Senin, 08 Juni 2020

Nasaruddin Umar: Kontemplasi Ramadhan (12): Bersahabat dengan Musibah

Kontemplasi Ramadhan (12)

Bersahabat dengan Musibah

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Penderitaan adalah salah satu ujian kenaikan kelas. Tanpa ujian biasanya tidak ada kenaikan kelas. Hanya saja masih jarang orang menyadari bahwa musibah dan penderitaan adalah ujian kenaikan kelas. Jika kita merenung dan berkontemplasi sejenak, maka memang benar bahwa di balik setiap musibah dan penderitaan selalu ada rahasia Tuhan yang sulit ditebak.

 

Suatu saat Nabi Yusuf berdoa: "Rab al-sijn ahbbu ilaiyya" (Ya Allah penjara aku lebih sukai) (Q.S. Yusuf/12:33). Ini diungkapkan ketika ia dipaksa oleh raja melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraninya. Ia memilih hidup menderita di ruang gelap dan sempitnya penjara ketimbang gemerlapnya istana yang ditawarkan kepadanya. Ternyata bukan hanya Nabi Yusuf, sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia memiliki daftar panjang nama-nama yang rela menderita demi untuk meraih kemerdekaan untuk anak-cucunya. Mungkin kita pun pernah mengalami dalam kadar tertentu. Ini membuktikan bahwa ternyata penderitaan tidak selamanya menyakitkan tetapi kadang dirasa lebih asyik, karena boleh jadi merasa sedang bersama dengan Tuhan. Banyak orang yang bukan Nabi juga lebih memilih penderitaan secara fisik demi ketenangan batinnya, ketimbang bahagia secara fisik tetapi menderita secara batin.


Musibah, bala, kekecewaan, dan ketidaknyamanan bisa diubah menjadi sebuah kenyamanan, jika suasana batin aktif di dalam hati seseorang. Musibah dan penderitaan yang seharusnya menjadi sesuatu yang merepotkan, mengecewakan, menyakitkan, dan memalukan tetapi ada orang yang berhasil menjadikannya sebagai suatu kenikmatan. Penyakit yang mendera Nabi Ayyub sekujur badannya dikerumuni belatung membuatnya ia dibuang di sebuah gua di pegunungan di luar perkampungan, ia tiba-tiba mengatakan kepada para belatung di sekujur tubuhnya, kalian dulu makhluk yang paling aku benci, di mana-mana saya mencari tatbib untuk memusnahkanmu tetapi kalian tetap betah di tubuhku. Sekarang kalian bersenang-senanglah, karena ternyata kalian adalah sahabat setiaku. Satu-satunya yang bisa menemaniku di kegelapan gua ini hanya kalian. Ayub tidak lagi merasa sakit dari gigiran belatung-belatung itu.


Penderitaan, rasa sakit, kecewa, malu, menderita, dan tertekan hanyalah masalah psikologis. Musibah bisa diajak berkompromi. Musibah bisa dijadikan batu loncatan untuk naik lebih tinggi dari tempat semula. Banyak contoh dalam kehidupan kita musibah dijadikan sebagai hikmah untuk lebih maju, kreatif, dan berhasil. Jangan memusuhi musibah karena pasti terasa lebih sakit. Jangan memusuhi penyakit karena pasti penyakit itu lebih terasa mendera. Nikmati penderitaan itu, niscara kadar rasa sakitnya akan berkurang secara signifikan. Demikian pendapat para ahli anastesia.


Penderitaan atau musibah sesunggunya adalah "surat cinta Tuhan". Tuhan merindukan hamba-Nya tetapi undangannya berupa kenikmatan dan kemewahan tidak digubris, maka Tuhan mengubah surat undangannya dalam bentuk musibah. Musibah adalah ujian keburukan (balaun sayyiah) tetapi mengangkat martabat kemanusiaan. Ada juga ujian kebaikan (balaun hasanah) tetapi lebih sulit untuk dilulusi hamba-Nya, sehingga lebih banyak orang gugur dari ujian kemewahan daripada ujian musibah.


Jika orang ditimpa musibah maka yang paling pertama dipanggil biasanya Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Akan tetapi jika orang diuji dengan kemewahan atau pangkat, dan jabatan, yang paling sering dihubungi, di SMS adalah makhluk Tuhan, berupa orang yang disayanginya. Tidak jarang di antara mereka adalah bukan muhrimnya dan sering terjadi dosa dan maksiyat karenanya. Dengan demikian, musibah dan penderitaan tidak selamanya negatif. Ingat pesan nabi: "Jika Tuhan menyayangi hambanya maka siksaannya didatangkan lebih awal di dunia supaya di akhirat nanti lunas. Jika Tuhan tidak menyukai hambanya Dia menunda siksaan-Nya di akhirat yang amat pedih". Hadis lain dikatakan: "Orang yang menjalani sakit demam sehari maka akan dihapuskan dosanya setahun". Subhanallah. []

 

DETIK, 05 Mei 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar