Cara Mbah Kiai Umar
Solo Ajarkan Kritisisme
Pada tahun 1972,
seorang pengusaha asal Surabaya bermaksud mengambil dua putra Mbah Ngismatun
Sakdullah Solo–biasa dipanggil Mbah Ngis–untuk diambil menjadi anak asuh. Mbah
Ngis dan Mbah Dullah sebagai orang tua setuju atas hal itu meski tempat
pengasuhannya bukan di Surabaya, tetapi di Madiun. Beberapa saat sebelum kedua
putra Mbah Ngis itu dibawa ke Madiun, Mbah Ngis dan Mbah Dullah memamitkan
kepada Mbah Kiai Umar sekaligus memohon nasihat-nasihatnya.
Hal pertama yang
ditanyakan Mbah Kiai Umar (wafat 1980) kepada Mbah Ngis terkait pendidikan
kedua putranya di Madiun adalah bagaimana dengan kegiatan mengaji Al-Qur’an.
“Lha mengko piye
ngajine anak-anakmu neng kana (nanti bagaimana kegiatan anak-anakmu mengaji di
sana)?” tanya Mbah Kiai Umar.
“Ngendikanipun bade
dipun padosaken guru ngaji, Pakde (katanya akan dicarikan guru ngaji, Pakde),
jawab Mbah Ngis).”
“Kowe ya percaya
anak-anakmu bakale digolekke guru ngaji (kamu ya percaya anak-anakmu akan
dicarikan guru ngaji)?” tanya Mbah Kiai Umar lebih lanjut.
Mendengar pertanyaan
Mbah Kiai Umar yang seperti meragukan kesungguhan pengusaha itu dalam memenuhi
janjinya, Mbah Ngis tidak berani menjawab sepatah kata pun. Mbah Ngis tidak
mungkin menjawab, “Kula husnudhan mawon, Pakde (saya husnudhan [berbaik sangka]
saja, Pakde).”
Tentu bisa dipahami
mengapa Mbah Ngis (wafat 1994) memilih diam. Bukankah seandainya Mbah Ngis
menjawab seperti di atas akan sama saja mengatakan atau menganggap Mbah Kiai
Umar melakukan su’udhan (berburuk sangka) terhadap pengusaha tersebut?
Maka pertanyaannya
adalah apakah Mbah Kiai Umar telah melakukan su’udhan? Ataukah sebenarnya ini
bukan persoalan husnudhan atau su’udhan, tetapi sekadar masalah metode
bagaimana mendapatkan sebuah kebenaran atau kepastian bahwa suatu kesanggupan
akan dipenuhi dengan cara mengawalnya secara kritis sehingga pengusaha itu
benar-benar mendatangkan guru ngaji.
Bagi Mbah Kiai Umar,
mengaji Al-Qu’ran bukanlah persoalan sepele. Mbah Kiai Umar tentu menginginkan
meskipun kedua putra Mbah Ngis itu diasuh orang lain dan tinggal jauh dari
rumah sendiri, mereka harus tetap mengaji Al-Qur’an sebagaimana santri-santri
di Mangkuyudan.
Setelah kedua putra
itu tiggal di Madiun, guru ngaji Al-Qur’an sebagaimana dijanjikan pengusaha
tersebut tidak pernah ada. Memang kedua putra itu sempat dibawa ke sebuah
masjid untuk dicarikan guru ngaji, tetapi hasilnya nihil.
Mbah Kiai Umar benar.
Bisa jadi beliau memiliki mukasyafah karena kejernihan mata batinnya sehingga
tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi Mbah Kiai Umar tidak mengintervensi
apa yang telah diputuskan Mbah Ngis, Mbah Dullah dan pengusaha itu. Beliau
justru membiarkan Mbah Ngis dan Mbah Dullah berproses menapaki jalannya sendiri
sebagai bagian dari pembelajaran mencari kebenaran.
Empat bulan lamanya
kedua putra Mbah Ngis itu tinggal di Madiun menyelesaikan satu kuartal
pendidikan SD. Setelah itu ketika liburan panjang mereka diantar pulang ke Solo
dan tidak pernah kembali lagi ke sana karena beberapa alasan.
Sekembali mereka di
Mangkuyudan, Mbah Kiai Umar memberikan perhatian yang besar kepada kedua putra
Mbah Ngis itu daripada sebelumnya. Mereka diajari mengaji Al-Qur’an secara
langsung oleh Mbah Kiai Umar sebagaimana santri-santri di pondok.
Sarung, Peci dan
Masjid
Suatu hari Mbah Kiai
Umar nimbali (memanggil) Mbah Ngis karena selama beberapa hari kedua putra Mbah
Ngis tidak mengaji Al-Qur’an pada Mbah Kiai Umar sehabis Maghrib. Waktu jamaah
shalat Maghrib pun, mereka juga tidak kelihatan di masjid. Kepada Mbah Ngis,
Mbah Kiai Umar mengatakan:
“Yen anak-anakmu pas
wayah Maghrib metu soko ngomah kalungan sarung, nganggo kupluk, mlaku menyang
mesjid, kuwi ojo kok anggep anak-anakmu bakale mesti munggah mesjid terus
jamaah shalat. Coba tutna anak-anakmu kuwi pada menyang endi? (jika anak-anakmu
di saat Maghrib keluar rumah berkalung sarung, memakai peci, berjalan menuju
masjid, itu jangan kamu anggap anak-anakmu pasti naik ke masjid lalu shalat
berjamaah. Coba dikuntit anak-anakmu kemana perginya).”
Mbah Ngis paham
dengan apa yang dimaksudkan Mbah Kiai Umar. Mbah Ngis tidak perlu menjawab
dengan mengatakan, misalnya, “Kula husnudhan dateng lare-lare, Pakde
(saya husnudhan terhadap anak-anak, Pakde).”
Jawaban seperti itu
pasti tidak diharapkan Mbah Kiai Umar karena yang dikehendaki beliau adalah
Mbah Ngis bisa bersikap kritis dengan tidak percaya begitu saja terhadap apa
yang ditangkap oleh indera mata karena penglihatan bisa terkecoh oleh
anggapan-anggapan atau dugaan-dugaan yang ada dalam pikiran sebelum
pembuktian.
Dari ndalem Mbah Kiai
Umar, Mbah Ngis pulang ke rumah dan melapor kepada Mbah Dullah sebagai suami.
Disepakati Mbah Dullah (wafat 2005) akan menguntit kedua putranya itu dari
belakang ketika mereka keluar rumah dengan berkalung sarung, mengenakan peci,
dan berjalan menuju masjid menjelang adzan Maghrib.
Benar, Mbah Dullah
mendapati kedua putranya itu sampai di masjid, tetapi mereka tidak naik ke
tempat itu untuk shalat Maghrib. Mbah Dullah melihat, dari samping selatan
masjid kedua putranya itu mlipir-mlipir (berjalan secara hati-hati) ke arah
barat hingga pintu keluar. Dari sana mereka belok ke selatan dan bergegas ke
sebuah rumah di seberang jalan untuk menonton televisi yang sedang menyiarkan
film “Rin Tin Tin”, sebuah film serial TV yang sangat disenangi anak-anak di
zaman itu.
Melihat hal itu, Mbah
Dullah menyadari bahwa selama ini telah keliru oleh anggapan-anggapan dalam
pikiran ketika melihat sarung dan peci dikenakan kedua putranya itu di petang
hari menjelang Maghrib dan berjalan menuju masjid. Sejak peristiwa ini, Mbah
Ngis dan Mbah Dullah bersikap kritis dalam menghadapi hal-hal yang memang perlu
pembuktian sebagaimana yang diharapkan Mbah Kiai Umar.
Itulah metode
keraguan (syak minhaji) yang diperkenalkan Imam Al-Ghazali dalam risalahnya
berjudul Al-Munqidz minadl Dlalal (Pembebas dari Kesesatan) yang ditulisnya
pada sekitar tahun 1097. Dengan metode itu Mbah Kiai Umar bermaksud memberikan
pembelajaran kepada pasutri Mbah Dullah dan Mbah Ngis agar mereka memiliki
sikap kritis dengan pendekatan keraguan metodis dalam mendidik putra-putranya demi
keberhasilan mereka di kemudian hari. []
Muhammad Ishom, dosen
Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar