Kamis, 04 Juni 2020

(Ngaji of the Day) Pentingnya Asbabun Nuzul dalam Memahami Al-Qur’an

Pentingnya Asbabun Nuzul dalam Memahami Al-Qur’an

 

Memahami Al-Qur’an tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kesulitan tersebut tidak hanya dirasakan oleh kalangan non-Arab yang secara kasat mata bahasa ibunya bukan bahasa Arab, tetapi juga melanda masyarakat Arab sendiri yang keseharian menggunakan bahasa Arab.

 

Permasalah utama ialah karena Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang mempunyai nilai suci, sehingga tidak ada seorang pun dapat memahami dengan kebenaran mutlak tanpa adanya petunjuk dan hidayah. Pada saat yang sama, bahasa yang digunakan Al-Qur’an secara eksplisit adalah bahasa Arab yang merupakan bahasa ibu dari wilayah Timur Tengah.

 

Penggunaan bahasa Arab adalah suatu keniscayaan, melihat konteks turunnya wahyu Al-Qur’an yang berada di wilayah Arab. Sehingga secara historis Al-Qur’an terkait erat dengan peradaban Arab, tetapi hal ini tidak menjadi bagian penting secara menyeluruh dalam memahami Al-Qur’an, meskipun secara redaksional dan historis mempunyai hubungan. Karena, turunnya Al-Qur’an tidak selalu berhubungan dengan suatu peristiwa maupun pertanyaan yang berkaitan dengan kehidupan Arab.

 

Meski demikian, dalam memahami Al-Qur’an seorang harus mengetahui asbabun nuzul (konteks turunnya ayat). Latar belakang turunnya tidak hanya merespons masalah yang mengitari kehidupan Nabi dan masyarakat sekitar, tetapi juga mengandung pelajaran bahwa wahyu Al-Qur’an turun melalui proses dan melatih kesabaran.

 

Begitu pentingnya asbabun nuzul dalam memahami ayat Al-Qur’an ditegaskan oleh Imam al-Wahidi:

 

لا يمكن معرفة تفسير الأية دون الوقوف على قصتها وبيان نزولها

 

 “Seorang tidak akan mengetahui tafsir (maksud) dari suatu ayat tanpa berpegang pada peristiwa dan konteks turunnya ayat. (Jalalud Din as-Syuyuti, Lubâb an-Nuqûl fî Asbâbin Nuzûl, Beirut: Darl al-Kutub al Ilmiah, 1971, hal. 3)

 

Pandangan al-Wahidi memberikan pengertian bahwa asbabun nuzul yang melatarbelakangi turunnya ayat adalah salah satu komponen penting yang harus diperhatikan bagi orang yang ingin memahami maksud Al-Qur’an, dan peringatan bahwa belajar Al-Qur’an tidak cukup hanya membaca terjemahan atau belajar sendiri dari teks-teks terjemahan. Karena tidak semua terjamahan atau kitab tafsir memuat asbabun nuzul secara keseluruhan, sehingga potensi untuk salah paham akan besar.

 

Imam al Syathibi dalam kitabnya yang berjudul al-Muwâfaqât fi Ushul asy-Syarî’ah memberikan peringatan keras kepada orang yang hanya belajar dan memahami al Qur’an hanya dari teksnya. Lebih lanjut, beliau berkatan bahwa seorang tidak boleh memahami al Qur’an hanya terpaku pada teksnya saja, tanpa melihat atau memperhatikan konteks turunnya ayat, karena asbab al nuzul adalah komponen dasar dalam memahami al Qur’an (Abi Ishaq al Syathibi, al-Muwâfaqât fî Ushûl asy-Syari’ah, vol. III Beirut: Bar al-Kutub al-Ilmiah, 2005, hal. 258).

 

Pendapat al Wahidi diperkuat oleh imam Ibn Daqiq al-Aid yang berpendapat bahwa salah satu yang penting dalam memahami ayat Al-Qur’an adalah mengetahui asbabun nuzul dari ayat itu sendiri, karena hal tersebut adalah cara untuk memperkuat dalam mengetahui makna Al-Qur’an. Beliau mengatakan:

 

بيان سبب النزول طريق قوي في فهم معاني القرأن

 

“Keterangan konteks turunnya ayat merupakan cara untuk memperkuat dalam memahami makna Al-Qur’an.” (Jalalud Din as-Syuyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Darl al Fikr, 2012, hal. 41)

 

Kedua argumentasi ulama tersebut mengingatkan kita untuk selalu berhati-hati dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an, karena Al-Qur’an bukan kitab biasa yang semua orang dapat memahami, tetapi setiap orang dapat mempelajari kepada ahlinya. Salah satu pelajaran dari Imam Ibnu Taimiyah bercerita bahwa pada jaman dahulu terdapat satu jemaah yang berselisih pandang tentang makna ayat dan bertanya kepada Ulama, lalu disebutkan satu peristiwa yang berkaitan dengan ayat tersebut sehingga semua memahaminya.

 

Lantas bagaimana cara mengetahui asbabun nuzul dari suatu ayat, dan kepada siapa kita bisa merujuknya?

 

Para ulama bersepakat ada dua metode untuk mengetahui asbabun nuzul; pertama, melalui jalur riwayat (transmisi). Kedua, melalui jalur mendengarkan riwayat langsung dari para sahabat yang menyaksikan peristiwa turunnya wahyu (Jalalud Din as-Syuyuti, Lubâb an-Nuqûl fî Asbâbin Nuzûl, Beirut: Darl al Kutub al Ilmiah, 1971, hal. 4). Metode pertama menunjukkan bahwa setiap orang dapat mengetahui peristiwa konteks turunnya Al-Qur’an tetapi dengan periwayatan yang panjang, dan hanya bisa didapatkan dari orang yang tsiqah, dlabith dan ‘adil. 

 

Sedangkan metode kedua, hanya orang tertentu yang bisa mengetahui, karena berkaitan dengan masa sahabat. Sehingga dapat dipastikan hanya sahabat awal yang mengetahui peristiwa wahyu, seperti turunnya QS al-Baqarah 120 yang menjelaskan tentang jima’. Sahabat Jabir meriwayatkan bahwa orang Yahudi mempunyai anggapan bahwa laki-laki yang mendatangi (bersetubuh dengan) istrinya dari belakang akan mendapatkan anak cacat (mata juling), sehingga turun ayat tersebut. Wallahu A’lam bi al Shawab []

 

Moh. Muhtador, Dosen Ushuluddin IAIN Kudus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar