Doa dan Waktu yang Pas
untuk Berjimak
Pertanyaan:
Assalamu 'alaikum, alhamdulillah sekarang ada
rubrik baru yg sangat bermanfaat. Saya mau nanya apa amalan yang disyariatkan
oleh ulama Aswaja ketika sebelum melakukan jimak, ketika melakukannya dan
setelah melakukannya, adakah doa-doa atau bacaan yang disyariatkan, agar dalam
jimak mendapatkan pahala dan keutamaan yang lebih besar dan kapan waktu terbaik
untuk jimak? Terima kasih.
Wahyudi Ariannor -- Jl. Bina Murni, Loktabat
Utara, Banjarbaru, Kalimantan Selatan
Jawaban:
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati
Allah swt. Bahwa bagi suami istri berjimak adalah sebuah kebutuhan yang
mendasar. Sebagai sebuah kebutuhan yang mendasar maka terdapat beberapa amalan
yang sebaiknya dilakukan baik sebelum melakukannya, sedang maupun sesudahnya.
Sedang mengenai waktu berjimak, karenan keterbatasan yang ada kami hanya
menjelaskan secara singkat. Dan insya Allah akan kami jelaskan lebih detail
lagi pada kesempatan yang lain.
Amalan yang sebaiknya dilakukan sebelum
memulai jimak adalah sebagai berikut:
1.
Disunnahkan untuk membaca bismillah
2.
Membaca surat Al-Ikhlash
3.
Membaca takbir dan tahlil (Allohu
akbar, Laailaha illalloh)
4.
Membaca doa: Bismillahil-‘aliyy
al-azhim. Allahumma ij`alhâ dzurriyatan thayyibah, in kunta qaddarta an
tukhrija dzâlika min shulbi. Allahumma jannibni asy-syaithân wa jannib
asy-syaithân mâ razaqtanâ. (Redaksi Arabnya seperti dalam penjelasan al-Ghaali di
bawah)
5.
Memakai penutup atau selimut, dan
jangan melakukan jimak dengan telanjang bulat
6.
Memulai dengan cumbu-rayu dan ciuman
Amalan ketika sedang jimak:
1.
Hindari untuk mengadap kearah kiblat
2.
Hindari terlalu banyak pembicaraan
3.
Ketika istri menjelang orgasme, maka
suami mengatakan dalam hati: Alhamdulillahil-ladzi khalaqa minal-mâ` basyara
faja’alahu nasaban wa shahra wa kana rabbuka qodîra.
4.
Usahakan untuk keluar bersama-sama,
karenanya pihak lelaki jangan terburu-buru untuk segera mentuntaskan permainan
sebelum pihak perempuan mencapai orgasme.
5.
Dan jika ingin mengulangi jimak yang
kedua maka sebaiknya membersihkan atau mencuci terlebih dahulu kemaluannya.
Demikian itu sebagaimana dikemukakan oleh
Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya` ‘Ulumiddin:
وَيُسْتَحَبُّ
أَنْ يَبْدَأَ بِاسْمِ اللهِ تَعَالَى وَيَقْرَأَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ أَوَّلاً
وَيُكَبِّرَ وَيُهَلِّلَ وَيَقُولَ بِسْمِ اللهِ العَلِيِّ العَظِيمِ اللَّهُمَّ
اجْعَلْهَا ذُرِّيَةً طَيِّبَةً إِنْ كُنْتَ قَدَّرْتَ أَنْ تُخْرِجَ ذَلِكَ مِنْ
صُلْبِي وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا
أَتَى أَهْلَهُ قَالَ اَللَّهُمَّ جَنِّبْنِي الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ
مَا رَزَقْتَنَا، فَإِنْ كَانَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ
وَإِذَا قَرُبَتْ مِنَ الإِنْزَالِ فَقُلْ فِي نَفْسِكَ وَلَا تُحَرِّكْ
شَفَتَيْكَ: اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ
نَسَبًا وَصِهْرًا، وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا، وَكَانَ بَعْضُ أَصْحَابِ الحَدِيثِ
يُكَبِّرُ حَتَّى يَسْمَعَ أَهْلُ الدَّارِ صَوْتَهُ ثُمَّ يَنْحَرِفُ عَنِ
القَبْلَةِ وَلَا يَسْتَقْبِلُ القِبْلَةَ بِالوَقَاعِ إِكْرَاماً لِلْقِبْلَةِ
وَلْيُغَطِّ نَفْسَهُ وَأَهْلَهُ بِثَوْبٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُغَطِّي رَأْسَهُ وَيَغُضُّ صَوْتَهُ وَيَقُولُ لِلْمَرْأَةِ
عَلَيِكِ بِالسَّكِينَةِ وَفِي الخَبَرِ إِذَا جَامَعَ أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلَا
يَتَجَرَّدَانِ تَجَرُّدَ العَيْرَيْنِ أَيْ اَلْحِمَارَيْنِ وَلْيُقَدِّم
التَّلَطُّفَ بِالكَلَامِ وَالتَّقْبِيلِ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لاَ يَقَعَنَّ أَحَدُكُمْ عَلَى امْرَأَتِهِ كَمَا تَقَعُ البَهِيمَةُ وَلْيَكُنْ
بَيْنَهُمَا رَسُولٌ قِيلَ وَمَا الرَّسُولُ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ القُبْلَةُ
وَالكَلَامُ.... ثُمَّ إِذَا قَضَى وَطَرَهُ فَلْيَتَمَهَّلْ عَلَى أَهْلِهِ
حَتَّى تَقْضِيَ هِيَ أَيْضاً نَهْمَتَهَا (ابو حامد الغزالي، إحياء علوم الدين،
مصر-مصطفى البابي الحلبي، 1385 هـ/1936، ج، 2، ص. 51، 52
“Dan disunnahkan memulai dengan membaca
bismillah. Selanjutnya diawali dengan membaca Qul huwallahu ahad, membaca
takbir, lalu membaca doa: Bismillah al-‘aliy al-‘azhîm allahumma ij’alha dzurriyatan
thayyibah in kunta qaddarta an tukhrija dzalika min shulbi. Rasulullah saw
bersabda, jika salah satu di antara kalian mendatangi isterimu maka berdoalah,
allahumma jannibnisy-syaithân wa jannibisy-syaithân ma razaqtana, karena
apabila (hubungan badan) di antara keduanya menghasilkan anak maka syaitan
tidak akan menggangunya. Dan apabila si istri menjelang orgasme, maka bacalah
dalam hatimu dan jangan gerakkan kedua bibirmu: Alhamdulillahil ladzi khalaqa
minal-mâ`i basyaran fa ja’alahu nasaban wa shahran wa kâna rabbuka qadîran. Dan
sebagian ashab al-hadîts bertakbir sampai seiisi rumah mendengarnya. Kemudian
berpaling dari kiblat dan tidak menghadap kiblat ketika jimak karena untuk
memuliakan kiblat. Dan hendaknya (suami) menutupi dirinya dan istrinya dengan
kain (tsaub). Rasulullah saw menutupi kepalanya dan memelankan suaranya sembari
berkata kepada istrinya, tenanglah. Bila salah satu dari kalian berhubungan
badan dengan istrinya maka jangan keduanya bertelanjang bulat seperti halnya
dua keledai. Dan (sebelum berhubungan badan) hendaknya didahului dengan
cumbu-rayu dan ciuman. Rasulullah saw bersabda: Janganlah salah satu di antara
kalian menyetubuhi isitrinya sebagaimana persetubuhan hewan, dan hendaknya di
antara keduanya ada perantara. Lantas ditanyakan (kepada beliau), apa itu
perantara wahai Rasulullah saw, beliau-pun menjawab, ciuman dan
cumbu-rayu….kemudian ketika suami mengalami orgasme maka hantarkan sang istri
secara perlahan-lahan sampai ia juga mengalami orgasme. (Abu Hamid al-Ghazali, Ihya
Ulumiddin, Mesir-Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1358 H/1939 M, juz, 2, h. 51,
52).
Lebih lanjut menurut Imam al-Ghazali, jika
ingin mengulangi jimak yang kedua maka sebaiknya membersihkan atau mencuci
terlebih dahulu kemaluannya. Setelah berjimak segeralah mandi junub, namun
apabila ingin langsung tidur atau makan maka lakukan wudlu terlebih dahulu.
(Abu Hamid al-Ghazalim Ihya` ‘Ulumiddin, juz, 2, h. 52).
Selanjutnya mengenai waktu yang pas untuk
berjimak, menurut Imam al-Ghazali, sebaiknya jimak dilakukan setiap empat hari
sekali, atau tergantung kebutuhan. Sebagian ulama ada yang mensunnahkan pada
hari Jum’at. Dan dimakruhkan berjimak pada awal bulan, tengah, dan akhir bulan.
Bagitu juga dimakruhkan berjimak pada awal malam. Hal ini sebagaimana
dikemukan oleh Imam al-Ghazali:
وَيَنْبَغِي
أَنْ يَأْتِيَهَا فِي كُلِّ أَرْبَعِ لَيَالٍ مَرَّةً فَهُوَ أَعْدَلُ إِذْ عَدَدُ
النِّسَاءِ أَرْبَعَةٌ فَجَازَ التَّأْخِيرُ إِلَى هَذَا الحَدِّ نَعَمْ يَنْبَغِي
أَنْ يَزِيدَ أَوْ يَنْقُصَ بِحَسْبِ حَاجَتِهَا فِي التَّحْصِينِ…. وَيُكْرَهُ
لَهُ الجِمَاعُ فِي ثَلَاثِ لَيَالٍ مِنَ الشَّهْرِ الأَوَّلِ وَالآخِرِ
وَالنِّصْفِ يُقَالُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَحْضُرُ الجِمَاعَ فِي هَذِهِ
الْلَيَالِي… وَمِنَ العُلَمَاءِ مَنْ اسْتَحَبَّ الجِمَاعَ يَوْمَ الجُمُعَةِ
وَلَيْلَتَهُ تَحْقِيقاً لِأَحَدِ التَّأْوِيلَيْنِ مِنْ قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحِمَ اللهُ مَنْ غَسَلَ وَاغْتَسَلَ..... وَإِنْ أَرَادَ
أَنْ يُجَامِعَ ثَانِياً بَعْدَ أُخْرَى فَلْيَغْسِلْ فَرْجَهُ ....وَيُكْرَهُ
الجِمَاعُ فِي أَوَّلِ اللَّيْلِ حَتَّى لَا يَنَامَ عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ
فَإِنَ أَرَادَ النَّوْمَ أَوْ الأَكْلَ فَلْيَتَوَضَّأ أَوَّلًا وُضُوءَ
الصَّلَاةِ فَذَلِكَ سُنَّةٌ (ابو حامد الغزالي، إحياء علوم الدين، مصر-مصطفى
البابي الحلبي، 1385 هـ/1936، ج، 2، ص. 52
“Dan sebaiknya suami mendatangi istirinya
empat hari sekali. Dan ini adalah yang paling ideal karena jumlah maksimal
perempuan (yang boleh dinikahi) itu empat. Selanjutnya boleh juga mengakhirkan
sampai batas ini, bisa sebaiknya menambah atau mengurangi sesuai dengan
kebutuhan istri dalam tahshîn….dan dimakruhkan bagi suami untuk berjimak pada
tiga malam dari satu bulan yaitu pada awal bulan, akhir, dan tengah bulan.
Dikatakan: Sesungguhnya syaitan akan menghadiri jimak yang dilakukan pada
malam-malam ini…Sebagian ulama ada yang mensunnahkan jimak pada hari dan malam
jumat sebagai hasil tahqiq terhadap salah satu dari dua ta’wil dari sabda
Rasulullah saw: Allah akan merahmati orang mencuci dan mandi (pada hari
jumat)….Dan jika suami ingin berhubungan badan dengan istrinya untuk yang kedua
kali maka hendaknya ia mencuci kemaluannya….dan dimakruhkan berjimak pada awal
malam sampai ia tidak tidur kecuali dalam kondisi tidak suci, maka jika ingin
tidur atau makan hendaknya ia melakukan wudlu sebagaimana wudlu untuk shalat.
Demikian ini hukumnya sunnah. (Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumiddin,
Mesir-Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1358 H/1939 M, juz, 2, h. 51, 52)
Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan,
semoga bisa menjadi panduan yang bermanfaat. []
Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar