Komitmen KH Hasyim Asy’ari dalam mencerdaskan kehidupan bangsa ia wujudkan dengan mendirikan pusat pembelajaran ilmu-ilmu agama yaitu pondok pesantren di daerah Tebuireng, Jombang pada tahun 1899.
Seketika pendidikan berbasis agama berkembang pesat di Indonesia. Hal ini menimbulkan resistensi Belanda. Kolonial menilai bahwa pendidikan berbasis agama yang dilakukan oleh para guru (kiai dan ulama) menjadi ancaman bagi eksistensi penjajah sehingga perlu diawasi dengan ketat.
Dari kegelisahan tersebut, Belanda berusaha melakukan pengawasan terhadap semua
guru yang melakukan pengajaran melalui semacam sertifikasi dari pemerintah
Hindia Belanda yang disebut Ordonansi Guru.
Dalam sistem ordonansi tersebut, semua guru (kiai, ulama) yang melakukan pembelajaran harus memiliki izin. Kebijakan Ordonansi Guru ini dikeluarkan oleh Belanda pada tahun 1905. (baca Choirul Anama, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010)
Di Pondok Pesantren Tebuireng yang didirikannya, KH Hasyim Asy’ari harus izin
pemerintah setempat yang terafiliasi dengan pemerintah kolonial sebelum
melakukan pengajaran. Kebijakan tersebut cukup menghambat syiar dari seorang
guru agama yang selama ini berjalan dengan baik dan progresif walaupun tanpa
administrasi yang sifatnya politis itu.
Menurut regulasi yang menyasar tanah Jawa dan Madura kala itu, seorang guru
agama harus memiliki keterangan mengajar atau izin tertulis sebelum dia
mengajar. Bukan hanya itu, tetapi setiap guru agama harus mengetahui daftar
mata pelajaran dan nama murid-muridnya agar dapat dikontrol.
Kebijakan ini tentu saja menghambat praktik pembelajaran setiap harinya karena
guru harus membuat perizinan yang prosesnya tidak mudah. Para guru agama saat
itu melihat kebijakan ini sebagai upaya menghambat perkembangan pembelajaran
agama. Apalagi Ordonansi Guru juga ditujukan oleh Belanda kepada tokoh agama
dan para guru agama yang selama ini menentang pemerintahan kolonial.
Kalangan pesantren yang sejak dahulu berkembang pesat dalam proses pembelajaran
agama menentang keras kebijakan Ordonansi Guru Hindia-Belanda. Meskipun
Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) kala itu belum dideklarasikan, tetapi KH Hasyim
Asy’ari dan para ulama pesantren getol mendorong penghapusan kebijakan
tersebut.
Bersama sejumlah Ormas Islam yang lebih dulu lahir, ulama pesantren berhasil membuat Belanda memperlunak kebijakan Ordonansi Guru pada tahun 1925 yang isinya hanya mewajibkan guru-guru agama untuk memberitahu bukan meminta izin.
Namun, upaya melunakkan diri terhadap kebijakan tersebut justru dilakukan oleh
Belanda untuk memperluas Ordonansi Guru dari hanya Jawa dan Madura ke berbagai
daerah seperti Sumatera.
Dengan memperluas kebijakan tersebut, secara otomatis Belanda mendapatkan perlawanan lebih luas lagi. Selain Jawa dan Madura, Ordonansi Guru juga mendapat perlawanan di Sumatera sehingga akhirnya kebijakan ini gagal pada tahun 1928. []
(Fathoni
Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar