Ijazah (legalitas formal) merupakan pengakuan secara formal dari seorang tokoh atau lembaga dalam bidang tertentu. Seorang yang memiliki ijazah, secara formal dinyatakan memiliki kapasitas dalam keilmuan tertentu.
Dalam bidang Al-Qur’an, mencari ijazah yang bersambung kepada Nabi Muhammad ﷺ merupakan suatu hal
yang terpuji. Pada masa dahulu, banyak para ulama yang pergi ke suatu negara
dengan tujuan untuk mendapatkan sebuah ijazah dari seorang guru.
Pada masa Nabi, pemberian ijazah telah dijumpai, bahkan dilakukan oleh Nabi
kepada sebagian sahabat seperti Abdullah bin Mas’ud, Salim, Muadz, dan Ubay bin
Ka’ab. Nabi bersabda:
خُذُوا
القُرْآنَ مِنْ أَرْبَعَةٍ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، وَسَالِمٍ،
وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، وَأُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ
Artinya: “Ambillah Al-Qur’an dari empat orang; dari Abdullah bin Mas’ud, Salim,
Muadz bin Jabal dan Ubay bin Ka’ab”.
Dalam hadis ini, Nabi memberikan ijazah (legalitas formal) kepada keempat
sahabat di atas untuk mengajarkan Al-Qur’an karena kapasitasnya yang mumpuni
dalam bidang Al-Qur’an.
Secara bahasa, ijazah berarti legalitas atau putusan, sedangkan dalam ranah
ilmu Al-Qur’an adalah sebuah persaksian atau pengakuan dari seorang mujiz (guru
yang memberikan ijazah) kepada seorang mujaz (yang mendapatkan ijazah) atas
keahliannya dalam bidang Al-Qur’an, seperti hafal Al-Qur’an, memiliki kapasitas
keilmuan dan bacaan Al-Qur’an yang baik serta memiliki kecakapan dan keahlian
dalam mengajarkan Al-Qur’an.
Pada dasarnya, untuk mendapatkan ijazah Al-Qur’an seseorang harus menyimak dan
membaca Al-Qur’an sampai khatam kepada seorang guru yang mutqin (sangat
lancari dan kuat hafalannya). Namun ada pula ijazah Al-Qur’an yang diberikan
kepada seseorang yang hanya membaca sebagian ayat Al-Qur’an, bahkan ada yang
hanya melalui uji kompetensi dalam bidang Al-Qur’an dengan beberapa syarat
tertentu.
Berikut enam metode ijazah Al-Qur’an yang umumnya tertera dalam penulisan ijazah transmisi sanad beserta peringkatnya:
Pertama, ijazah ‘ardhan wa sima’an (ijazah setoran dan sema’an). Secara
praktik, seorang guru membaca Al-Qur’an dan murid mendengarkan dengan seksama.
Setelah sang guru selesai membaca, murid membaca ulang yang dibaca oleh
gurunya.
Metode ijazah dan talaqqi Al-Qur’an seperti ini merupakan yang paling tinggi
derajatnya, hanya saja praktiknya sedikit ditemukan pada saat ini.
Praktik talaqqi (tatap muka atau perjumpaan langsung) seperti ini
telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad ﷺ, dengan Malaikat Jibril. Nabi menyimak dengan
seksama bacaan Jibril, kemudian setelah menuntaskan bacaannya, Nabi membaca
ulang yang dibaca oleh Jibril. Metode seperti ini termaktub dalam Al-Qur’an;
فَإِذَا
قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (18)
Artinya: “Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaan itu”.
Imam Nafi’ (w. 169 H) merupakan salah satu Imam Qira’at yang mengikuti metode
talaqqi seperti di atas. Beliau membaca Al-Qur’an kepada murid-muridnya
sebanyak 30 ayat pada setiap pertemuan. Begitu pula Imam Ashim, beliau membaca
Al-Qur’an kepada muridnya yang bernama Imam Syu’bah (w. 193 H) sebanyak lima
ayat tiap kali pertemuan.
Kedua, ijazah ardhan faqath (ijazah setoran saja), yaitu seorang murid membaca
kepada seorang Guru sampai khatam tanpa harus menyimak bacaan guru terlebih
dahulu. Metode talaqqi seperti ini sangat terkenal dan banyak dipraktikkan di
berbagai kuttab, pesantren tahfidz, lembaga pendidikan Al-Qur’an, dan majelis
pengajian Al-Qur’an. Pada umumnya yang menggunakan metode seperti ini adalah
mereka yang sudah mahir membaca Al-Qur’an atau yang sudah khatam kemudian
menyetorkan kembali hafalannya kepada Guru yang lain dengan tujuan “tabarrukan”
(mencari berkah).
Di sisi lain, setelah Islam meluas dan banyak orang Muslim yang mahir membaca
Al-Qur’an, maka sudah barang tentu metode seperti ini merupakan yang paling
praktis.
Dalam ranah pengajaran Al-Qur’an, metode pertama disebut dengan metode
mutaqaddimin (lama) sedangkan metode yang kedua disebut metode muta’akhkhirin
(baru).
Ketiga, ijazah sima’an faqath (ijazah sema’an saja), yaitu seorang guru membaca
Al-Qur’an dan seorang murid mendengarkan tanpa harus mengulangi bacaan sang
guru. Dalam transmisi sanad Al-Qur’an, metode semacam ini sangat jarang
dijumpai meskipun menurut sebagian ulama dianggap sah. Metode ini banyak
digunakan dalam periwayatan hadits.
Imam Khalaf bin al-Bazzar (w. 229 H) merupakan salah satu imam Qira’at Asyrah
(10) dan perawi qira’at dari Imam Hamzah (w. 156 H) yang mempraktikkan kedua
metode talaqqi di atas; Pertama, kepada Imam Sulaim bin Isa (w. 188 H), murid
kinasih Imam Hamzah, beliau talaqqi dengan menggunakan metode setoran (ardhan).
Kedua, kepada Iman Ali al-Kisa’i (w. 189 H), beliau talaqqi secara sima’an
sampai khatam tanpa setoran terlebih dahulu. Meskipun demikian, Imam Khalaf
menguasai secara tepat (dhabt) qira’at Imam Ali al-Kisa’i.
Keempat, ijazah bi al-ikhtibar (ijazah dengan uji kompetensi), yaitu seorang
Guru menguji kompetensi seorang murid dengan mengajukan beberapa pertanyaan
wajah-wajah bacaan di tempat yang berbeda-beda. Apabila sang murid mampu
menjawab dan memiliki kapasitas keilmuan, maka dia berhak mendapatkan ijazah.
Tapi apabila sang murid dianggap tidak mampu, maka dia tak berhak mendapatkan
legalitas ijazah.
Secara umum pemberian ijazah seperti ini berlaku dan dianggap sah apabila
seorang muird telah mengkhatamkan Al-Qur’an terlebih dahulu atau telah
menguasai qira’at Al-Qur’an secara “riwayatan wa dirayatan” kepada seorang Guru
yang mumpuni. Ketentuan lain juga berlaku yaitu seorang Guru mengenali
kepakaran Guru pertama atau dengan menunjukkan legalitas ijazahnya.
Seorang murid yang mencari ijazah dengan cara ini dituntut harus memiliki
keberanian, kredibilitas, kapasitas dan penguasaan terhadap ilmu yang ditekuni.
Pada umumnya murid yang ingin mendapatkan ijazah melalui metode seperti ini
bertujuan untuk mendapatkan transmisi periwayatan yang lebih dekat jalurnya
kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Kelima, ijazah bi ba’dh Al-Qur’an (ijazah sebagian Al-Qur’an), yaitu seorang
murid membaca beberapa ayat Al-Qur’an kepada seorang Guru, kemudian diberikan
ijazah. Pemberian ijazah seperti ini dilakukan oleh Imam Ibnu al-Jazari (w. 833
H) kepada muridnya, Syekh Ridwan al-Uqba (w. 852 H). Beliau hanya membaca surat
al-Fatihah dan lima ayat surat al-Baqarah di dalam Ka’bah. Dalam penulisan
ijazah dan transmisi sanad banyak dijumpai penyebutan dan penisbatan nama
Ridwan al-Uqba dari jalur Imam Ibnu al-Jazari.
Demikian pula, Abu Thahir al-Nuwairi (w. 856 H), beliau membaca qira’at asyrah
kepada Imam Ibnu al-Jazari hanya sampai pada surat an-Nisa. Kedua murid Imam
Ibnu al-Jazari ini tidak sampai khatam. Namun sebelum membaca dan mengambil
sanad dari Ibnu al-Jazari, keduanya terlebih dahulu mengkhatamkan kepada
seorang Guru yang kompeten.
Syekh Ridwan al-Uqba membaca Al-Qur’an dan qira’at kepada Syekh Zaki Abu
al-Barakat, Syekh an-Nur Abu al-Hasan Ali al-Dumairi al-Maliki, Syekh Ismail
al-Anbabi dan lain-lain. Sedangkan Syekh Thahir al-Nuawairi membaca kepada Abu
Abdillah al-Hariri, Syekh an-Nur al-Habibi, Syekh Ibnu Ayyasy dan lain-lain.
Sehingga sah-sah saja pemberian ijazah sanad seperti ini kepada keduanya karena
kualitas, kredibilitas dan kapasitas yang dimiliki tidak terbantahkan,
disamping telah mengkhatamkan terlebih dahulu kepada Guru yang lain.
Penulisan dan penisbatan nama Ibnu al-Jazari dalam sebuah ijazah sanad bisa
jadi karena faktor ketenaran beliau dan menjadi rujukan ulama pada masa itu
dalam bidang qira’at hingga mendapatkan julukan “Khatimah al-Muhaqqiqin”,
pamungkas para peneliti.
Termasuk dalam kategori metode talaqqi seperti ini adalah “ijazah bi
al-munawabah”, yaitu pengajian Al-Qur’an berbentuk halaqah. Setiap murid
membaca Al-Qur’an/qira’at secara bergiliran yang dipandu dan dikoreksi oleh
seorang Guru dan murid lain yang menyimak ikut aktif mengoreksi bacaan
temannya. Seorang murid yang mendengarkan bacaan temannya tercatat layaknya
membaca.
Metode seperti ini dipraktikkan oleh sebagian masyayikh di Timur Tengah,
termasuk Syekh Bakri al-Tharabisyi (w. 1433 H- 2012 M). Namun di akhir
hayatnya, beliau mencabut ijazah metode seperti ini karena banyak yang
menyalahgunakan untuk kepentingan yang tidak selaras dengan nilai-nilai ajaran
Al-Qur’an.
Keenam, ijazah bil mukatabah, yaitu seorang guru mengirimkan ijazah kepada
muridnya meskipun tidak bertemu dan mendengarkan darinya walau satu huruf.
Pemberian ijazah ini karena kepakaran dan kemahiran seorang dalam bidang ilmu
qira’at. Seperti pemberian ijazah qira’at 14 dari Syekh Ali al- Dhabba’ (w.
1389 H – 1961 M) kepada Syekh Abdur Qadir Quwaidir al-Urbili (w. 1369 H – 1900
M) meskipun keduanya tidak pernah bertemu.
[]
Moh. Fathurrozi, pengajar ilmu qira’at; menjadi dai di Korea Selatan dalam beberapa kali Ramadhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar