Final Pertandingan Sepakbola Piala AFF 2021, pada leg pertama, dilakukan antara Indonesia vs Thailand yang diakhiri dengan score 0-4 untuk Thailand. Pertandingan ini masih belum berakhir, seiring masih ada leg kedua. Harapan besar masyarakat pecinta Tanah Air adalah Indonesia mampu membalik keadaan, minimal harus berskor 5-0. Mungkinkah? Kita doakan saja.
Akan tetapi, penulis tidak sedang fokus membicarakan mengenai sepakbola. Biarlah, soal sepakbola ditangani oleh yang berkompeten. Yang fokus penulis hendak sampaikan, adalah masih berkaitan dengan syakhshiyah i’tibariyah (manusia ilusi), seiring hal ini merupakan tema bahasan di Muktamar Ke-34 NU di Provinsi Lampung.
Sudah barang tentu, maksud utama dari Indonesia vs Thailand di sini, bukanlah masyarakat Indonesia (secara keseluruhan) bertempur melawan Thailand. Ketika disebutkan diksi “Indonesia” pada pilihan kalimat di atas, adalah Tim Sepakbola Nasional besutan PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia).
Karena PSSI merupakan induk organisasi persepakbolaan nasional maka tim besutan yang bertanding tersebut bisa dikatakan mewakili seluruh masyarakat pecinta sepakbola di Indonesia. Alhasil, yang bertanding adalah wakil-wakil terbaik pesepakbola Indonesia. Sebagai wakil, maka mereka memiliki kompetensi sebagai ahli ada’ (ahli menunaikan tugas perwakilan) dan sekaligus ahli wujub (ahli yang memiliki kecakapan wewenang untuk menjalankan tugas selaku wakil).
Bagaimana dengan PSSI?
PSSI adalah badan hukum. Ia berperan mewakili seluruh tim kesebelasan sepakbola Indonesia dan memiliki kewenangan (ahliyatu al-wujub) mengambil wakil-wakil dari tim terbaik dari seluruh klub sepakbola Indonesia dan selanjutnya mewadahinya dalam satu ruang pembinaan Tim Sepakbola Nasional. Berbekal kewenangan ini pula maka induk organisasi sepakbola yang satu ini berhak melakukan seleksi berdasarkan hasil survei yang dilakukannya terhadap para pemain, berdasarkan pertandingan di tingkat liga-liga yang sudah diselenggarakan.
Makna dari menjalankan wewenang, seolah menempatkan PSSI berlaku sebagai individu (syakhshiyah i’tibariyah). Tentu saja, mandat ini merupakan mandat hukum dan peraturan yang berlaku (taklifiyatu al-hukm). Berbekal mandat hukum ini pula, PSSI memiliki standard operating procedure (SOP) yang diberlakukan guna melakukan usaha perekrutan. Isi daripada SOP, sudah barang tentu pula bermaterikan kriteria-kriteria penetapan (talazzum) dan penilaian (taqwim).
Berbekal SOP ini pula, PSSI menjalankan fungsinya dengan jalan Ketua Umum memerintahkan kepada petugas tanfidz (eksekutif) untuk melakukan rekrutmen. Alhasil, Ketua Umum berlaku sebagai waliyu al-amri dari PSSI. Ia merupakan na-ib (wakil) yang menempati peran niyabah dari pihak yang seharusnya menjalankan amanah (al-amin).
Seiring, pihak yang berlaku sebagai al-amin di dunia ini, hanya berlaku untuk Rasulullah saja, maka petugas yang berlaku memegang amanah ini, adalah pihak yang tidak pantas untuk disebut al-amin. Idealitasnya dia menempati derajat standar yang lebih rendah dari al-amin. Oleh karenanya, ia berada sedikit di bawahnya, yaitu sebagai pihak yang menjalankan fungsi berbekal tanggung jawab pembebanan/job description (mas-uliyah ‘ala yad al-dlammanah).
Karena setiap kerugian yang ditimbulkan oleh penunaian tanggung jawab tersebut senantiasa menghendaki ganti rugi, maka standar penentuan kerugian adalah berbasis akuntabilitas (taqwimiyah). Ciri dari akuntabilitas adalah bisanya dihitung berapa besaran nilai kerugian yang ada.
Dalam praktiknya, cara penentuan akuntabilitas ini diterapkan melalui pemberlakuan prinsip dasar akuntansi. Ada sisi pengeluaran dan pemasukan. Wujudnya menyerupai dua sisi neraca. Fungsinya, seluruh aliran cash flow bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya. Inilah praktik dari prinsip yad al-dlammanah tersebut dalam syakhshiyah i’tibariyah. Responsibilitas (dlaman) dan akuntabilitas (taqwim) adalah ciri khas dari ahli al-dzimmah (pihak yang bertanggung jawab). Yang melakukan sebenarnya adalah waliyu al-amri yang duduk di PSSI. Namun, dalam pelaporannya, seolah PSSi sebagai syakhshiyah i’tibariyah (manusia ilusi) dan berperan sebagai layaknya individu sehingga seolah berlaku sebagai subjek hukum (mahkum ‘alaih).
Andaikata kita paksakan untuk menyemati tindakan PSSI itu sebagai subjek hukum, maka subjek hukum yang berlaku atasnya adalah berlaku sebagai wilayah al-hukmy atau salathatu al-hukmy (kewenangan kuasa berbasis hukum). Tanggung jawabnya berlaku selama peraturan yang mengikat atasnya bersifat masih berlaku secara ilzam dan iltizam. Dicabutnya peraturan, menyebabkan hilangnya wilayah al-hukmy. []
Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar