Kamis, 23 Februari 2023

(Ngaji of the Day) Hadits Dha’if Boleh Menjadi Dalil Hukum? Ini Kajiannya

Pada tulisan sebelumnya, Ternyata Hadits Dha’if Sunah Diamalkan, Begini Jelasnya, telah dijelaskan bahwa hadits dha’if hukumnya sunah diamalkan dalam hal targhib wa tarhib dan fadhailul a’mal. Targhib wa tarhib sebagaimana dijelaskan Imam Al-‘Iraqi dalam hal ini mencakup beberapa tema seperti mau’idhah, kisah, fadhailul a’mal, dan semacamnya. (Abdul Hayyi Al-Laknawi, Al-Ajwibah Al-Fadhilah, [Kairo: Darus Salam, 2016], halaman 39). 

 

Definisi Fadhailul A’mal  

 

Adapun fadhailul a’mal sebenarnya adalah bagian dari targhib wa tarhib. Lalu Apa maksud istilah fadhailul a’mal?

 

Jawaban dari pertanyaan tersebut dapat kita gali dari keterangan Imam An-Nawawi di bawah ini: 


قال العلماء من المحدثين والفقهاء وغيرهم: يجوز ويستحب العمل في الفضائل والترغيب والترهيب بالحديث الضعيف مالم يكن موضوعا وأما الحلال والحرام والبيع والنكاح والطلاق وغير ذلك فلا يعمل فيها إلا بالحديث الصحيح أو الحسن، إلا أن يكون في احتياط في شيء من ذلك كما إذا ورد حديث ضعيف بكراهة بعض البيوع أو الأنكحة فإن المستحب أن يتنزه عنه

 

Artinya, “Para ulama ahli hadits, fikih, dan lainnya berpendapat bahwa boleh dan disunahkan mengamalkan hadits dha’if dalam fadhailul a’mal, targhib, dan tarhib selama hadits tersebut bukan hadits maudhu’. Adapun untuk ketentuan halal-haram, jual-beli, nikah, talak, dan semisalnya, maka selain hadits shahih dan hasan tidak boleh digunakan. Kecuali dalam rangka ihthiyath (berhati-hati). Misalnya ada hadits dha’if yang menjelaskan hukum makruh beberapa bentuk transaksi jual-beli atau akad nikah, maka disunahkan untuk menjauhi transaksi dan akad tersebut.” (An-Nawawi, Al-Adzkar, [Jakarta: Darul Kutubil Islamiyyah, 2004], halaman 17-18).

 

Pada keterangan di atas, An-Nawawi membandingkan antara fadhailul a’mal dan hukum halal-haram. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa maksud dari fadhailul a’mal adalah perkara selain hukum halal-haram. Maksud dari halal dan haram sendiri adalah hukum fardhu dan haram. Maka, hukum syariat selain fardhu dan haram, yakni sunah dan makruh masuk kategori fadhailul a’mal.

 

Hal ini dibuktikan dengan bagian akhir keterangan di atas, yaitu kesunahan meninggalkan beberapa perkara berdasarkan dalil hadits dha’if. Adapun hukum mubah tidak masuk kategori fadhailul a’mal, karena dalam hukum mubah tidak terdapat anjuran atau larangan.

 

Syekh Muhammad ‘Awwamah dengan tegas menjelaskan hal tersebut. Beliau mengatakan:


وأما الحلال والحرام فينبغي ملاحظة مدلولها والوقوف عنده، فقد فهم بعضهم منها الأحكام التشريعية الخمسة، في حين أنهم يريدون بها الفرض والحرام فقط. أما ما سواهما من مسنون ومكروه ومباح فلا. فالمسنون والمكروه داخلان تحت الفضائل

 

Artinya, “Adapun halal dan haram, sebaiknya diperhatikan maknanya. Sebagian memahami halal dan haram adalah seluruh hukum syariat yang berjumlah lima. Padahal yang dikehendaki oleh para ulama hanya fardhu dan haram. Adapun hukum sunnah, makruh, dan mubah tidak masuk kategori halal dan haram (dalam hal mengamalkan hadits dha’if). Maka hukum sunnah dan makruh masuk kategori fadhailul a’mal.” (Muhammad ‘Awwamah, Hukmul 'Amal bil Haditsid Dha’if, [Jeddah: Darul Minhaj, 2017], halaman 77).


Syekh ‘Abdul Hayyi Al-Laknawi juga menjelaskan hal serupa. Beliau menegaskan:


فالحق في هذا المقام أنه إذا لم يثبت ندب شيء أو جوازه بخصوصه بحديث صحيح، وورد حديث ضعيف ليس شديد الضعف يثبت استحبابه وجوازه به

 

Artinya, “Pendapat yang benar dalam hal ini adalah ketika tidak ada hadits shahih yang menjelaskan legalitas dan kesunahan suatu hal, lalu ada hadits dha’if yang tingkat dha’ifnya tidak parah yang menjelaskan legalitas dan kesunahannya, maka legalitas dan kesunahan perkara hal tersebut ditetapkan dengan hadits dha’if yang ada.” (Al-Laknawi, Al-Ajwibah Al-Fadhilah, halaman 55).

 

Contoh Penerapan Hadits Dha'if sebagai Dalil

 

Hal ini dapat kita lihat dari hasil ijtihad para ulama, di mana mereka menetapkan hukum sunah dan makruh pada suatu hal berdasarkan hadits dha’if dan semisalnya. Salah satunya adalah penjelasan An-Nawawi tentang kesunahan menutup kepala saat masuk kamar mandi. Beliau menjelaskan bahwa kesunahan tersebut berdasarkan hadits mauquf berupa perilaku Sayyidina Abu Bakar ra. Lalu beliau mengatakan:


وقد اتفق العلماء على أن الحديث المرسل والضعيف والموقوف يتسامح به في فضائل الأعمال

 

Artinya, “Para ulama sepakat bahwa menggunakan hadits mursal, dha’if, dan mauquf ditolelir (dilegalkan) dalam fadhailul a’mal.” (An-Nawawi, Al-Majmu’, [Beirut: Darul Fikr, tt], juz II, halaman 94).


An-Nawawi menjelaskan bahwa hadits mursal, dha’if, dan mauquf berada pada tingkatan yang sama dalam penggunaannya sebagai dalil. Yaitu dapat dijadikan sebagai dalil dalam hal fadhailul a’mal. Teori tersebut beliau terapkan dalam menetapkan hukum atas kesunahan menutup kepala saat masuk kamar mandi. Wallahu a’lam.
[]

 

Ustadz Rif'an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan Purworejo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar