Senin, 08 Juni 2020

(Ngaji of the Day) Bolehkah Menyebut Virus Corona dalam Qunut Nazilah?

Bolehkah Menyebut Virus Corona dalam Qunut Nazilah?

 

Seiring pandemi Sars-Cov-2 atau yang poluler disebut virus Corona, beredar anjuran untuk melakukan qunut nazilah dalam setiap shalat fardhu dari berbagai ulama, kiai, ormas dan institusi keagamaaan seperti pesantren dan semisalnya. Namun kemudian muncul pertanyaan bagaimana hukum menyebutkan kata “virus corona” dalam qunut nazilah? Apakah diperbolehkan atau sebaliknya bahkan membatalkan shalat?

 

Dalam konteks ini maka perlu dipahami bahwa kata “virus Corona” merupakan nama bagi Sars-Cov-2 atau Severe Acute Respiratory Syndrome 2. Kalau ditarik dalam kajian bahasa Arab, kata “virus Corona” termasuk kategori isim ‘alam, yaitu kata benda yang menunjukkan nama entitas tertentu sejak awal dibuat tanpa memerlukan indikasi apapun, seperti nama kota, orang negara, kabilah, sungai, lautan dan gunung. (Musthafa Al-Ghalayini, Jami’ud Durus Al-Luhgawiyyah: 20).

 

Pertanyaannya, apakah diperbolehkan menyebut secera nyata kata “virus corona” dalam qunut nazilah yang dianjurkan di tengah pandemi Sars-Cov-2 saat ini?

 

Menurut Penulis, bila disepakati bahwa kata ‘virus corona’ sebagai isim ‘alam, maka pertanyaan lanjutannya adalah, apakah dalam perspektif fiqih boleh menyebutkan isim ‘alam baik berupa nama negara seperti Indonesia, nama virus seperti virus corona dan selainnya, sebagaimana berbagai edaran redaksi qunut nazilah, seperti dalam lampiran Surat Instruksi dan Anjuran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Nomor 3929/C.I.34/02/2020, yang di dalamnya menyebutkan nama negara Indonesia?

 

Dalam pembahasan ini ternyata Rasulullah SAW pernah mempraktikkannya, sebagaimana direkam dengan sangat jelas dalam hadits shahih:

 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى أَحَدٍ أَوْ يَدْعُوَ لِأَحَدٍ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ فَرُبَّمَا قَالَ إِذَا قَالَ :سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ:اَللهم رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ،اَللهم أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِى رَبِيعَةَ،اَللهم اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ، وَاجْعَلْهَا سِنِينَ كَسِنِى يُوسُفَ. رواه البخاري

 

Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, sungguh Rasulullah SAW biasanya–ketika menghendaki berdoa atas seseorang atau untuk kebaikan seseorang–membaca doa qunut setelah ruku’. Maka terkadang setelah mengucapkan, ‘Sami’allahu li man hamidah’ beliau berdoa, ‘Ya Allah Tuhan kami, pujian hanya bagimu. Ya Allah selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam dan ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah. Ya Allah hukumlah bani Muhdhar dengan hukuman yang keras, dan jadikahlah hukuman-Mu kepada mereka bertahun-tahun sebagaimana tahun-tahun paceklik yang terjadi pada masa Nabi Yusuf AS.” (HR Al-Bukhari).

 

Demikian pula para ulama juga mendoakan orang-orang tertentu di dalam shalat mereka. Seperti Imam Ahmad yang sering mendoakan para ulama dalam shalatnya, termasuk di antaranya Imam As-Syafi’i selaku gurunya, sebagaimana dikisahkan oleh muridnya, Abul Hasan Abdul Malik bin Abdul Hamid bin Maimun bin Mahran Al-Maimuni (w. 274):

 

وَقَالَ الْمَيْمُونِي: سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ يَقُولُ لِابْنِ الشَّافِعِيِّ: أَنَا أَدْعُو لِقَوْمٍ مُنْذُ سِنِينَ فِي صَلَاتِي، أَبُوكَ أَحَدُهُمْ

 

Artinya, “Abul Hasan Abdul Malik berkata, ‘Aku mendengar Imam Ahmad bin Hanbal Abu Abdillah berkata kepada putra Imam As-Syafi’I, ‘Aku mendoakan sekelompok ulama sejak beberapa tahun dalam shalatku. Ayahmu salah satunya.’’” (Musthafa As-Suyuthi Ar-Rahibani, Mathalib Ulin Nuha fi Syarhi Ghayatil Muntaha, [ttp.: al-Maktab al-Islami, 1961 M], juz I, halaman 464) dan (Abul Hajjaj Yusuf bin Az-Zaki Abdurrahman Al-Mizi, Tahdzibul Kamal, [Beirut: Muassasatur Risalah, 1400 H/1980 M], juz XVIII, halaman 334).

 

Dari sinilah kemudian dalam mazhab Syafi’i terdapat prinsip setiap doa yang boleh dilakukan di luar shalat, maka boleh dilakukan di dalam shalat.

 

فَصْلٌ : فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ الدُّعَاءَ مَسْنُونٌ فَكُلُّ دُعَاءٍ جَازَ أَنْ يَدْعُوَ بِهِ فِي غَيْرِ الصَّلَاةِ جَازَ أَنْ يَدْعُوَ بِهِ فِي الصَّلَاةِ.

 

Artinya, “Pasal: ketika telah tetap bahwa doa hukumnya sunnah, karenanya setiap doa yang boleh dibaca di luar shalat maka boleh dibaca di dalam shalat.” (Abul Hasan Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir fi Fiqhi Mazhabil Imamis Syafi’i, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1414 H/1994 M], juz II, halaman 139).

 

Meski demikian prinsip utama ini tidak berlaku mutlak. Tetapi untuk doa-doa yang tidak ma’tsur atau tidak diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, yang dirangkai sendiri harus berbahasa Arab, tidak boleh dengan bahasa Indonesia dan semisalnya. Kalau dilakukan maka hukumnya haram dan justru membatalkan shalat, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ar-Ramli:

 

أَمَّا غَيْرُ الْمَأْثُورُ بِأَنِ اخْتَرَعَ دُعَاءً أَوْ ذِكْرًا ثُمَّ تَرَجَّمَ عَنْهُمَا بِالْعَجَمِيَّةِ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّهُ يَحْرُمُ وَتَبْطُلُ بِهِ صَلَاتُهُ

 

Artinya, “Adapun yang ghairu ma’tsur, yaitu bila seseorang merangkai doa atau zikir sendiri, kemudian menerjemahkannya dengan bahasa ‘Ajam (selain bahasa Arab) dalam shalatnya, maka hukumnya haram dan shalatnya batal karenanya.” (Syamsuddin Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, [Beirut, Darul Fikr, 1404 H/1984 M], juz I, halaman 535).

 

Walhasil, hukum menyebutkan kata ‘virus corona’ dalam qunut nazilah adalah diperbolehkan dan tidak membatalkan shalat, selama rangkaian redaksi qunut nazilah yang dibaca tetap berbahasa Arab, sebagaimana Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur tentang Doa Bahasa Indonesia dalam Shalat di Pondok Pesantren Salafiyah Sukorejo Asembagus Situbondo pada 16-17 Jumadil Ula 1400 H/2-3 April 1980 M. (Tim PW LBM NU Jawa Timur, NU Menjawab Problematika Umat Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur 1979 – 2009, [Kediri-Surabaya: Pustaka Gerbang Lama dan PW LBM NU Jawa Timur: 2015], ed.: Ahmad Muntaha AM, jilid I, halaman 17-18). []

 

Ustadz Ahmad Muntaha AM, Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail NU Jatim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar