses membentuk pergerakan nasionalisme berbasis pendidikan, Mbah Wahab juga menyasar pergerakan nasionalisme keagamaan dengan membentuk forum diskusi bertajuk Taswirul Afkar. Wadah diskusi ini sebagai upaya pengembangan pemikiran tentang keagamaan dan sosial kemasyarakatan, serta menciptakan pemuda-pemuda yang memiliki pemikiran inklusif yang bisa memahami teks-teks keagaamaan secara kontekstual tidak hanya tekstual.
Sebab, secara konteks saat itu berbagai pemikiran keagaamaan muncul bahkan pemikiran-pemikiran anti madzab yang mulai mewabah seiring kondisi keagamaan yang berkembang di timur tengah. Harapannya, semangat nasionalisme kebangsaan bisa berjalan selaras dengan semangat keagamaan. Sehingga, keduanya tidak timpang.
Pergerakan-pergerakan yang dirintis Mbah Wahab tentu saja tidak akan berjalan optimal tanpa dukungan meteriil yang menopangnya. Karena itu, agar semua pergerakan bisa maksimal dengan fungsinya masing-masing, Mbah Wahab kemudian menginisiasi pendirian Nahdhatut Tujjar sebagai motor penggerak ekonomi dalam bentuk lembaga dagang yang dikelola oleh para kiai pesantren. Nahdhatut Tujjar berdiri tahun 1918 yang menjadi tonggak pembiayaan pergerakan Nahdhatul Wathan dan gerakan Nasional lainnya yang ditanggung oleh para dermawan secara sukarela, serta untuk membiayai pendidikan atau aktivitas politik lainnya. Lembaga ini pula yang menjadi embrio terbentuk nya Nahdhatul Ulama (NU). Ketika NU berdiri, maka dengan sendirinya lembaga itu melebur dalam NU.
Dari pengalaman dan inisiasi-inisiasi pergerakan nasionalisme Mbah Wahab ini kita tahu bahwa keseluruhan nadi gerakan harus bersinergi untuk mencapai sebuah cita-cita luhur dalam berorganisasi. Sebab, penting sekali membangun kesadaran untuk bekerja sama bukan hanya sama-sama bekerja. []
Nidlomatum MR, pengurus Pimpinan Cabang Fatayat Nahdlatul Ulama Kabupaten Bogor, Jawa Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar