Nabi Muhammad membangun Masjid Nabawi pada 622 Masehi. Bersama para sahabat, Nabi Muhammad turun langsung dalam proses pembangunan Masjid Nabawi. Dalam artian, selain memberikan komando kepada para sahabat, beliau juga ikut mengangkat batu—dalam satu riwayat disebutkan- hingga dadanya melepuh karenanya.
Pada masa-masa awal, Masjid Nabawi begitu sederhana. Berbentuk bujur sangkar.
Luasnya hanya 805 meter persegi. Dindingnya terdiri dari kayu kurma—di satu
bagian- dan batu bata dan tanah liat yang dikeringkan—di bagian lainnya.
Masing-masing dinding –kecuali dinding kiblat- dilengkapi dengan gerbang
sederhana tanpa daun pintu untuk akses keluar dan masuk jamaah.
Disebutkan pula bahwa pada waktu itu Masjid Nabawi seperti ruang terbuka. Hanya
sebagian saja yang diberi atap daun dan pelepah kurma, sementara sisanya
terbuka. Pilar-pilarnya terbuat dari kayu batang kurma yang sederhana.
Suffah –semacam ruang serbaguna dan biasanya dibuat singgah sahabat yang tidak memiliki rumah- dibangun di sepanjang dinding sebelah selatan. Bilik-bilik tempat tinggal istri Nabi Muhammad saw. didirikan di bagian barat dinding masjid. Sehingga dalam sejarah perkembangannya, perluasan Masjidi Nabawi selalu ke arah timur.
Dalam Arsitektur Masjid (Achmad Fanani, 2009) disebutkan bahwa pada masa-masa
awal itu tidak ada penerangan dalam Masjid Nabawi. Bila malam hari tiba, maka
para sahabat membakar jerami sebagai penerangan ketika hendak melaksanakan
Shalat Isya. Keadaan seperti itu berlangsung selama sembilan tahun.
Hingga suatu ketika, salah seorang sahabat Tamim al-Dari datang ke Madinah,
dari Syria. Dia kemudian meminta budaknya untuk membuatkan pelita minyak zaitun
seperti yang ia bawa dari Syria. Ketika semuanya beres dan matahari sudah
terbenam, Tamim datang ke Masjid Nabawi. Dia merentangkan tali dari satu tiang
ke tiang lainnya dan menggantungkan pelita-pelita minyak tersebut di
sana.
Nabi Muhammad terkejut melihat pelita-pelita itu ketika masuk ke dalam masjid.
Kepada sahabat yang saat itu ada di alam masjid, beliau bertanya siapa yang
membuat dan menggantungkan pelita-pelita itu. Tamim al-Dari, jawab para sahabat
secara serentak.
“Kau telah menyinari Islam. Mudah-mudahan Allah menyinarimu di dunia dan
akhirat,” kata Nabi Muhammad kepada Tamim.
Riwayat lain menyebutkan bahwa ketika Nabi Muhammad bertanya demikian maka
Tamim menjawab, budaknya lah yang memberikan penerangan pada Masjid Nabawi.
Nabi bertanya lagi perihal nama budak Tami. Fath, jawab Tamim. Nabi kemudian
mengubah nama budak Tamim tersebut, dari Fath menjadi Siraj (pelita).
Tamim al-Dari juga lah yang mengusulkan agar dibuat mimbar masjid. Pada saat
awal pendiriannya, Masjid Nabawi memang tidak dilengkapi dengan mimbar. Hingga
suatu ketika jamaah Masjid Nabawi semakin membludak. Hal ini membuat jamaah
yang berada di shaf belakang tidak bisa melihat Nabi Muhammad.
Riwayat lain menyebutkan bahwa Tamim mengusulkan pembuatan mimbar Shalat Jumat,
setelah Nabi Muhammad menyampaikan khutbah Jumat dengan bersandar pada pangkal
pohon kurma di masjid sambil berdiri dan mengaku kelelahan karenanya. Singkat
cerita, dibuatlah sebuah mimbar sehingga memudahkan Nabi Muhammad ketika
menyampaikan pidato.
Adapun nama lengkap Tamim al-Dari adalah Tamim bin Aus bin Kharijah bin Sud bin
Jadzimah bin Dari’ bin Adi bin al-Dar bin Hani’ bin Habib bin Numarah. Ia
merupakan mantan pendeta Kristen yang banyak membaca kitab-kitab Yahudi dan
Injil. Ia masuk Islam setelah terjadi Perang Tabuk (9 H). Semenjak itu, dia
tinggal di Madinah hingga terjadi pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan. Setelah
itu, dia pergi ke Syiria dan kemudian ke Palestina hingga wafat. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar