Rabu, 03 Juni 2020

(Ngaji of the Day) Air Bercampur Kaporit, Bisakah Digunakan Bersuci?

Air Bercampur Kaporit, Bisakah Digunakan Bersuci?

 

Sudah maklum, air yang sah digunakan untuk bersuci bisa berasal salah satu dari tujuh macam air yang meliputi air sungai, hujan, air laut, air sumur, air yang bersumber dari dalam tanah (mata air), air salju, dan air dari hasil hujan es. Masing-masing air tersebut dinamakan sebagai air suci menyucikan (thâhir muthahhir). Artinya, air tersebut suci pada dirinya sendiri, juga bisa menyucikan benda lain dari najis atau hadats. 

 

Contoh air suci namun tidak menyucikan adalah air kelapa muda. Ia suci pada dirinya sendiri, sehingga bisa kita minum. Namun tidak menyucikan, sehingga seumpama digunakan menyiram ke tempat yang terkena najis kotoran cicak, walaupun secara lahiriah najisnya hilang, tapi pada hakikatnya tempat tersebut masih belum dikatakan suci. 

 

Secara mendasar, air itu tidak bisa berubah menjadi mutanajjis (terkena najis) sebab benda apa pun. Hal ini berdasar sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam

 

إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

 

Artinya: “Sesungguhnya air itu suci dan menyucikan, tidak ada benda lain yang bisa menjadikan air tersebut terkontaminasi najis.” (HR Abu Dawud [66], An-Nasa’i [174], At-Tirmidziy [66]) 

 

Namun jika kita lihat hadits di atas secara tekstual begitu saja, niscaya kita hanya akan meyakini, walaupun ada air kemasukan benda najis, tidak akan membuatnya menjadi najis. Akan tetapi hadits di atas ternyata tidak sendirian. Ada hadits-hadits lain yang juga memuat konten hampir sama dengan sedikit perinciannya masing-masing. Hadits-hadits seputar air dapat disimak di antaranya sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berikut ini:

 

إنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ، إِلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ، وَلَوْنِهِ

 

Artinya: “Sesungguhnya air itu tidak akan menjadi terkontaminasi najis kecuali bau, rasa dan warnanya terdegradasi.” (HR Ibnu Majah: 521) 

 

Hadits yang lain menyebutkan: 

 

إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ

 

Artinya: “Jika air mencapai dua kulah, maka tidak bisa memikul najis.” (Shahih Abu Dawud: 63)

 

Para ulama kemudian memadukan beberapa hadits di atas dengan hadits-hadits yang lain sehingga muncul produk kesepakatan, air dengan volume banyak yang mencapai dua kulah (174,58 liter hasil konversi ijtihad KH M Ma’sum Ali) atau lebih, kemudian kemasukan najis sedangkan salah satu dari tiga sifat air (bau, rasa, warna) berubah secara signifikan, maka air tersebut menjadi mutanajjis (terkena najis). 

 

Bagaimana jika yang mencampuri air tersebut berupa kaporit? 

 

Kaporit atau kalsium hipoklorit adalah salah satu jenis desinfektan berbentuk bubuk putih yang biasa digunakan di air PDAM atau kolam renang untuk menjernihkan dan membunuh bakteri-bakteri patogen yang tersebar pada air PDAM atau kolam renang. Kaporit akan terpecah di dalam air sehingga menghasilkan oksigen dan gas klorin yang berbau menyengat dan sifatnya melebur menjadi satu dengan air. 

 

Penggunaan kaporit harus disesuaikan dengan konsentrasi yang dibutuhkan dan batas aman yang telah ditetapkan oleh badan regulasi. Konsentrasi kaporit yang kurang dapat menyebabkan bakteri patogen yang ada di kolam renang tidak terbabat habis sehingga bisa menyebabkan penyebaran penyakit menular. Sedangkan konsentrasi kaporit yang berlebihan akan menyebabkan bahaya bagi kesehatan karena gas klorin yang tersisa pada air kolam renang. Jadi takarannya harus tepat. 

 

Sebagaimana pembahasan di atas, kita tahu bahwa yang bisa membuat najis air adalah benda najis atau benda yang terkena najis kemudian tercampur dengan air sehingga membuat perubahan netralitas air. Di sini, karena kaporit bukan berasal dari benda najis, setidaknya dapat disepakati bahwa air yang tercampur dengan kaporit tidak akan menjadi mutanajjis dalam arti air yanag tercampur dengan kaporit hukumnya tetap suci. Lalu air kaporit apakah tetap bisa menyucikan? Ini yang perlu kita telaah lebih lanjut. Mari kita teliti di kitab Al-Umm karya Imam Syafi’i: 

 

وَإِذَا وَقَعَ فِي الْمَاءِ شَيْءٌ حَلَالٌ فَغَيَّرَ لَهُ رِيحًا أَوْ طَعْمًا، وَلَمْ يَكُنْ الْمَاءُ مُسْتَهْلَكًا فِيهِ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَتَوَضَّأَ بِهِ وَذَلِكَ أَنْ يَقَعَ فِيهِ الْبَانُ أَوْ الْقَطْرَانُ فَيَظْهَرُ رِيحُهُ أَوْ مَا أَشْبَهَهُ. وَإِنْ أَخَذَ مَاءً فَشِيبَ بِهِ لَبَنٌ أَوْ سَوِيقٌ أَوْ عَسَلٌ فَصَارَ الْمَاءُ مُسْتَهْلَكًا فِيهِ لَمْ يُتَوَضَّأْ بِهِ؛ لِأَنَّ الْمَاءَ مُسْتَهْلَكٌ فِيهِ إنَّمَا يُقَالُ لِهَذَا مَاءُ سَوِيقٍ وَلَبَنٍ وَعَسَلٍ مَشُوبٌ

 

Artinya: “Jika ada air kemasukan benda halal (suci) kemudian mengubah bau dan rasanya sedangkan antara benda yang membuat berubah dan air tidak melebur jadi satu, maka wudhu menggunakan air yang seperti ini hukumnya sah. Misalnya ada air kemasukan kayu atau pelangkin (tir/ter) kemudian baunya menyengat atau sejenisnya. 

 

Jika ada orang mengambil air, lalu dicampuri dengan susu, tepung atau madu sehingga airnya larut menjadi satu, maka wudhu dengan air seperti ini hukumnya tidak sah. Karena air larut bersama benda dan mengubah netralitas nama air, bisa menjadikan namanya berubah menjadi air tepung, air susu, air madu yang tercampur. (Muhammad bin Idris As-Syâfi’i, Al-Umm, [Dârul Ma’rifah, Beirut, 1990], juz 1, halaman 20)

 

Imam Syafi’i di atas memandang antara air dan benda yang menyebabkan perubahan itu semata berpengaruh saja atau sampai larut dan berpengaruh?

 

Kalau hanya berpengaruh namun tidak larut, misalnya ada kolam kejatuhan dauh-daun pepohonan di sampingnya lalu mengubah bau air, maka tidak ada masalah. Karena antara dau dan air tidak larut. Berbeda jika kaporit. Kaporit itu selain menimbulkan bau, bendanya juga larut menjadi satu pada air. Maka, jika dampak percampuran tersebut tidak mempengaruhi nama dasar air, tidak masalah. Berbeda jika sampai orang-orang berubah melabeli air tersebut sebagai air kaporit. Maka hal ini yang mengubah netralitas air.

 

Ulama-ulama klasik sering mengidentikkan perubahan air dengan perubahan warna, atau semula bening menjadi keruh. Mungkin di era itu belum ditemukan hal sebaliknya: obat kimiawi yang bila dicampur malah bisa mengubah air keruh menjadi bening. Dengan kemajuan itu, Syekh Ismail bin Zen mempunyai pandangan sedikit lebih detail yang mungkin pada era Imam Syafii belum ada. Syekh Ismail berpandangan obat yang membikin bening jika dicampurkan di air, asalkan tidak dalam rangka merekayasa yang semula mutanajjis atau ghairu muthahhir, maka tidak ada masalah.  

 

Kaporit digunakan PDAM atau kolam renang tidak bertujuan ingin mengubah status air yang semula terkontaminasi najis sampai berubah warna, lalu direkayasa kimiawi supaya bening, bukan. Kaporit lebih mempunyai tujuan pengobatan dari kuman dan penjernihan murni. Berikut komentar Syekh Ismail Bin Zain:

 

أَنَّ تَغَيُّرَ اْلمَاءِ بِالْكَدُوْرَاتِ وَنَحْوِهَا مِنَ اْلأَشْيَاءِ الطَّاهِرَةِ لاَ يَسْلُبُ طَهُوْرِيَّتَهُ وَإِنْ تَغَيَّرَ رِيْحُهُ فَيَبْقَى طَاهِرًا مُطَهِّرًا عَلَى اْلأَصْلِ وَإِذَا عُوْلِجَ بِمَا ذُكِرَ فِي السُؤَالِ مِنَ اْلأَدْوِيَّةِ لِتَصْفِيَّتِهِ كَانَ ذَلِكَ نَوْعَ تَرَفُّهٍ ِلأجْلِ التَنْظِيْفِ لاَ ِلأَجْلِ التَّطْهِيْرِ بِشَرْطِ أَنْ تَكُوْنَ تِلْكَ اْلأَدْوِيَةُ غَيْرَ نَجِسَةٍ وَحِيْنَئِذٍ فَيَصِحُّ الْوُضُوْءُ وَسَائِرُ أَنْوَاعِ الطَّهَارَةِ بِالْمَاءِ الْمَذْكُوْرِ قَبْلَ الْمُعَالَجَةِ أَوْ بَعَدَهَا اه

 

Artinya: “Sesungguhnya perubahan air dengan benda keruh dan sejenisnya dari barang-barang yang suci tidak bisa merusak kesucian air meskipun baunya sampai berubah. Dengan demikian, status air masih tetap suci menyucikan sebagaimana aslinya. Jika barang yang dicampur ke air tersebut dengan tujuan mengobati air sebagaimana dalam pertanyaan supaya menjadi bening maka hal itu termasuk kategori kemewahan saja (bukan hal primer) untuk tujuan membersihkan air, bukan dalam rangka mengubah air yang semula tidak suci kemudian direkayasa menjadi suci dengan syarat obat atau kimiawi yang dipakai untuk hal tersebut bersumber dari benda yang tidak najis. Maka wudhu beserta macam-macamnya bersuci sah menggunakan air tersebut baik sebelum diobati atau pun sesudahnya.” (Isma’il bin Zain, Qurratul Ain bi Fatawa Isma’il Az-Zain, halaman 47)

 

Dengan ulasan dua ulama di atas, setidaknya bisa kita terapkan pada masalah air yang tercampur dengan kaporit sebagai berikut: 

 

Pertama, kaporit adalah benda suci yang dicampurkan ke dalam air bukan dalam rangka mengubah status air yang semula tidak suci menyucikan, atau suci namun tidak menyucikan kemudian ingin dinetralkan melalui perantara obat. 

 

Kedua, perubahan air yang dimasuki kaporit ada dua kemungkinan. Jika terlalu banyak sehingga masyarakat pengguna sampai melabeli sebagai air kaporit, tidak menyebutnya sebagai air PDAM lagi, maka air PDAM yang tercampur kaporit tersebut hukumnya suci namun tidak menyucikan. Boleh dikonsumsi, dibuat mencuci baju yang tidak terkena najis dan lain sebagainya. 

 

Apabila air PDAM atau kolam renang yang tercampur tersebut masih dalam batas wajar, sehingga masyarakat tidak melabelinya sebagai air kaporit, maka air dihukumi suci menyucikan. Wallahu a’lam. []

 

Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar