Mendengar kata ruqyah, kebanyakan orang mungkin akan tertuju pada praktik pengobatan mistis untuk menangani penyakit-penyakit nonmedis seperti kesurupan, guna-guna, santet, teluh, dan gangguan gaib lainnya. Padahal, ruqyah tidak selalu berkaitan dengan hal-hal demikian. Sebab, ruqyah juga digunakan untuk pengobatan medis.
Kalau kita coba mendefinisikan, ruqyah merupakan praktik pengobatan dengan
ayat-ayat Al-Qur’an, doa-doa, atau zikir-zikir khusus untuk menyembuhkan orang
yang memiliki keluhan penyakit medis ataupun nonmedis. Dalil praktik pengobatan
demikian adalah firman Allah swt berikut:
وَنُنَزِّلُ
مِنَ الْقُرْاٰنِ مَا هُوَ شِفَاۤءٌ وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَۙ وَلَا
يَزِيْدُ الظّٰلِمِيْنَ اِلَّا خَسَارًا
Artinya, “Kami turunkan dari Al-Qur'an (sesuatu) yang menjadi penawar dan
rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (Al-Qur'an itu)
hanya akan menambah kerugian.” (Surat Al-Isra ayat 82).
Ayat ini menjelaskan bahwa salah satu manfaat Al-Qur’an bagi manusia adalah
obat bagi orang-orang yang beriman. Imam Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya
menyampaikan, kata syifâ (penawar atau obat) pada ayat di atas menunjukkan
bahwa Al-Qur’an bisa menjadi obat baik untuk penyakit rohani atau
jasmani.
Lebih tegas, Ar-Razi mengatakan, “Jika mayoritas filsuf dan ahli pembuat jimat
saja bisa menyembuhkan dengan bacaan-bacaan selain Al-Qur’an, maka jelas
Al-Qur’an lebih manjur karena sudah mendapat legalitas teologis. Rasulullah saw
sendiri telah menyampaikan, ‘Siapapun yang tidak (mencari) kesembuhan dengan
Al-Qur’an, maka Allah tidak akan memberikan kesembuhan baginya.’” (Ar-Razi,
Tafsir Al-Kabir, tanpa tahun: juz XXI, halaman 34)
Tidak jauh berbeda, Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menyebutkan, kata syifâ juga memiliki arti obat bagi penyakit medis dengan metode ruqyah, meminta perlindungan kepada Allah, dan semisalnya. Al-Qurthubi mendasari penjelasannya dengan hadits panjang berikut:
حَدَّثَنَا
أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ , أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بَعَثَ سَرِيَّةً عَلَيْهَا أَبُو سَعِيدٍ فَمَرَّ بِقَرْيَةٍ فَإِذَا
مَلِكُ الْقَرْيَةِ لَدِيغٌ , فَسَأَلْنَاهُمْ طَعَامًا فَلَمْ يُطْعِمُونَا
وَلَمْ يُنْزِلُونَا , فَمَرَّ بِنَا رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْقَرْيَةِ , فَقَالَ:
يَا مَعْشَرَ الْعَرَبِ هَلْ مِنْكُمْ أَحَدٌ يُحْسِنُ أَنْ يَرْقِيَ؟ إِنَّ
الْمَلِكَ يَمُوتُ , قَالَ أَبُو سَعِيدٍ: فَأَتَيْتُهُ فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ
فَاتِحَةَ الْكِتَابِ فَأَفَاقَ وَبَرَأَ , فَبَعَثَ إِلَيْنَا بِالنُّزُلِ
وَبَعَثَ إِلَيْنَا بِالشَّاءِ , فَأَكَلْنَا الطَّعَامَ أَنَا وَأَصْحَابِي وَأَبَوْا
أَنْ يَأْكُلُوا مِنَ الْغَنَمِ حَتَّى أَتَيْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ الْخَبَرَ , فَقَالَ: «وَمَا يُدْرِيكَ
أَنَّهَا رُقْيَةٌ؟» قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ شَيْءٌ أُلْقِيَ فِي رَوْعِي ,
قَالَ: فَكُلُوا وَأَطْعِمُونَا مِنَ الْغَنَمِ
Artinya, “Abu Sa’id al-Khudri ra telah menceritakan kami bahwa Rasulullah saw pernah mengutus sekelompok pasukan dan Abu Sa’id berada bersama mereka. Pasukan itu kemudian melewati sebuah perkampungan. Ketika itu pemimpin kampung itu digigit hewan melata. Kami lalu meminta makanan kepada mereka, namun mereka enggan memberinya dan tidak menyuruh kami singgah.
Tak lama kemudian salah seorang penduduk kampung tersebut melewati kami dan
berkata, ‘Wahai sekalian orang Arab, apakah di antara kalian ada yang pandai
meruqyah? karena pemimpin kami hampir mati.’ Abu Sa’id berkata, ‘Aku lalu
mendatanginya dan membacakan surah Al-Fatihah kepadanya. Akhirnya, ia siuman
dan sembuh.’
Ia lalu memberi kami persinggahan dan beberapa ekor domba. Setelah itu kami
menyantap makanannya, namun mereka enggan memakan domba tersebut. Ketika kami
sampai kepada Rasulullah saw, aku menceritakan hal tersebut kepadanya.
Mendengar itu, beliau berkata, ‘Apa yang membuatmu tahu bahwa ia adalah
ruqyah?’ Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, ada sesuatu (ilham) yang dibesitkan di
hatiku.’ Beliau bersabda, ‘Kalau begitu makanlah dan berilah kami makan dari
domba tersebut.’” (HR. Ad-Daraquthni no. 3018). (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li
Ahkamil Qur’an, tanpa tahun: juz x, halaman 315).
Melalui ayat Al-Qur’an dan hadits di atas, jelas bahwa pada dasarnya praktik
ruqyah dibenarkan dalam Islam. Masih banyak ayat dan hadits lain yang dijadikan
dasar oleh para ulama terkait keabsahan ruqyah.
Sejumlah ulama bahkan menulis kitab khusus untuk menjelaskan metode pengobatan
ini secara komprehensif seperti kitab ensiklopedis berjudul Mawsu’atur Ruqiyah
fi ‘Ilajis Sihri wa Tahardil Jinni wasy Syayathin karya Abul Barra’ Usamah bin
Yasin al-Ma’ani.
Lalu bagaimana dengan praktik ruqyah yang tidak menggunakan ayat
Al-Qur’an atau tidak ma’tsur (tidak diajarkan oleh Rasulullah)?
Pertanyaan ini memang kerap disampaikan banyak orang. Pasalnya, ada praktik
ruqyah yang menggunakan bacaan-bacaan khusus bukan bersumber dari Al-Qur’an dan
hadits. Seperti pengobatan menggunakan zikir asma-asma suryani, yaitu bahasa
kuno yang banyak ditemui dalam pengobatan-pengobatan hikmah.
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa membaca pemaparan Ibnu Hajar
al-Haitami berikut:
وحيث
كان في الرقية اسم سريانيّ مثلاً لم يجز استعمالها قراءة ولا كتابة، إلا إن قال
أحد من أهل العلم الموثوق بهم: إن مدلول ذلك الاسم معنى جائز؛ لأنّ تلك الأسماء
المجهولة المعنى قد تكون دالة على كفر أو محرم، كما صرّح به أئمتنا، فلذلك حرموها
قبل علم معناها
Artinya, “Jika dalam praktik ruqyah seumpama terdapat asma suryani, maka tidak
boleh membaca dan menuliskannya kecuali sudah mendapat legalitas dari orang
yang kompeten di bidangnya. Sebab, asma-asma yang artinya tidak diketahui
terkadang bisa mengarah pada kekufuran atau keharaman. Demikian menurut
imam-imam kami. Sebab itu, para ulama mengharamkannya sebelum tahu
maknanya.” (Ibnu Hajar, Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, juz I, halaman 37).
Dari penjelasan Ibnu Hajar di atas dapat dipahami bahwa kita harus hati-hati
dengan pengobatan menggunakan dzikir-dzikir yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an
atau dajarkan oleh Nabi. Pengguna harus tahu artinya terlebih dahulu. Dan yang
tidak kalah penting memiliki guru dan sanad yang jelas.
Sekadar menyebutkan contoh, penggunaan asma suryani seperti pada Asma
Birhitiyah yang dijelaskan oleh Abul ‘Abbas Ahmad bin Ali Al-Buni dalam Mamba’
Ushûlil Ḫikmah. Asma tersebut berjumlah 14 dan semuanya memiliki arti yang
jelas sebagaimana asmaul husna. Dzikir ini tidak bisa diamalkan sembarangan.
Harus ada guru dan sanad yang jelas.
Simpulannya, pengobatan dengan praktik ruqyah diperbolehkan dalam Islam. Banyak
ayat Al-Qur’an dan hadits yang menjadi dasarnya. Dengan catatan, jika ada
praktik pengobatan demikian tidak ditemukan landasannya baik dalam Al-Qur’an
dan hadits seperti penggunaan asma suryani, maka boleh asalkan tahu artinya dan
memiliki guru serta sanad yang jelas. Dan yang tidak kalah penting, baik
praktisi atau pasien ruqyah harus meyakini bahwa kesembuhan dari Allah swt. []
Ustadz M Abror, pengajar pada Mahad Ali As-Shiddiqiyah, Kedoya, Kebon Jeruk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar