Pertanyaan:
Assalamu'alaikum wr. wb. Redaksi NU Online. Saya Rustam dari Jawa Timur. Mohon tanya tentang hukum seputar game online. Berhubungan game online yang saya mainkan bukan untuk kesenangan belaka, namun untuk sampingan penghasilan.
Game yang saya mainkan berjenis RPG. Di sini kita mencari level dan beberapa
orang berambisi untuk menjadi yang terkuat. Di game ini juga ada jual beli.
Misal untuk membeli skill atau barang lainnya diperlukan yang namanya gold.
Gold bisa didapat dari menyelesaikan misi atau dengan membunuh monster.
Beberapa orang kaya juga ikut main game ini, mereka biasanya ingin instan,
sehingga untuk memiliki gold mereka menggunakan jasa orang lain, yaitu dengan
membeli gold mereka dengan rupiah. Hal seperti ini umum terjadi di game RPG.
Yang ingin saya tanyakan, bagaimana status jual beli seperti di atas, mengingat
game dan segala macam benda dalam game adalah milik developer yang telah
membeli lisensinya dari pembuat game. Dalam game, jual beli yang biasa
dilakukan, adalah: (1) jual beli gold dengan rupiah; dan (2) jual beli item
atau barang dengan rupiah. Mohon penjelasannya, terima kasih kepada redaksi NU
Online.
(Rustam/Jawa Timur).
Jawaban:
Wa'alaikum salam wr. wb. Penanya budiman, semoga Allah senantiasa merahmati
kita semua. Tidak diragukan, game online pada dasarnya merupakan harta ma’nawi
yang berjamin hak penyiaran (broadcasting). Status hak penyiaran itu dibuktikan
oleh lisensi yang dimiliki oleh pemilik game itu sendiri, yaitu pihak
penerbit/developer.
Hukum muam'alah dengannya secara umum adalah boleh sebab sudah keluar dari
batas mu'amalah yang dilarang oleh Rasulullah saw, yaitu bisnis mencari
keuntungan dari aset tak berjamin (ribhû mâ lam yudlman). Sebagai harta yang
berjamin lisensi penyiaran publik, maka keberadaan "material siaran"
yang dikandung oleh game online bersifat bisa disewa, disewakan, atau
dihibahkan kepada pihak lain.
Penyewa “material siaran” (berupa game) adalah user. Ongkos sewanya ada tiga
kemungkinan mekanisme penyaluran, yaitu: (1) sesuai durasi akses (akad ju’âlah)
menggunakan kuota data internet, misal Youtube reguler; (2) adakalanya dengan
membeli lisensi khusus (premium, akad ijarah), misalnya: pada youtube premium;
dan (3) adakalanya dengan mengikuti misi yang disyaratkan oleh developer (akad
ju’âlah).
Masih dengan contoh praktik ijarah Youtube. Ada Youtube reguler yang tidak
bebas iklan dan ada Youtube premium yang bebas iklan. Pihak user Youtube
reguler menyewa Youtube melalui akses dengan kuota data internet melalui
jaringan kerjasama provider seluler, misal Telkomsel dengan perusahaan Youtube.
Adapun Youtube premium, pihak penyewa menyerahkan ongkos sewa secara langsung
kepada perusahaan Youtube. Konsekuensi sebagai barang yang disewa, pihak user
berhak mendapatkan atas “manfaat material siaran” dari Youtube. Material siaran
itu ya berupa video yang dikemas dalam Youtube.
Suatu harta manfaat bisa disebut sebagai “manfaat” adalah apabila memiliki
jaminan berupa empat hal, yaitu: (1) jaminan barang, (2) jaminan utang, (3)
jaminan layanan, dan (4) hak, bukan barang, utang maupun layanan. Semua manfaat
tersebut wajib diberikan oleh provider secara pasti (tsubût) mengingat adanya
janji yang disampaikannya lewat FAQ atau petunjuk penggunaan. Jika kepastian
penunaian ini bisa terjadi, maka keempat manfaat di atas berlaku sah sebagai
harta penjamin transaksi disebabkan ikatan kelaziman penunaian 'hak' user
oleh developer.
Adapun item yang diperoleh setelah menyelesaikan misi merupakan bagian dari
manfaat yang didapatkan user. Dengan demikian, upah berupa gold yang diperoleh
setelah melakukan aksi membunuh monster dalam game, adalah juga merupakan hak
yang bisa didapat oleh user sebagai buah penyelesaian misi yang sudah
digariskan oleh developer. Baik item game maupun gold, dua-duanya bisa disebut
harta berjamin hak penggunaan material siaran game. Alhasil, keduanya masuk
dalam ranah syai-in maushûfin fidz dzimmah, yaitu sesuatu yang bisa diketahui
karakteristiknya dan berjamin. Karena keduanya diperoleh dari buah penyelesaian
misi, maka akad yang berlaku untuk mendapatkan kedua item dan gold tersebut
adalah termasuk akad ju’âlah. Harta yang diperoleh dari akad ju’alah, masuk
dalam rumpun ju’lu (bonus). Bila item itu diperoleh dengan jalan top up, maka
akad yang berlaku adalah akad ijârah (sewa item game). Karena ada manfaat yang
dijaminkan dan ditunaikan oleh pihak jâ’il (penyelenggara/developer) atas item
game dan gold, maka ketika keduanya berperan sebagai ju’lu, sehingga ju’lu
ini juga bisa disebut sebagai mâlud duyûn (harta berjamin utang).
Singkatnya, keduanya merupakan aset berjamin (mâ fidz dzimmah). Karena
keberadaannya yang sudah berjamin, maka keduanya telah memenuhi syarat sebagai
mâl atau mutawwal.
Dasar dari penetapan status hartawi ini berpedoman pada penjelasan Imam
Jalaluddin as-Suyuthi, sebagai berikut:
خاتمة:
في ضبط المال والمتمول. أما المال، فقال الشافعي: لا يقع اسم مال إلا على ما له
قيمة يباع بها وتلزم متلفه
Artinya, “Penutup: Terkait batasan harta dan sesuatu yang diserupakan harta.
Adapun definisi harta, maka sebagaimana disampaikan Imam as-Syafi’i: ‘Sesuatu
bisa disebut harta hanya apabila memiliki nilai jual dan keterikatan membayar ganti
rugi bagi perusaknya.”
وأما
المتمول: فذكر الإمام له في باب اللقطة ضابطين: أحدهما: أن كل ما يقدر له أثر في
النفع فهو متمول, وكل ما لا يظهر له أثر في الانتفا فهو لقلته خارج عما
يتمول. الثاني: أن المتمول هو الذي تعرض له قيمة عند غلاء الأسعار. والخارج عن
المتمول: هو الذي لا يعرض فيه ذلك
Artinya, “Adapun sesuatu yang bisa diserupakan sebagai harta, maka sebagaimana
penuturan yang disampaikan oleh Imam asy-Syafi’i dalam Bab Luqathah, ada dua
batasan. Pertama, bahwa segala sesuatu yang dapat diukur memiliki nilai
manfaat, maka masuk kategori harta. Sebaliknya, jika tidak ada manfaat yang
tampak jelas, atau mungkin karena sedikitnya manfaat yang bisa dirasakan, maka
tidak masuk kategori harta. Kedua, bahwa sesuatu bisa dikategorikan sebagai
harta adalah bila ia menampakkan nilai berharganya ketika terjadi krisis harga.
Sebaliknya, jika ada sesuatu yang menunjukkan indikasi kebalikannya, tidak
menampakkan nilai manfaat dan tidak menampakkan keberhagaannya saat krisis,
menandakan ia bukan harta.” (As-Suyuthi, al-Asybâh wan Nadhâ-ir, halaman 327).
Karena item game dan gold secara nyata telah menunjukkan nilai manfaat
yang ditunaikan developer game dan bisa dirasakan pengaruhnya, berupa manfaat
akses fitur game, serta bisa dikuasai oleh user, maka item game dan gold telah
memenuhi syarat sebagai sesuatu yang boleh atau halal diperjualbelikan atau
ditransaksikan. Ada kaidah menyatakan:
كل
ما جاز بيعه جازت له إجارته
Artinya, “Segala sesuatu yang bisa dijualbelikan, maka bisa juga
disewakan.”
Mafhûm mukhâlafah atau pemahaman terbalik dari kaidah di atas adalah, semua barang yang bisa disewakan, maka sah untuk dijualbelikan. Kendati kaidah ini memiliki batasan, namun batasan itu tidak mengurangi pengertian di atas. Sebab, memang ada beberapa hal yang bisa disewakan, namun tidak sah untuk dijual. Contohnya harta wakaf atau orang merdeka. Keduanya sah untuk disewa, namun tidak sah untuk dijual.
Adapun item game dan gold, karena berasal dari game yang berstatus sebagai mâl
ma’nawi, maka akad yang berlaku dalam menjualbelikan item game dan gold adalah
akad ijarâah syai-in maushûfin fidz dzimmah (sewa aset berjamin hak).
اتفق
الفقهاء على جواز أن يبيع المستأجر ما ملكه، من منفعة بعقد الإجارة لثالث لأن من
موجبات الإجارة تملك المنفعة المعقود عليها
Artinya, "Fuqaha telah sepakat kebolehan penyewa (baca: user game) menjual
item jasa yang dikuasainya kepada pihak ketiga (user lain) dengan akad ijarâh,
karena yang pokok dalam akad ijarâh adalah penguasaan terhadap ma’qûd ‘alaih
(baca: item game dan gold).” (Wahbah as-Zuhailai, al-Fiqhul Islâmi wa
Adillatuh, juz IV, halaman 763).
Akad di atas juga bisa disebut sebagai akad bai’ mâ fidz dzimmah bi mâ fidz
dzimmah atau jual beli aset utang dengan aset utang. Akad terakhir ini, juga
umum dimaknai sebagai akad hiwalâh (oper tanggungan). Imam Abu Ishaq
asy-Syairazi (wafat 476 H) menjelaskan:
ولا
تجوز الحوالة إلا على من له عليه دين لأنا بينا أن الحوالة بيع ما في الذمة بما في
الذمة فإذا أحال من لادين عليه كان بيع معدوم فلم تصح
Artinya, “Tidak boleh melakukan akad hiwâlah kecuali atas orang yang memiliki
piutang. Sebagaimana kami jelaskan, hiwâlah merupakan akad jual beli aset
berjamin dengan aset berjamin. Karenanya, bila ada orang (yang memiliki
piutang) melakukan pengalihan kepada pihak lain yang tidak memiliki utang yang
wajib penunaiannya, maka akad itu termasuk bai’ ma’dûm (jual beli barang yang tidak
ada) sehingga tidak sah.” (Asy-Syairazi, al-Muhadzdzab fî Fiqhil Imâmisy
Syâfi’i, juz II, halaman 144).
Pemahaman dari teks al-Muhadzdzab di atas dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kepemilikan gold oleh user 1, menandakan ia memiliki piutang kepada developer game berupa manfaat fitur.
2. Bila piutang itu dialihkan kepada pihak lain yang
menghendaki memiliki fitur tersebut, dan selanjutnya ia menyerahkan harga
kepada user 1, maka secara otomatis pihak user 1 memiliki tanggung jawab
penyerahan (baca: utang gold) kepada pemesannya (user 2).
3. Selanjutnya hak piutang kepada developer beralih dari user
1 ke user 2.
Akad semacam ini disebut hiwalah dan sah secara syara’, sehingga boleh diterapkan. Namun, semua akad yang bersifat boleh adalah tidak berlaku secara mutlak, melainkan ada sejumlah batasan yang harus diperhatikan. Batas kebolehan bermain game adalah selagi tidak menjadikan game tersebut sebagai instrumen yang membuat lalai dari tugas dan kewajiban selaku individu mukallaf. Bila penjualan item game dan gold dilakukan atas orang yang diketahui atau diduga besar akan menjadikannya sebagai alat malâhi (penyebab lalai dari kewajiban), maka hukumnya adalah haram sebab potensi malâhi-nya.
Alhasil, keharamannya bukan sebab dzâtiyyah item game dan gold, melainkan sebab
malahi-nya. Sebagaimana disinggung kaidah: ‘lil wasâ-il hukmul maqâshid', hukum
penggunaan instrumen (game) adalah mengikut tujuan pelakunya dalam menggunakan.
Wallâhu a’lam bish shawâb. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar