Kamis, 16 Februari 2023

(Ngaji of the Day) Ternyata Hadits Dha’if Sunah Diamalkan, Begini Jelasnya

Sebagai seorang Muslim, setiap perbuatan yang kita lakukan harus memiliki legitimasi hukum syariat tentang halal-haramnya. Hukum syariat sendiri dapat digali dari Al-Qur’an, hadits, konsensus ulama (ijma’), atau dengan menggunakan teori analogi hukum syariat (qiyas).

 

Hierarki Validitas Hadits 

 

Berkaitan dengan hadits, tidak semuanya bisa dijadikan sebagai dasar hukum. Ada beberapa kriteria yang harus terpenuhi, salah satunya adalah tingkat validitas hadits tersebut. Hierarki validitas hadits dari yang tertinggi sampai yang paling rendah adalah: shahih, hasan, dha’if, dan maudhu’.

 

Hukum Mengamalkan Hadits Dha’if

 

Sudah maklum bahwa tingkatan pertama dan kedua dapat dijadikan sebagai pijakan hukum, sedangkan tingkatan terakhir tidak bisa dijadikan sebagai pijakan hukum, sebab hadits tersebut adalah hadits palsu. Lalu bagaimana dengan tingkatan ketiga, yakni hadits dha’if?

 

Bagi banyak orang, pembahasan mengenai legalitas hadits dha’if sebagai dasar hukum masih samar dan sepotong-sepotong. Hal ini disebabkan kurangnya ketelitian ketika membaca keterangan para ulama mengenai hal tersebut. 

 

Penjelasan Imam An-Nawawi tentang Hadits Dha’if

 

Imam An-Nawawi dalam Al-Adzkar menyebutkan keterangan para ulama terkait hal ini:


قال العلماء من المحدثين والفقهاء وغيرهم: يجوز ويستحب العمل في الفضائل والترغيب والترهيب بالحديث الضعيف مالم يكن موضوعا 

 

Artinya, “Para ulama ahli hadits, fikih, dan lainnya berpendapat bahwa boleh dan disunahkan mengamalkan hadits dha’if dalam fadhailul a’mal, targhib, dan tarhib selama hadits tersebut bukan hadits maudhu’.” (An-Nawawi, Al-Adzkar [Jakarta: Darul Kutubil Islamiyyah, 2004], halaman 17-18).

 

Pada keterangan di atas, An-Nawawi secara tegas menyebutkan bahwa pendapat tersebut adalah pendapat para ulama, bukan hanya pendapat pribadi beliau.

 

Penjelasan Syekh Muhammad ‘Awwamah ​ten​​​​​​​tan​​​​​​​g Hadits Dha’if

 

Syekh Muhammad ‘Awwamah dalam Hukmul 'Amal bil Haditsid Dha’if bahkan mencatat 45 ulama dari berbegai generasi yang berpendapat demikian. Mulai dari Sufyan Ats-Tsauri (wafat 161 H) hingga Muhammad Az-Zurqani (wafat 1122 H). Nama-nama tersebut hanya sebagian dari keseluruhan para ulama yang berpendapat demikian.

 

Poin Penting Hadits Dha’if

 

Poin yang perlu ditekankan pada keterangan An-Nawawi di atas adalah, beliau mengatakan hukum mengamalkan hadits dha’if sesuai dengan ketentuannya adalah sunnah, bukan sekedar boleh. Dalam Al-Adzkar beliau juga menegaskan:


اعلم أنه ينبغي لمن بلغه شيء من فضائل الأعمال أن يعمل به ولو مرة واحدة ليكون من أهله، ولا ينبغي أن يتركه مطلقا بل يأتي بما تيسر  منه لقول النبي صلى الله عليه وسلم المتفق على صحته: إذا أمرتكم بشيء فأتوا منه ما استطعتم

 

Artinya, "Siapapun yang mengetahui sebuah anjuran (fadhailul a’mal), maka sebaiknya melaksanakan anjuran tersebut minimal satu kali, agar tercatat sebagai pengamal amalan tersebut. Tidak seyogianya ia meninggalkannya secara keseluruhan karena ada sabda Nabi saw: “Jika aku memerintahkan kalian suatu hal, maka lakukanlah semampu kalian“." (An-Nawawi, Al-Adzkar, halaman 17-18).


Syekh Muhammad ‘Awwamah mencatat banyak ulama yang berpendapat demikian. Mulai dari yang mengatakannya secara langsung seperti Imam Abu Bakr Ibnul ‘Arabiy dan Imam Al-Kamal Ibnul Humam, dan ulama yang menjelaskannya secara tidak langsung (mafhum), seperti Imam Ibnul Mubarak, Imam Abdurrahman Ibn Mahdi, Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, dan selainnya. (Muhammad ‘Awwamah, Hukmul 'Amal bil Haditsid Dha’if, [Jeddah: Darul Minhaj, 2017], halaman 68-70). Wallahu a’lam.
[]

 

Ustadz Rif'an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan Purworejo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar