Perbedaan qira’at Al-Qur’an merupakan salah satu sumber penafsiran Al-Qur’an yang otentik. Karena setiap perbedaan dalam bacaan Al-Qur’an memberikan makna baru, layaknya ayat “baru” yang mandiri dari sisi petunjuk maknanya. Maka tak ayal, banyak para ulama tafsir atau mufassir menjadikan perbedaan bacaan sebagai objek penggalian makna dalam penafsiran Al-Qur’an, salah satu contohnya adalah surat al-Maidah ayat 6:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ
إِلَى الْكَعْبَيْنِ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan
shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kapalamu
dan (basuhlah) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa seseorang yang akan melaksanakan shalat
hendaknya ia berwudhu terlebih dahulu (bagi yang hadats). Teknis pelaksanaannya
adalah membasuh muka, membasuh kedua tangan sampai kedua siku, mengusap kepala
dan membasuh/mengusap kaki sampai kedua mata kaki.
Pada lafadz (وَأَرْجُلَكُمْ) para ulama qira’at
asyrah mutawatirah berbeda pendapat, Imam Nafi’, Ibnu Amir, Hafs, Ali al-Kisa’i
dan Ya’qub membaca fathah pada huruf lam, sedangkan Imam Ibnu Katsir, Abu Amr,
Syu’bah, Hamzah, Abu Ja’far dan Khalaf membaca kasrah pada huruf lam (وَأَرْجُلِكُمْ). (Al-Qadhi, Al-Budur al-Budur al-Zahirah
fi al-Qira’at al-Asyrah al-Mutawatirah, Bairut: Dar al-Kitab al-Arabi, tth. h,
89).
Syaikh Muhammad Sayyid Thanthawi, Imam Besar al-Azhar al-Syarif, dalam karya
monumentalnya “Tafsir al-Wasith li Al-Qur’an al-Karim” menjelaskan bahwa
apabila huruf lam pada lafadz (وَأَرْجُلَكُمْ)
dibaca fathah, maka ia di athaf-kan pada lafadz (فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ) atau menyimpan kata (وَاغْسِلُوا)
sehingga jika ditampakkan menjadi susunan kalimat sebagaimana berikut: وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَاغْسِلُوا أَرْجُلَكُمْ .
Sedangkan apabila huruf lam dibaca kasrah , maka ia di athaf-kan pada lafadz (بِرُءُوسِكُمْ).
(Muhammad Sayyid Thanthawi, Tafsir al-Wasith li Al-Qur’an al-Karim, Kairo: Dar
Nahdhah, 1997, juz IV, h, 64).
Berangkat dari perbedaan bacaan tersebut, para ulama berbeda pendapat soal
hukum mencuci kaki, apakah wajib dibasuh oleh air mengalir atau cukup sekedar
diusap saja?.
Imam al-Qurthubi mengatakan bahwa dengan perbedaan bacaan tersebut, para
sahabat dan tabi’in berbeda pula dalam memahami kandungan maknanya. Menurutnya,
mayoritas ulama memilih membaca fathah pada huruf lam di lafadz (أَرْجُلَكُمْ). Dengan demikian, bacaan ini mempunyai
makna bahwa membasuh kaki adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang
mutawadhi’ (orang yang berwudhu’), tidak cukup hanya sekedar mengusap
saja.
Untuk memperkuat pendapat ini, mereka berargumen dengan ucapan Nabi saat
melihat sebuah kaum yang tidak menyempurnakan basuhan kakinya dan menasehati
mereka dengan suara yang keras (وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ
مِنَ النَّارِ أَسْبِغُوا الْوُضُوءَ);
“Sunggung celaka tumit-tumit (yang tidak terbasuh air) dari api neraka.
Sempurnakanlah wudhu’ kalian”.
Sesuai dengan pendapat mayoritas ulama, Ibnu al-Arabi menyatakan bahwa membasuh
kaki saat melaksanakan wudhu’ adalah wajib. Menurutnya, tidak ada yang menolak
pendapat ini kecuali Imam al-Thabari dan golongan syiah Imamiyah. (Al-Qurthubi,
Tafsir al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Kairo: Dar al-Kutub al-Mashriyah, juz VI,
h. 91).
Senada dengan Al-Qurthubi, Imam Ibnu Asyur menegaskan bahwa para fuqaha setelah
masa tabi’in sepakat atas wajibnya membasuh kedua kaki dalam pelaksanaan
wudhu’, tidak ada yang berseberangan dengan pendapat di atas kecuali golongan
Syiah Imamiyah. Mereka mengatakan bahwa tidak ada keharusan membasuh kedua kaki
kecuali hanya mengusapnya saja. Sementara Ibnu Jarir al-Thabari, memiliki dua
pendapat yaitu boleh memilih membasuh atau mengusap. Al-Thabari memposisikan perbedaan
bacaan ini sebagai dua riwayat dalam beberapa hadis jika hadis-hadis tersebut
tidak memungkinkan diunggulkan salah satunya. Pendapat ini secara teknis boleh
dilakukan bagi orang yang berpendapat bahwa kebolehan memilih salah satu
pendapat dalam beramal jika tidak diketahui hadis yang diunggulkan.
Sementara terdapat sebagian orang mentakwil kata (المسح)
pada bacaan (أَرْجُلَكُمْ) -kasrah lam- dengan
arti mengusap, Sebab menurut mereka orang Arab mengartikan kata (الغسل الخفيف) basuhan yang pelan dengan usapan (المسح). Menurut Ibnu Asyur, dalam masalah ini
pentakwilan yang demikian tidak bisa dibenarkan, sebab Al-Qur’an telah
membedakan antara ungkapan membasuh (الغسل)
dan mengusap (المسح). (Ibnu Asyur,
al-Tahrir wa al-Tanwir, Tunisia: Dar al-Tunisiyah li al-Nasyr, 1984, juz IV, h,
131).
Apabila pada lafadz (أَرْجُلَكُمْ) lam-nya dibaca
kasrah, yang mempunyai arti mengusap kaki. Pendapat ini-sebagaiamana dijelaskan
di atas- merupakan pendapat Ibnu Jarir al-Thabari dan golongan Syiah Imamiyah.
Golongan syiah berargumen bahwa bahwa lafadz (أَرْجُلَكُمْ)
di-athaf-kan pada lafadz (بِرُءُوسِكُمْ).
(Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-Adzim, Dar Thayyibah li al-Nasyr wa
al-Tauzi’, 1999, juz III, h. 52.)
Sedangkan al-Thabari berargumen dengan beberapa hadis Nabi, di antaranya
adalah:
حدثنا
أبو كريب قال، حدثنا محمد بن قيس الخراساني، عن ابن جريج، عن عمرو بن دينار، عن
عكرمة، عن ابن عباس قال: الوضوء غَسْلتان ومَسْحتان
Artinya: Abu Kuraib menceritakan kepada kami, dari Muhammad bin Qays
al-Kharrasani dari Ibnu Juraij dari Amr bin Dinar dari Ikrimah dari Ibnu Abbas,
berkata: “Wudhu’ itu dua kali basuhan dan dua kali usapan. (basuh wajah dan
kedua tangan, dan mengusap kepala dan kedua kaki).
حدثني
يعقوب قال، حدثنا ابن علية قال، حدثنا عبيد الله العتكي، عن عكرمة قال: ليس على
الرجلين غسل، إنما نزل فيهما المسح.
حدثنا ابن حميد قال، حدثنا هارون، عن عنبسة، عن جابر، عن أبي جعفر، قال: امسح على رأسك وقدميك.
Artinya: Ya’qub menceritakan kepadaku dari Ibnu Aliyam dari Ubaidillah al-Atki
dari Ikrimah, berkata: “Tidak ada keharusan membasuh kedua kaki, sesungguhnya
Al-Qur’an turun untuk menjelaskan tentang mengusap kedua kaki”.
حدثنا
علي بن سهل قال، حدثنا مؤمل قال، حدثنا حماد قال، حدثنا عاصم الأحول، عن أنس قال:
نزل القرآن بالمسح، والسنة الغسلُ.
Artinya: Ali bin Sahl bercerita dari Mu’mil dari Hammad, dari Ashim al-Ahwal
dari Anas, berkata: “Al-Qur’an turun menjelaskan tentang mengusap kedua kaki,
sementara membasuh adalah sunnah”. (Al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an,
Mesir: Muassasah al-Risalah, 2000, juz x, h. 58).
Ibnu Katsir menyanggah pendapat di atas, sebab hadis-hadis yang ditampilkan
oleh al-Thabari adalah hadis-hadis yang sangat asing. Menuutnya, kata (المسح) pada hadis-hadis di atas tidak berarti
mengusap tapi mempunyai arti membasuh dengan ringan (الغسل
الخفيف). Untuk memperkuat sanggahannya, beliau berargumentasi dengan
ucapan Sayyidina Ali.
أَخْبَرْنَا
أَبُو عَلِيٍّ الرُّوذَبَارِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ
بْنِ مَحْمَوَيْهِ الْعَسْكَرِيُّ، حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ
الْقَلَانِسِيُّ، حَدَّثَنَا آدَمُ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، حَدَّثَنَا عَبْدُ
الْمَلِكِ بْنُ مَيْسَرَة، سَمِعْتُ النَّزَّالَ بْنَ سَبْرَة يُحَدِّثُ عَنْ
عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، أَنَّهُ صَلَّى الظُّهْرَ، ثُمَّ قَعَدَ فِي
حَوَائِجِ النَّاسِ فِي رَحَبَة الْكُوفَةِ حَتَّى حَضَرَتْ صَلَاةُ الْعَصْرِ،
ثُمَّ أُتِيَ بِكُوزٍ مِنْ مَاءٍ، فَأَخَذَ مِنْهُ حَفْنَةً وَاحِدَةً، فَمَسَحَ
بِهَا وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ وَرَأْسَهُ وَرِجْلَيْهِ، ثُمَّ قَامَ فَشَرِبَ
فَضْلَهُ وَهُوَ قَائِمٌ، ثُمَّ قَالَ: إِنَّ نَاسًا يَكْرَهُونَ الشُّرْبَ
قَائِمًا، وإن رسول الله صلى الله عليه وسلم صَنَعَ مَا صنعتُ. وَقَالَ:
"هَذَا وُضُوءُ مَنْ لَمْ يُحْدِثْ ".
Artinya: Abu Ali al-Rudzabari menceritakan kepada kami, dari Abu Bakar bin
Ahmad bin Mahmawaih al-Askari dari Ja’far bin Muhammad al-Qalanisi, dari Adam,
dari Syu’bah dari Abdul Malik bin Maisarah, berkata: Saya mendengar al-Nazzal
bin Sabrah menceritakan dari Ali bin Abi Thalib, bahwa beliau shalat dhuhur
kemudian duduk untuk memenuhi kebutuhan manusia di pelataran Kufah hingga
datang waktu shalat Ashar. Kemudian beliau dibawakan sebuah tempayan yang
berisi air, kemudian beliau mengambil segenggam air dan mengusap wajah, kedua
tangannya, kepalanya dan kedua kakinya. Kemudian beliau berdiri dan meminum
sisa airnya. Kemudian beliau berkata: “Sesungguhnya manusia tidak suka minum
berdiri sedangkan Nabi Muhammad melakukan apa yang saya lakukan”. Kemudian
beliau berkata: “Ini adalah wudhu’nya orang yang tidak hadats”. (Ibnu Katsir,
Tafsir Al-Qur’an al-Adzim, Dar Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1999, juz
III, h. 53.).
Selain itu, terdapat riwayat yang mengatakan bahwa lafadz (وَأَرْجُلَكُمْ) di-athaf-kan pada lafadz (بِرُءُوسِكُمْ) hanya pada sisi dhahir lafadznya saja,
bukan pada maknanya. Sedangkan yang menjadi pertimbangan utama dalam sebuah
ungkapan adalah maknanya bukan dhahir lafadznya. Sehingga dalam masalah ini,
meskipun huruf lam pada lafadz (وَأَرْجُلَكُمْ)
dibaca kasrah, ia tetap mempunyai arti membasuh bukan mengusap. (Al-Qurthubi,
Tafsir al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Kairo: Dar al-Kutub al-Mashriyah, juz VI,
h. 91).
Sependapat dengan al-Qurthubi, Imam Nawawi menguraikan masalah ini dari kaca
mata gramatikal bahasa Arab. Beliau mengatakan bahwa bisa saja lafadz (وَأَرْجُلَكُمْ) di-athaf-kan pada lafadz (بِرُءُوسِكُمْ) sebab ia hakikatnya berposisi nashab
(fathah). Sedangkan meng-athaf-kan pada isim dhahir atau kepada isim yang
berposisi di tempat nashab itu diperbolehkan dalam bahasa Arab. Teknis semacam
ini sangat masyhur dikalangan para ulama Nahwu. Oleh karena itu, Imam Nawawi
ingin menegaskan bahwa persoalan ini pada hakikatnya berada pada pemaknaannya,
yaitu membasuh kedua kaki saat pelaksanaan wudhu’ . (Imam Nawawi, Marah Labid
li Kasyfi Makna Qur’an Majid, Surabaya: Al-Hidayah tth, juz I, h, 194).
Adapun meng-athaf-kan lafadz (وَأَرْجُلَكُمْ)
kepada lafadz (بِرُءُوسِكُمْ) karena faktor
kedekatan (للمجاورة), sebagaimana banyak
dilakukan oleh orang Arab. Analoginya banyak dijumpai dalam Al-Qur’an, salah
satunya adalah :
يُرْسَلُ عَلَيْكُما
شُواظٌ مِنْ نارٍ وَنُحاسٍ" «2»] الرحمن: 35]
pada lafadz (وَنُحاس) dibaca kasrah, sebab
berdekatan dengan lafadz (نارٍ) walaupun hakikatnya
ia dibaca dhammah karena athaf pada lafadz (شُواظٌ).
بَلْ هُوَ
قُرْآنٌ مَجِيدٌ. فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ
Demikian pula pada lafadz (مَحْفُوظٍ)
ia dibaca kasrah karena faktor kedekatan dengan lafadz (لَوْحٍ) walaupun ia berstatus sebagai sifat dari lafadz (قُرْآن). (Al-Qurthubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkam
Al-Qur’an, Kairo: Dar al-Kutub al-Mashriyah, juz VI, h. 91).
Senada dengan al-Qurthubi, Imam al-Baghawi menjelaskan bahwa membaca huruf lam
dengan kasrah lafadz (وَأَرْجُلَكُمْ)
disebabkan kedekatannya dengan lafadz (بِرُءُوسِكُمْ)
bukan karena kesusuaian hukumnya. Lebih lanjut, beliau menyatakan bahwa hukum mengusap
kaki itu hanya berlaku bagi orang yang memakai sepatu boot (khuf).(Al-Baghawi,
Ma’alim al-Tanzil fi Tafsir Al-Qur’an, Beirut: Dar Tayyibah, 1997, juz III, h,
23).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan qira’at dalam Al-Qur’an
menghasilkan perbedaan istinbath hukum, seperti hukum mencuci kaki. Mayoritas
ulama memahami bahwa lafadz (وَأَرْجُلَكُمْ)-
fathah lam- menghasilkan makna wajib membasuh kaki bagi orang yang tidak
memakai sepatu boot (Khuf), sementara sebagian ulama memahami bahwa
lafadz (وَأَرْجُلَكُمْ)- kasrah lam-
menghasilkan makna tidak ada ketentuan wajib untuk membasuh kaki tapi cukup
mengusapnya saja bagi orang yang memakai sepatu boot (khuf). []
Ustadz Moh. Fathurrozi, Pengurus Jam’iyatul Qurra’ wal Huffadz NU Surabaya;
Pembina Tahfidz Al-Qur’an Pondok Pesantren Darussalam Keputih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar