Jumat, 05 Juni 2020

Kang Komar: Lebaran Bersama Korona

Lebaran Bersama Korona

Oleh: Komaruddin Hidayat

 

AWAL 2020 hingga saat ini, dunia dibikin galau dan bingung oleh serangan wabah Covid-19 atau korona. Masyarakat Indonesia bersama masyarakat dunia sangat menanti penuh harap dan cemas kapan pandemi ini berakhir.

 

Jika selama ini kita mengenal ganasnya wabah penyakit melalui buku sejarah, dengan munculnya pandemi Covid-19 kita menyaksikan dan mengalami secara langsung. Wabah ini menyerang semua negara, tidak pandang agama, ras, sistem politik, dan strata ekonominya.

 

Kita saksikan, beberapa hari lalu pesawat udara parkir berjejer di landasan. Mobil-mobil mewah nongkrong di garasi. Pusat-pusat keramaian mendadak jadi sepi. Yang jadi prioritas orang hanya ingin hidup sehat, makan minum dan tidur cukup, serta menghirup udara bersih. Selebihnya menjadi sebuah kemewahan dalam angan-angan atau keinginan entah kapan terwujud.

 

Jika dulu dunia terbelah antara blok Barat yang kapitalis dan blok Timur yang sosialis, selama masa pandemi semuanya berada dalam posisi yang sama, bagaimana memenangkan perang melawan wabah korona sebagai musuh bersama. Kehadiran korona telah memperkuat ikatan kemanusiaan global.

 

Kita diajak merenung, memikirkan kembali bagaimana menjaga keseimbangan alam, terutama alam Indonesia yang telah rusak berantakan ini. Awalnya bumi Nusantara ini amat sangat indah. Kaya dengan keragaman nabati dan hewani. Curah hujan dan sinar matahari melimpah. Dunia mengagumi kekayaan ragam budaya, agama, bahasa, dan tradisi lokal.

 

Secara politik bangsa Indonesia pantas berbangga karena negara ini merdeka bukan sebagai hadiah dari penjajah, melainkan hasil perjuangan dan perlawanan rakyat terhadap penjajah asing. Negara Indonesia lahir dari rahim masyarakat yang kental semangat keberagamannya serta kuat tradisi gotong royongnya. Makanya, sistem sosialisme religius dianggap paling tepat dan cocok diterapkan dalam membangun ekonomi negara ini, yang saat ini telah digeser dan diacak-acak oleh kapitalisme-liberalisme yang mengantarkan munculnya sekelompok orang menguasai aset negara, sementara mayoritas harus bersabar berjuang memperbaiki nasibnya.

 

Dalam suasana batin yang suci, setelah menjalankan ibadah puasa dan ibadah sunah Ramadan lainnya, semoga doa orang-orang yang saleh didengar Tuhan agar pandemi segera berakhir. Kita yakin bahwa pandemi ini terjadi akibat ulah manusia yang tidak santun dan menghormati bumi tempat kita hidup, tidur, dan beraktivitas. Mungkin juga akibat kesalahan dan kejahatan manusia yang tak lagi memiliki nurani belas kasih.

 

Namun, di atas itu semua, kita meyakini kekuasaan dan kasih Tuhan mengatasi semua sebab-akibat yang terjadi di alam semesta ini. Atau, mungkin sekali ada agenda Tuhan di balik musibah ini, untuk memperingatkan manusia agar bertobat, menjalani hidup dengan cara yang baik, benar, dan sehat. Seperti yang Tuhan jelaskan di dalam Ar-Rum, Alquran 30:41, ’’Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

 

Hikmah lain dari korona telah mengembalikan kehangatan dalam keluarga mengingat semuanya banyak tinggal di rumah. Sebelum pandemi, betapa kita disibukkan dengan rutinitas kerja yang menghabiskan waktu kebersamaan untuk keluarga. Berangkat petang pulang malam, bahkan berhari-hari tidak kumpul keluarga.

 

Namun, dengan adanya korona, Tuhan istirahatkan kita sejenak untuk menata kebersamaan keluarga. Bagaimana seorang ayah yang selama ini disibukkan dengan urusan kantor, tapi dengan adanya Covid-19, bisa memperhatikan anak dan istrinya, begitu juga sebaliknya.

 

Selama Ramadan biasanya menjalankan bisnis, mengajar dan ceramah di mana-mana, saat ini dapat menikmati indahnya kebersamaan berbuka puasa bersama keluarga. Meski, ada kekhawatiran dan kejenuhan karena penghasilan berkurang dan tabungan makin menipis.

 

Dengan hadirnya Ramadan di tengah korona, kita melakukan transendensi diri, mengambil jeda dan jarak dari rutinitas hidup yang mungkin telah membuat kita bekerja bagaikan sebuah mesin tanpa ruh. Semoga capaian dan penguatan rohani selama Ramadan akan membekali kita di hari-hari dan bulan mendatang pasca Covid-19.

 

Kita semua berharap berkah Ramadan mampu mengembalikan perilaku santun, damai, dan mampu menahan diri dari berbagai godaan duniawi. Bukan sekadar interval sesaat, melainkan menemukan kembali jati diri dan komitmen bersama sebagai modal tekad dan kekuatan untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang bersih.

 

Idul Fitri dengan tradisi berlebaran di wilayah Nusantara yang biasanya heboh bagai festival yang sangat unik dan mengesankan kali ini berbeda karena korona. Hari Raya Idul Fitri di Indonesia merupakan pesta festival budaya berskala nasional, bercampur baur antara ajaran agama dan tradisi lokal serta pengaruh kebudayaan modern.

 

Sekalipun agama tidak mewajibkan pulang mudik, setiap Lebaran tiba kita sangat antusias beramai-ramai menengok kampung halaman untuk bertemu keluarga dan handai tolan. Sebuah festival keluarga, budaya, dan agama menjadi satu yang bergerak secara spontan dari masyarakat yang juga membawa dampak positif bagi pemerataan ekonomi. Dengan adanya korona dan aturan pemerintah dengan PSBB, tradisi mudik Lebaran ditiadakan. Meski demikian, hakikat festival Lebaran akan tetap terasa.

 

Agenda kita semua saat ini adalah menuntaskan pandemi Covid-19 agar segera berlalu sehingga kita bisa membangkitkan dan membangun kembali sendi-sendi perekonomian, memberantas korupsi, meningkatkan kualitas pendidikan, menciptakan lapangan kerja, dan menjaga kedamaian agar tujuan bernegara yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat segera diwujudkan. Selamat Idul Fitri 1441 H, Minal Aidin wal Faizin, mohon maaf lahir dan batin. []

 

JAWA POS, 26 Mei 2020

Komaruddin Hidayat | Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar