Mencari Peradilan Pilkada
Oleh: Moh Mahfud MD
Melalui akun Twitter, banyak yang menanyakan pandangan saya
tentang pendapat Prof Yusril Ihza Mahendra (YIM) mengenai dilema hukum setelah
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun
2014 yang mengatur pemilihan kepala daerah secara langsung.
Awal pekan ini YIM menyatakan, baik diterima maupun ditolak oleh
DPR, perppu yang mengatur pemilihan umum kepala daerah (pilkada) secara
langsung itu menimbulkan masalah hukum. Kalau DPR menolak perppu itu, akan
terjadi kekosongan hukum karena perppu tersebut telah secara sah menyatakan
tidak berlaku (dalam bahasa umum: mencabut) UU No 22 Tahun 2014 yang mengatur
pemilihan kepala daerah melalui DPRD.
Tapi jika Perppu diterima oleh DPR, berarti tidak sejalan dengan
putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melalui putusan No 97/PUU-XI/2013 tanggal
19 Mei 2014, MK menolak kewenangan mengadili sengketa pilkada secara langsung.
Bagi YIM putusan MK memberi arti bahwa pilkada secara langsung adalah
inkonstitusional. Alasannya, MK yang berwenang mengadili sengketa pemilu
menganggap pilkada langsung bukan pemilu sebagaimana diatur di dalam Pasal 22E
ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945.
Saya sependapat dengan YIM dalam satu hal, tetapi berbeda pendapat
dalam satu hal lainnya. Saya sependapat, jika perppu ditolak dapat menimbulkan
kekosongan hukum karena UU No 22 Tahun 2014 telah dicabut oleh perppu tersebut.
Perppu itu sah sampai dinyatakan batal oleh MK atau ditolak oleh DPR sehingga
pencabutannya atas UU No 22 Tahun 2014 adalah sah pula.
Kalau ternyata perppu itu kelak ditolak DPR, pencabutannya atas UU
No 22 Tahun 2014 sudah selesai dan UU tersebut tidak bisa dihidupkan lagi. Akan
lain halnya jika perppu tersebut ”dinyatakan batal” oleh MK sebelum UU itu
diterima atau ditolak oleh DPR. Jika itu yang terjadi, UU yang dicabut perppu tersebut
bisa dihidupkan kembali asal dalam vonisnya MK menyatakan batal dan bukan
membatalkan.
Di dalam hukum, vonis yang menyatakan batal itu berlaku surut (ex
tunc) sehingga dianggap tidak pernah ada dengan segala akibat hukumnya. Tapi
kalau vonis menyatakan membatalkan perppu itu, maka ia berlaku prospektif (ex
nunc) dalam arti tidak berlaku sesudah ada vonis tersebut, sedangkan akibat
hukum yang telah ditimbulkannya itu termasuk pencabutan UU.
Tapi saya berbeda dengan YIM yang menyatakan kalau perppu diterima
oleh DPR bisa menimbulkan masalah hukum karena tidak sesuai dengan putusan MK
No 97/PUU-XI/ 2013 yang berisi penolakan MK atas kewenangan untuk mengadili
sengketa pilkada. Menurut YIM, vonis MK itu bisa diartikan bahwa pilkada langsung
bukanlah pemilu sebagaimana diatur di dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945
sehingga inkonstitusional dan tidak ada lembaga peradilan yang bisa mengadili
sengketanya.
Beberapa hari sebelum pengesahan RUU Pilkada tanggal 26 September
2014 dini hari di DPR YIM, seperti ditayangkan TV One , juga mengatakan bahwa
pilkada secara langsung itu tidak sesuai dengan konstitusi. Dasarnya, Pasal 22E
ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan ”pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota
DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
Karena di dalam pasal tersebut tidak disebutkan pemilihan kepala
daerah sebagi pemilu dan MK menolak kewenangan mengadili sengketa pilkada,
menurut YIM pilkada secara langsung itu inkonstitusional. Dalam soal itulah ”saya
tidak sependapat” dengan YIM. Menurut saya, tanpa harus dikaitkan dengan
kewenangan MK untuk mengadili sengketa pilkada, pemilihan kepala daerah secara
langsung adalah konstitusional, sama konstitusionalnya dengan pilkada melalui
DPRD.
MK sendiri dalam beberapa putusannya, misalnya Putusan No 72 dan
73/ PUU-II/ 2004 dan Putusan No 97/PUU-XI/2013, sudah menegaskan bahwa
pemilihan kepala daerah secara langsung maupun tidak langsung adalah
konstitusional. Ia merupakan opened legal policy (pilihan kebijakan hukum yang
terbuka) yang berarti sama-sama demokratis sesuai dengan ketentuan Pasal 18
ayat (4) UUD NRI 1945 bahwa pemilihan gubernur, bupati, dan wali kola dilakukan
secara demokratis.
Adapun fakta bahwa MK menolak kewenangan mengadili sengketa pilkada
langsung bukan berarti pilkada langsung itu inkonstitusional. MK hanya sebatas
menyatakan lembaga peradilan yang berkompeten menangani sengketa pilkada
langsung bukanlah MK sehingga harus diatur dan ditentukan secara terpisah oleh
pembentuk undang-undang.
Itu pula sebabnya MK sendiri menyatakan, sebelum pembentuk
undang-undang menentukan lembaga peradilan yang berwenang mengadili sengketa
pilkada, MK sendiri masih akan terus menanganinya. Jadi MK pun tetap pada
pendirian bahwa pilkada langsung atau tidak langsung adalah konstitusional. Tak
ada pernyataan dalam putusan MK tersebut yang mengubah pendirian MK bahwa
pemilihan kepala daerah secara langsung atau tidak langsung adalah
inkonstitusional.
Dengan demikian menurut pendapat saya pilkada (langsung oleh
rakyat) adalah konstitusional. Soal lembaga yang harus mengadili sengketa yang
timbul darinya bisa diatur dengan atau di dalam undang-undang. Toh, dalam
faktanya banyak kewenangan lembaga peradilan yang tidak diatur langsung di
dalam konstitusi, melainkan cukup diatur dengan atau di dalam undang-undang. []
KORAN SINDO, 13 Desember 2014
Moh Mahfud MD ; Guru
Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar