Hoaks Ancam Sila Kedua Pancasila
Oleh: Ahmad Syafii
Maarif
Hoax atau diindonesiakan menjadi
'hoaks' yang berarti berita bohong, palsu, atau tipuan yang sengaja diciptakan
orang yang tunamoral untuk meraih sebuah tujuan, apakah itu politik, ekonomi,
dan kejahatan, atau sekadar buat lelucon. Usia istilah ini kabarnya bisa
dilacak dalam sejarah Eropa abad ke-17.
Adalah Thomas Ady dalam karyanya berjudul Candle in the
Dark,or a Treatise of Witches & Witchcraft (1656), salah
satu karya awal tentang hocus pocus, asal mula perkataan hoax itu.
Terjemahan judul buku ini adalah “Lilin dalam Kegelapan, atau sebuah Risalah
tentang Pesihir Perempuan dan Ilmu Sihir”. Dengan demikian, 'hoaks' sejak awal
penggunaannya sudah bersifat negatif, jahat, dan gelap sehingga perlu diberi
cahaya.
Hocus pocus (bahasa Latin) yang
berarti tipuan, kelicikan, atau permainan sulap. Maka jika ada manusia yang
bangga sebagai pencipta 'hoaks' itu pastilah ada sesuatu yang tidak beres dalam
jiwanya atau memang dipakai keahlian jahatnya itu untuk maksud yang jahat pula.
Pada era politik pascakebenaran yang sedang melanda jagat raya
sekarang, masyarakat pada umumnya mudah menjadi rentan dan tertipu oleh berita
dusta, apalagi jika disampaikan berulang-ulang. Oleh sebab itu, kewaspadaan dan
kecerdasan kita perlu selalu diasah agar tidak menjadi korban 'hoaks' dengan
sia-sia.
Demikianlah agar masyarakat Indonesia tidak terus dirusak oleh
maksud-maksud jahat ini, sore kemarin saya kirim pesan via WA kepada Kapolri:
“Pak Kapolri Yth. Mhn Polri cukup arif menyikapi kasus RS, krn semuanya bisa
diputar balik. Trim. Maarif.” Sembilan menit kemudian, Kapolri menjawab: “Siap
Buya. Polri akan obyektif dan profesional. Wass.”
Pada pukul 21.52, hari yang sama, Kapolri kirim pesan WA lagi yang
berbunyi: “Asww Buya. Kalau mgkin buya kasih masukan ke pak Jkw juga. Dan Buya
membuat pernyataan yg mendinginkan publik agar kontestasi berjalan sehat sesuai
prinsip2 demokrasi. Wass.”
Kita semua berharap bahwa kasus RS ini adalah kasus individual,
tidak ada pihak lain yang bermain di belakangnya, sehingga bisa dilokalisasi
sebatas yang bersangkutan saja. Di media sosial sejak beberapa hari ini telah
berkeliaran tafsiran-tafsiran liar yang bisa merusak semangat integrasi
nasional, sesuatu yang wajib dihindari.
Demokrasi Indonesia yang dengan susah payah dibangun kembali,
jangan sampai berantakan lagi oleh sikap-sikap yang tidak patriotik yang
mungkin dilakukan sementara pihak. Harapan Kapolri sungguh menjadi harapan kita
semua “agar kontestasi berjalan sehat sesuai prinsip2 demokrasi”.
Jika yang berlaku sebaliknya, cita-cita kemerdekaan berupa
tegaknya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan semakin menjauh
saja, padahal bangsa ini sudah merdeka lebih dari 73 tahun. Betapa banyaknya
waktu yang tersia-sia karena konflik politik masa lalu yang sering
berdarah-darah. Apakah semua titik hitam ini belum cukup menyadarkan kita semua
agar nasib bangsa ini tidak lagi terlunta-lunta oleh perbuatan sebagian
anak-anaknya yang lupa akan tujuan kemerdekaan.
Sekalipun judul Resonansi ini: “Hoaks Ancam Sila Kedua
Pancasila”, sebenarnya sila-sila yang lain juga sama terancam. Sila kedua ini
berbunyi, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, sebuah sila filosofis yang
maknanya dalam sekali. Sila ini memerintahkan rakyat Indonesia tanpa kecuali
agar selalu berperilaku adil dan beradab dalam situasi yang panas dan kritikal
sekalipun.
Tetapi, alangkah sulitnya. Pengalaman sejarah sekian puluh tahun,
sila ini sering dibinasakan oleh ambisi-ambisi kekuasaan tanpa kontrol oleh
hati nurani dan akal sehat. Tidak ada jalan lain, jika bangsa ini ingin punya
masa depan yang cerah dan bermartabat, sikap adil dan beradab wajib dijadikan
pedoman keseharian kita, tidak terkecuali para politikus.
Melalui media sosial yang sangat marak pada era digital ini,
'hoaks' secara bebas telah menjadi senjata ampuh untuk melumpuhkan lawan-lawan
politik yang tidak lain adalah saudara-saudara sebangsa dan senasib. Jika
bangsa ini runtuh oleh kelakuan busuk dan jahat ini, sesal kemudian tidak ada
gunanya, karena semuanya berlaku akibat minusnya rasa tanggung jawab bersama
yang semestinya senantiasa dipimpin oleh sila kedua Pancasila.
Akhirnya, saya sungguh meminta kepada seluruh elite partai dan
pendukungnya agar tetap menjaga semangat persaudaraan sebangsa dan senegara.
Integrasi nasional jangan sampai diruntuhkan oleh para pecundang liar yang
tunaadil dan tunaadab.
Jelas, pencipta 'hoaks' tidak paham makna terdalam dari sila kedua
Pancasila. Bangsa dan negara ini terlalu mulia untuk dikorbankan. Ingat peribahasa
Arab ini, Mahmâ tubaththin tuzhhirhu al-ayyâm (Apa pun yang kau
rahasiakan, sejarah pasti akan membongkarnya), cepat atau lambat. 'Hoaks'
adalah perbuatan keji yang pasti akan ketahuan, betapa pun sengaja
ditutupi! []
REPUBLIKA, 09 Oktober 2018
Ahmad
Syafii Maarif | Mantan
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar