Di Mesir terdapat seorang ulama yang sangat alim dalam bidang ilmu qira’at Al-Qur’an. Boleh dikatakan bahwa ia merupakan muara sanad qira’at Al-Qur’an bahkan tertinggi pada masanya. Meskipun beliau tidak pernah memangku jabatan Syaikh Umum al-Maqari’ al-Mashriyah (kepala umum para qari’ Mesir), namun jasa dan kontribusinya dalam menyebarkan ilmu qira’at Al-Qur’an sangat besar. Beliau bukan satu-satunya ulama yang mahir dalam bidang ilmu qira’at. Tapi beliau merupakan salah satu contoh seorang ulama yang tulus mengabdikan dirinya untuk mengajar dan melahirkan generasi qur’ani. Beliau adalah Syekh Ahmad az-Zayyat.
Nama lengkapnya, Ahmad bin Abdul Aziz bin Ahmad bin Muhammad az-Zayyat al-Azhary
al-Mashry al-Dharir. Kata “al-Dharir” ini menunjukkan bahwa beliau adalah
seorang tunanetra (lemah penglihatannya) sejak kecil. Ketika berumur 40 tahun,
penglihatannya semakin memprihatinkan sampai tidak melihat. Meskipun demikian,
Allah anugerahkan “bashirah” mata hati yang mampu menyinari jalan ilmu orang
banyak sehingga menjadi rujukan dalam bidang ilmu qira’at. Menurut penuturan
muridnya, Syekh Aiman Rusydi Suwaid, meskipun beliau tidak bagus penglihatannya
tapi semangatnya dalam mengajar dan tulus mengabdi mengalahkan orang yang mampu
melihat.
Predikat sebagai muara sanad sangat tepat, sebab hampir semua sanad yang lahir
dari para masyayikh Mesir saat ini bersambung dengan beliau bahkan bisa
dikatakan sebagai sanad tertinggi pada masanya. Hal ini bukan tanpa alasan,
sebab dalam kehidupan sehari-harinya beliau habiskan untuk mengajar Al-Qur’an
sampai-sampai bisa dibilang “Tiada hari tanpa mengajar qira’at Al-Qur’an”.
Pintu rumahnya selalu terbuka untuk para penuntut ilmu dari belahan negara yang
hendak belajar dan membaca qira’at Al-Qur’an kepadanya.
Syekh Ahmad az-Zayyat merupakan seorang allamah (alim besar) dan seorang imam dalam bidang ilmu qira’at Al-Qur’an yang tiada tanding. Beliau tidak hanya menguasai ilmu qira’at semata tapi beliau juga menguasai ilmu syari’at dan bahasa Arab. Bahkan ia dapat dikatakan sebagai lambang ilmu dan keutamaan, hatinya suci nan jernih bak embun pagi. Menurut penuturan muridnya, Syekh Aiman Rusydi Suwaid, lisan beliau terjaga dari ghibah, tidak berkenan melakukan ghibah kepada siapa pun, dan tidak mengizinkan seorang pun yang ghibah di hadapannya. Beliau sangat perhatian kepada murid-muridnya dan mengasihinya.
Beliau lahir di Kairo pada tahun 1352 H - 1907 M, dan menjalani hidup
sehari-harinya di kota ini. Kairo sebagai ibu kota Mesir dapat dikatakan
sebagai kota metropolitan, yang banyak dikunjungi oleh para turist luar negeri
dan menjadi pusat ilmu dan peradaban. Di sana terdapat sebuah lembaga tertua
yang menjadi sumber pengetahuan bagi para penuntut ilmu, yaitu Al-Azhar. Di
lembaga inilah, beliau menempa ilmu dan mengabdikan dirinya. Dari ulama
Al-Azhar beliau merengguh ilmu dan hikmah.
Perjalanan Ilmiah Syekh Ahmad az-Zayyat
Sejak kecil, beliau menghafal Al-Qur’an sebagaimana layaknya anak kecil masanya yang menghafal Al-Qur’an di kuttab dan tempat-tempat pengajian Al-Qur’an. Setalah menghatamkan Al-Qur’an, beliau melanjutkan belajar di al-Azhar sampai mahir dan menguasai ilmu syariat dan bahasa Arab.
Kecakapannya dalam bidang ilmu syari’at dan bahasa tidak membuatnya puas,
beliau kemudian melanjutkan belajar qira’at Al-Qur’an, baik dari jalur
Syatibiyah dan al-Durrah (Qira’at Sughra ) maupun dari jalur Thayyibah al-Nasyr
(Qira’at Kubra) kepada beberapa guru, salah satunya adalah:
1. Syekh Khalil al-Jinayini, beliau membaca qira’at asyrah sugra hanya sampai pada surat al-Taubah 75 (وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللَّهَ لَئِنْ آتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ (75)), kemudian melanjutkan membaca qira’at kubra juga tidak sampai hatam karena keadaan yang menghalangi. Beliau membaca qira’at asyrah kubra kepada Syekh Khalil hanya sampai pada surat al-Dukhan 21 (وَإِنْ لَمْ تُؤْمِنُوا لِي فَاعْتَزِلُونِ (21)).
2. Syekh Abdul Fattah Hunaidi, beliau membaca qira’at asyrah sugra dan kubra sampai selesai hingga mendapatkan legalitas ijazah Al-Qur’an yang bersambung kepada Nabi Muhammad ﷺ.
3. Syekh Hanafi al-Saqa, beliau adalah murid Syekh Khalil al-Jinayini.
4. Syekh Ali al-Dhabba, beliau membaca qira’at syadzah pada tahun 1937 M.
5. Syekh Muhammad al-Samatuthi, beliau belajar hadis kitab Jami at-Turmudzi, kitab Shahih al-Muslim dan sebagian kitab Shahih al-Bukhari.
Aktivitas dan Jabatan Syekh Ahmad az-Zayyat
Setalah menyelami lautan ilmu-ilmu syari’at, bahasa dan qira’at Al-Qur’an, beliau mengabdikan diri untuk menyebarkan ilmu yang diperolehnya dengan membuka majlis pengajian Al-Qur’an di rumahnya, dekat kampus Al-Azhar al-Syarif, Kairo. Banyak penuntut ilmu yang dating berduyun-duyun untuk belajar kepada beliau, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Pengabdian pertama ini memberikan berkah tersendiri bagi Syekh az-Zayyat, tidak
berselang lama dari pembukaan masjlis pengajian tersebut, beliau diangkat
menjadi dewan pengajar ilmu qira’at di Program Studi ilmu qira’at di Fakultas
Bahasa (dulu Prodi ini masih berada di bawah Fakultas Bahasa. Sekarang Program
Studi ilmu qira’at ini berdiri sendiri di bawah Fakultas Al-Qur’an Thantha,
Mesir, bahkan secara khusus ada jurusan tajwid dan qira’at di sekolah setingkat
MTs dan MA).
Pada tahun 1985, beliau diangkat menjadi dewan pengajar (dosen kontrak) ilmu
qira’at di Fakultas Al-Qur’an Universitas Islam Madinah. Selain menjadi dewan
pengajar, beliau juga diangkat menjadi Anggota Lajnah Ilmiah untuk menyimak
murattal perekaman di Majma Malik Fahd Lithiba’ah Mushaf al-Syarif dan menjadi
Anggota Dewan Syura Tertinggi Majma Malik Fahd Lithiba’ah Mushaf al-Syarif
Setelah mendarmabaktikan dirinya untuk khidmah kepada Al-Qur’an, penuh dengan
berkah dan keberkahan, pada hari Ahad 16 Sya’ban 1424 H – 11 Oktober 2004 M
beliau mengembuskan napas terakhirnya.
“Jika pada masa dulu terdapat seorang imam Hafs yang memiliki banyak murid,
Baghdad dan Hijaz, hingga bacaannya menjadi bacaan yang paling banyak digunakan
di dunia islam”.
“Pada periode berikutnya terdapat seorang Syekh Ahmad az-Zayyat yang mampu
melahirkan generasi qur’ani, Mesir-Saudi, hingga beliau menjadi muara sanad
pada saat ini, lantas siapakah generasi berikutnya yang akan meniru keduanya?” []
Moh. Fathurrozi, Pecinta ilmu Qira’at dan penulis buku “Mengarungi Samudera
Kemuliaan 10 Imam Qira’at”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar