Selasa, 02 Agustus 2022

(Ngaji of the Day) Tata Cara Shalat Sunnah Mutlak

Islam sebagai agama yang sempurna, paripurna dalam ajarannya, memiliki aturan-aturan dalam setiap kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh pemeluknya. Di antara kewajiban itu adalah shalat lima waktu, yaitu, Zuhur, Ashar, Maghrib, Isya’, dan Subuh. Shalat-shalat yang telah disebutkan merupakan ibadah yang terikat oleh waktu, sebab tertentu, dan jumlah rakaat yang juga tertentu. Artinya, jika dilakukan tidak sesuai dengan waktu, sebab, dan rakaat yang telah menjadi kekhususannya, maka shalat yang dilakukan tidak sah. Namun dalam Islam, ada juga shalat yang dianjurkan (baca: sunnah) namun tidak seperti shalat yang telah disebutkan, yaitu shalat sunnah mutlak.

 

Secara definitif shalat sunnah mutlak adalah shalat sunnah yang dilakukan tanpa terikat oleh waktu, seperti waktu-waktu shalat lima waktu. Juga tidak disebabkan adanya sebab tertentu, seperti ketika hendak bepergian, ingin meminta hujan, dan lainnya. Bahkan tidak memiliki jumlah rakaat tertentu, seperti shalat lima waktu dan lainnya. Shalat sunnah ini boleh dilakukan kapan pun, di mana pun, dan dengan jumlah berapa pun,dengan catatan selama tidak dilakukan pada waktu-waktu yang dilarang (setelah shalat Subuh, Ashar, dan waktu istiwa’ selain di Tanah Haram, Makkah).

 

Hukum dan Waktunya

Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:

 

الصَلَاةُ خَيْرُ مَوْضُوْعٍ فَمَنْ شَاءَ اِسْتَكْثرْ وَمَنْ شَاءَ اِسْتَقلْ

 

Artinya, “Shalat adalah sebaik-baiknya apa yang yang disyariatkan. Barang siapa yang berkehendak maka perbanyaklah dan barang siapa yang berkehendak maka sedikitkanlah” (HR Ibnu Hibban).

 

Para ulama ahli fiqih menjadikan hadits di atas sebagai landasan untuk menghukumi bahwa shalat sunnah mutlak hukumnya sunnah berdasar hadits di atas. Artinya, jika dilakukan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak berdampak pada dosa. Dari hadits ini pula, sangat tampak bahwa shalat sunnah mutlak merupakan salah satu dari sekian banyaknya ibadah sunnah dalam Islam. Agama Islam sangat menganjurkannya, sebagai manifestasi bahwa dengan beribadah menunjukkan adanya keinginan untuk meningkatkan spiritualitas kepada Allah , juga akan menjadi penyebab diangkatnya derajat di sisi-Nya.

 

Shalat sunnah yang satu ini boleh dilakukan pada malam hari, juga boleh pada siang harinya, yang penting tidak dilakukan bertepatan dengan waktu-waktu yang dilarang melakukan shalat sunnah sebagaimana yang telah dijelaskan. Hanya saja, shalat sunnah mutlak yang dilakukan pada malam hari lebih utama dari shalat sunnah mutlak yang dilakukan pada siang hari. Shalat sunnah yang dilakukan di rumah lebih baik dari yang dilakukan di masjid. (Imam Nawawi, Raudhatuth Thalibin, [Baitu: Darul Kutub al-Ilmiah, 1996], juz 1, halaman 338).

 

Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:

 

أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

 

Artinya, “Paling utamanya shalat (sunnah) setelah shalat wajib adalah shalat (yang dilakukan) di malam (hari).”

 

Melalui hadits tersebut, Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairami al-Mishri (1131-1221 H) mengarahkan bahwa yang dimaksud shalat malam pada hadits di atas adalah shalat sunnah mutlak yang dilakukan pada malam hari, bukan pada siang harinya. Artinya, meski shalat sunnah mutlak tidak terikat oleh waktu, dilakukan pada malam hari memiliki keutamaan yang lebih daripada yang dilakukan pada siangnya. (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasiyatul Bujairami alal Khatib, [Bairut: Darul Minhaj, 2000], juz IV, halaman 9).

 

Niat dan Teknis Pelaksanaannya

Shalat sunnah mutlak sama sekali tidak memiliki perbedaan secara khusus dengan shalat-shalat yang lainnya. Ia tidak memiliki bacaan khusus, tidak pula memiliki waktu dan teknis yang khusus. Perbedaannya hanya terletak pada lafadz niat yang akan diucapkan, yaitu:

 

أُصَلِّيْ سُنَّةً رَكْعَتَيْنِ لِلّٰهِ تَعَالَى

 

Ushallî sunnatan rak’ataini lillâhi ta’âla

 

Artinya, “Saya niat shalat sunnah dua rakaat karena Allah ta’ala.”

 

Pada dasarnya, lafal niat dalam shalat mutlak tidak harus ditentukan (menggunakan kata mutlak), juga tidak harus menyebutkan kata sunnah (sunnatan), namun cukup mengucapkan lafal ushalli (saya shalat). Hanya saja, meski hal itu bukanlah keharusan, penyebutan itu tetap lebih baik karena setiap pekerjaan yang disertai dengan niat akan memiliki nilai yang lebih baik dan lebih sempurna (Syekh Nawawi Banten, Nihayatuz Zain, [Bairut: Darul Fikr, 2005], halaman 55).

 

Setelah itu takbiratul ihram, membaca doa iftitah, membaca ta’awudz, dan surat Al-Fatihah, dilanjut dengan mambaca surat-surat pendek, rukuk, i’tidal, sujud, duduk, sujud lagi,  tahiyat membaca dua kalimat sahadat, membaca shalawat ibrahimiyah , dan diakhiri dengan salam.

 

Syekh Zakaria al-Anshari dalam kitab Hasiyah Jamal memberikan pandangan secara khusus tentang teknis shalat ini bahwa ada beberapa ketentuan (baca: sunnah) yang perlu diperhatikan, yaitu durasi waktu ketika berdiri lebih baik dipanjangkan daripada memperbanyak jumlah rakaatnya. Contoh, shalat sunnah mutlak yang dilakukan dua rakaat dengan durasi waktu yang panjang ketika berdiri, lebih baik dari shalat sunnah mutlak empat rakaat yang dilakukan dengan durasi waktu berdiri yang pendek (Syekh Zakaria al-Anshari, Hasiyah Jamal ala Syarhil Minhaj, [Bairut: Darul Kutub al-Ilmiah, 1997], juz II, h. 261).

 

Tidak sebatas penjelasan di atas, teknis shalat sunnah mutlak boleh dilakukan dengan satu kali salam dalam setiap satu rakaat, dua rakaat, tiga rakaat, atau lebih. Boleh juga dilakukan dengan satu kali salam dalam setiap dua rakaat. Juga boleh mengerjakan banyak rakaat dengan satu kali salam (Imam Nawawi, Majmu’ Syarhil Muhadzdzab, [Bairut: Darul Fikr, 1990], juz IV, halaman 56).

 

Anjuran Bacaannya

Setelah penjelasan di atas, kita tahu bahwa shalat sunnah mutlak tidak memiliki waktu secara khusus. Tentunya, kebebasan ini juga berdampak pada anjuran bacaannya, antara harus membacanya dengan keras, nyaring, dan biasa-biasa saja. Anjuran ketika membaca bacaan shalat sunnah mutlak bisa kita ketahui melalui firman Allah dalam Al-Qur’an, yaitu:

 

وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذٰلِكَ سَبِيْلًا

 

Artinya, “Janganlah engkau mengeraskan (bacaan) salatmu dan janganlah (pula) merendahkannya. Usahakan jalan (tengah) di antara (kedua)-nya!” (QS Al-Isra’: 110).

 

Ayat di atas menjelaskan tentang anjuran tidak diperbolehkannya mengeraskan suara ketika melakukan shalat, juga anjuran untuk tidak terlalu merendahkan suaranya saat itu. Oleh karenanya, Allah memerintahkan umat Islam untuk menengahi bacaannya antara keras dan senyap. Limitasinya, untuk bacaan yang keras (jahr) sekira bisa didengar oleh orang-orang yang ada di sekitarnya, dan bacaan yang senyap (israr) adalah bisa didengar oleh dirinya sendiri, sedangkan bacaan yang dianjurkan saat itu adalah bacaan yang sedang-sedang saja (tawasuth), yaitu dengan cara mengukur antara di dengar orang yang ada di sekitarnya dan sebatas didengar oleh dirinya.

 

Menurut Syekh Musthafa al-Bugha, yang dimaksud dengan shalat pada ayat di atas adalah shalat sunnah mutlak yang dilakukan pada malam hari (Syekh Musthafa al-Bugha, Fiqhul Manhaji ala Mazhabil Imam asy-Syafi’i, [Darul Qalam, Damaskus, 1992], juz 1, h. 151).

 

Dari penjelasan ini, anjuran untuk membaca dengan sedang (tawasuth) hanya dilakukan pada malam hari. Artinya, jika shalat sunnah mutlak dilakukan pada siang hari, yang dianjurkan adalah membaca bacaannya dengan senyap (israr). []

 

Ustadz Sunnatullah, pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan, Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar