Isra’ Mi’raj merupakan peristiwa bersejarah yang sangat agung. Sebuah perjalanan kilat lintas dimensi dalam satu malam. Saat Nabi Muhammad saw diperlihatkan hal-hal gaib, saat Nabi Muhammad saw menerima syariat shalat lima waktu dari Allah swt secara langsung, saat Nabi Muhammad saw jumpa nabi-nabi terdahulu dan menjadi imam shalat bagi mereka.
Peristiwa bersejarah ini diabadikan dalam firman Allah swt,
سُبۡحَٰنَ
ٱلَّذِيٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلٗا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى
ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِي بَٰرَكۡنَا حَوۡلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنۡ
ءَايَٰتِنَآۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al
Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar
Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Isra [17]:
1)
Tentu, peristiwa seagung itu memiliki banyak hikmah dan pelajaran yang bisa
kita renungi dan mengambil pelajaran. Berikut adalah beberapa hikmah dan
pelajaran penting di balik Isra’ Mi’raj:
1) Tingginya derajat kehambaan
Penyebutan Nabi Muhammad saw dalam ayat Isra’ (QS Al-Irsa [17]: 1) menggunakan
kata ‘Abdun’ yang memiliki arti hamba, tidak menggunakan -misal kan- kata
‘nabi’, ‘rasul’ atau pun ‘khalil’ (kekasih). Ini menunjukkan bahwa derajat
kehambaan di sisi Allah memiliki nilai yang sangat tinggi. Oleh karena itu,
ketika Al-Qur'an berbicara tentang orang-orang ikhlas menggunakan kata ‘Abdun’.
Allah berfirman,
وَعِبَادُ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمۡشُونَ عَلَى ٱلۡأَرۡضِ هَوۡنٗا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ
ٱلۡجَٰهِلُونَ قَالُواْ سَلَٰمٗا
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang
berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa
mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS.
Al-Furqan [25]: 63)
Melaui Jibril, Allah pernah memberikan pilihan kepada Nabi Muhammad saw untuk
memilih ingin ‘menjadi nabi sekaligus raja’, ‘atau menjadi nabi sekaligus
hamba’. Kemudian Nabi lebih memilih menjadi hamba yang mengabdi kepada Allah.
Ini menunjukkan bahwa status kehambaan merupakan derajat paling agung di sisi
Allah.
Penyebutan Nabi Muhammad saw menggunakan kata “Abdun” tidak hanya dalam surat
al-Isra. Dalam beberapa ayat lain juga sama. Seperti QS Al-Baqarah [2]: 23, QS
Al-Hadid [57]: 9 dan QS Al-Jin [72]: 19.
2) Pembekalan dakwah untuk Rasulullah
Kita tahu, sebelum peristiwa Isra’ Mi’raj, Rasulullah saw berdakwah di Kota
Mekah. Di sana beliau merasakan betapa berat cobaan dan ujian dirasakan.
Orang-orang tercinta dan orang-orang tempat beliau bersandar silih berganti
wafat, saat orang-orang Quraisy tengah begitu ganas menindas. Sampai kemudian
para sejarawan menamai duka Rasulullah atas kewafatan orang-orang tercinta
dengan nama ‘amul huzni (tahun kesedihan). Setelah itu Allah mengisra’kan
Nabi-Nya.
Ini semua sudah skenario Allah agar Nabi Muhammad menjadi sosok yang tangguh.
Tantangan dakwah beliau ke depan akan sangat berat dan berliku. Menyebarkan
agama Islam dengan perlawanan dari pemuka-pemuka Quraisy, dari pasukan perang
bersenjata lengkap, dan musuh-musuh Islam kelas jenderal lainnya. Allah telah
membekali Nabi Muhammad saw sejak ia lahir dengan kehidupan pedih yang mengasah
ketangguhannya.
Bahkan kita tahu, setelah Isra’ Mi’raj, tepatnya setelah hijrah ke Madinah,
hambatan dakwah Rasulullah saw lebih berat. Peristiwa perang badar, perang
uhud, perang mu’tah, dan perang-perang lainnya adalah fakta sejarah bahwa
perjuangan dakwah Nabi periode Madinah penuh tantangan dan berliku.
3) Sampaikan kebenaran walau pahit
Sepulang Nabi Muhammad saw dari Isra’ Mi’raj, beliau sampaikan perjalanannya
itu pada sekalian penduduk Mekah. Tapi apa respons mereka? Banyak diantara
mereka tidak percaya.
Bahkan ada yang semula beriman, tapi setelah mendengar ‘cerita tidak masuk akal’ ini, mereka keluar dari Islam. Sampai Nabi saw harus menceritakan bukti-bukti untuk memperkuat argumennya; seperti soal bangunan masjid Aqsha dan kafilah dagang yang beliau lihat saat Isra.
Nabi tetap menyampaikan kabar peristiwa Isra’ Mi’raj yang dialaminya dengan
terus terang. Meski harus dibalas dengan cacian dan ejekan dari orang-orang
musyrik. Bukankah beliau pernah bersabda, “Katakanlah kebenaran, walau pahit
kenyataan.”
4) Syariat Nabi Muhammad saw menghapus syariat nabi-nabi terdahulu
Saat peristiwa Isra’ Mi’raj, Rasulullah saw menjadi imam shalat bagi nabi-nabi
terdahulu. Ini bukti bahwa mereka tunduk dan mengikuti risalah Nabi Muhammad
saw. Sekaligus menjadi isyarat bahwa syariat Nabi Muhammad saw telah menghapus
syariat nabi-nabi sebelumnya.
5) Keistimewaan masjid al-Aqsha bagi umat Muslim
Sebelum peristiwa Isra Mi’raj, masjid al-Aqsha dinamakan Baitul Maqdis.
Perjalanan Isra dari Masjidil Haram menuju Baitul Maqdis dan Mi’raj dari Baitul
Maqdis menuju langit dunia sampai bertemu Rabb-nya, merupakan isyarat bahwa
Masjid al-Aqsha memiliki keistimewaan bagi umat Islam.
Bahkan masjid ini pernah menjadi kiblat shalat sebelum akhirnya berganti Ka’bah. Pahala shalat Baitul Maqdis (Masjid al-Aqsha) juga 500 kali lipat dibanding masjid biasa.
6) Islam adalah agama yang suci
Saat Nabi Muhammad diberi pilihan antara air susu dan khamr, Nabi memilih susu.
Kemudian Malaikat Jibril berkata, “Engkau telah diberi hadiah kesucian.” Ini
sebagai isyarat bahwa Islam adalah agama suci (fitrah). Allah berfirman dalam
Al-Qur’an,
فَأَقِمۡ
وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ
عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ
وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum [30]: 30)
7) Pentingnya persoalan shalat
Peristiwa Isra’ Mi’raj juga menjadi hari ulang tahun bagi shalat
lima waktu. Dalam hadits Nabi dijelaskan bahwa kewajiban shalat bagi umat
Muslim terjadi pada malam Nabi Muhammad saw Mi’raj ke langit. Hanya syariat
shalat yang beliau terima langsung, bukan dengan wahyu melalui perantara
malaikat Jibril sebagaimana kewajiban-kewajiban lainnya. Tidak heran, dalam
agama Islam, shalat merupakan tiang agama (Imad ad-Din).
8) ‘Ilmul yaqin Nabi saw naik level ke ‘ainul yaqin
Sebelum Mi’raj, Rasulullah saw hanya mendengar sifat-sifat soal surga, neraka
dan hal-hal gaib lainnya melalui wahyu. Ini namanya ‘ilmul yaqin; Nabi
mengimaninya tapi belum melihat langsung. Ketika Mi’raj, Rasulullah saw meliat
langsung dengan mata kepala beliau sendiri. Ini namanya ‘ainul yaqin. []
Muhammad Abror, Mahasantri Ma'had Aly Sa'idusshiddiqiyah Jakarta, Alumnus
Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar