Shuluh (damai/toleransi/rekonsiliasi) merupakan salah satu wujud aplikasi "akad" dalam fiqih muamalah untuk lebih menimbang dan memilih maslahat dibanding macetnya tujuan bermuamalah disebabkan kekurangan kecil yang sulit dipenuhi. Akad ini merupakan akad yang sangat indah. Betapa tidak, tatkala transaksi menemui kebuntuan pemenuhannya 100% sesuai dengan seharusnya, maka untuk menghindari perselisihan/sengketa yang berkepanjangan lalu disyariatkanlah shuluh.
Istilah “shuluh” dan turunannya beberapa kali disinggung dalam Al-Qur’an. Dalam setiap ayat yang menyebut kata ini, selalu memiliki nuansa telah terjadi konflik kecil. Misalnya, Firman Allah subhanahu wata’ala berikut ini:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Artinya: "Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha-Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS an-Nisa: 128)
Di dalam QS an-Nisa: 35, Allah subhanahu wata’ala juga berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
Artinya: "Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS an-Nisa: 35)
Ibnu 'Athiyah dalam kitabnya Al-Muharrar al-Wajîz jilid 2 halaman 141 memberikan penafsiran terhadap maksud dari penggalan ayat الصلح خير sebagai berikut:
وقوله تعالى: {والصلح خير} لفظٌ عام مطلق، يقتضي أن الصلح الحقيقي ـ الذي تسكن إليه النفوس ويزول به الخلاف ـ خيرٌ على الإطلاق، ويندرج تحت هذا العموم أن صلح الزوجين على ما ذكرنا خير من الفرقة
Artinya: "Firman Allah Ta'ala (والصلح خير) merupakan bentuk lafadh 'am mutlak yang memuat pengertian bahwa sesungguhnya 'hakikat rekonsiliasi', yang berfokus pada menenangkan gejolak hati dan menghilangkan akar perselisihan adalah lebih baik secara mutlak. Selanjutnya, dari lafadh umum ini terbit pengertian bahwa sesungguhnya mendamaikan dua suami istri yang sedang berselisih sebagaimana telah kami sebutkan adalah jauh lebih baik dibanding perceraian," (Ibn 'Athiyah, Al-Muharrar al-Wajiz, Beirut: Muwafiq li al-Mathbu', tt., 2/141).
Berangkat dari penafsiran ini, seolah terbit makna perintah bahwa hendaknya hal yang terpenting dalam hidup kita adalah berusaha berusaha mewujudkan rekonsiliasi dari setiap konflik. Tujuannya adalah lahirnya maslahah yang dikehendaki oleh syariat sebagaimana tercermin dari perjalanan sirah Nabi kita, yakni Muhammad SAW. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah:
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Artinya: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS an-Nisa’: 114)
Lantas, bagaimana akad ini dipraktikkan dalam fiqih muamalah?
Al Imam Taqiyuddin Ibn Abu Bakar al Husny dalam Kifâyatu al-Akhyâr mendefinisikan:
وفي الإصطلاح هو العقد ينقطع به خصومة المتخاصمين
Artinya: "Secara istilah, shuluh adalah akad yang menghentikan permusuhan dua orang yang bersengketa." (Taqiyuddin Ibn Abu Bakar al Husny, Kifâyatu al-Akhyâr fi Hilli Ghâyati al-Ikhtishâr, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, tt.: 359)
Misalnya, ada seseorang yang meminjam sepeda. Secara tidak disangka, bannya meletus dan harus ganti ban karena tidak mungkin ditambal. Pada saat mengembalikan ke pemilik sepeda, orang yang meminjam ini menceritakan apa yang terjadi. Dan ia tidak meminta pihak yang punya sepeda untuk mengganti. Shuluh seperti ini merupakan shuluh hibah, atau biasa disebut juga sebagai shuluh mu'âwadlah.
Model shuluh dalam perbankan muâmalah misalnya adalah kewajiban membayar denda yang diberlakukan kepada pihak yang mengambil pembiayaan secara murâbahah. Hukum asal denda dengan harta menurut fiqih adalah tidak boleh. Namun, karena ada maksud lit ta’dib (pendisiplinan) kepada nasabah supaya tidak menunda-nunda pembayaran utang, maka dimasukkanlah hal tersebut dalam bagian akad shuluh itu.
Namun, yang menjadi permasalahan berikutnya adalah siapa yang boleh menetapkan keputusan lit ta'dib itu? Sejauh ini, secara fiqih konteks penetapan keputusan (taqrîr jama'iy) wajibnya akad shuluh ini masih diperselisihkan syarat-syaratnya. Meskipun Jam'iyah Nahdlatul Ulama sudah menetapkan garis-garis besarnya di dalam keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Tahun 2017 di Nusa Tenggara Barat. Bagaimana bentuk aplikasinya dalam muamalah, mungkin dalam hal ini kita perlu berdiskusi kembali lebih jauh. Wallahu a'lam bish shawab. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syari'ah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar