Dalam kitab Siyar A’lâm al-Nubalâ’, Imam al-Dzahabi mencatat sebuah riwayat ketika Imam Aswad bin Yazid berada di masa akhir hidupnya. Berikut riwayatnya:
عن
يزيد بن عطاء، عن علقمة بن مرثد قال: كان الأسود يجتهد في العبادة، ويصوم حتى
يخضرّ ويصفرّ، فلما احتُضِر بكى، فقيل له: ما هذا الجزع؟ فقال: مالي لا أجزع،
والله لو أُتيتُ بالمغفرة من الله لأهمّني الحياءُ منه ممّا قد صنعتُ، إنّ الرجل
ليكون بينه وبين آخَرَ الذنب الصغير فيعفو عنه، فلا يزال مستحيًا منه.
Dari Yazid bin ‘Atha, dari ‘Alqamah bin Martsad, ia berkata:
“Al-Aswad (bin Yazid sangat) rajin beribadah dan berpuasa hingga menua. Ketika
ia menjelang wafat, ia menangis. Ditanyakan kepadanya: “Kepanikan (macam) apa
ini?”
(Imam) Al-Aswad menjawab: “Aku tidak panik (karena kematian). Demi Allah,
meskipun aku diberikan ampunan oleh Allah, rasa malu(ku) atas apa yang telah
kuperbuat (di kehidupan ini) tetap membuatku gelisah. Sesungguhnya seseorang
itu berada di antara (diri)nya dan dosa kecil terakhir(nya), lalu Allah
mengampuninya, maka (orang tersebut sudah sepantasnya untuk) terus merasa malu
kepada-Nya” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, Beirut: Muassasah
al-Risalah, 1982, juz 4, h. 52).
****
Imam al-Aswad bin Yazid al-Nakha’i (w. 75 H) merupakan seorang tabi’in yang
berguru pada banyak sahabat. Ia mengambil riwayat hadits dari Sayyidah ‘Aisyah,
Mu’adz bin Jabal, Bilal, Ibnu Mas’ud, Hudaifah bin al-Yamani dan lain
sebagainya. Murid-muridnya adalah Abdurrahman bin al-Aswad (anak), Ibrahim
al-Nakha’i (keponkan), ‘Umarah bin ‘Umair, Abu Ishaq al-Sabi’iy, al-Sya’bi dan
lain sebagainya. (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, juz 4, h. 51).
Selain ahli di bidang hadits dan fiqih, Imam al-Aswad juga mahir di bidang
qiraat. Ia mengambil riwayat bacaannya dari Sayyidina Abdullah bin Mas’ud, dan
murid-muridnya di bidang ini adalah Yahya bin Watsab (w. 103 H), Ibrahim
al-Nakha’i (w. 96 H), dan Abu Ishaq al-Sabi’iy (w. 127 H). (Imam al-Dzahabi,
Siyar A’lâm al-Nubalâ’, juz 4, h. 51).
Dalam banyak riwayat, Imam al-Aswad disebut sebagai orang yang sangat rajin
beribadah dan berpuasa. Salah satu riwayat bahkan mengatakan:
أن
الأسود كان يصوم الدهر
“Sesungguhnya al-Aswab berpuasa sepanjang waktu.” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm
al-Nubalâ’, juz 4, h. 52).
Sebagai orang yang terlahir dari keluarga ulama. Masa kecil dan masa mudanya
dihabiskan untuk mempelajari ilmu agama. Hampir semua anggota keluarganya
menjadi ulama besar. Saudara laki-lakinya, Abdurrahman bin Yazid al-Nakha’i,
seorang ahli hadits ternama. Pamannya, ‘Alqamah bin Qais al-Nakha’i (w.
61/62 H), termasuk dalam faqîh al-kûfah (ahli fiqih Kufah). Saudara
perempuannya, Malikah binti Yazid al-Nakha’i, melahirkan seorang ulama besar,
Ibrahim al-Nakha’i, ahli fiqih dan ahli hadits Kufah yang sangat termasyhur.
Anaknya, Abdurrahman bin al-Aswad al-Nakha’i, menjadi ahli fiqih dan ahli
hadits luar biasa. Imam al-Dzahabi menyebut mereka dengan mengatakan, “ahlu
bait min ru’ûsil ‘ilmi wal ‘amal” (keluarga dari para master ilmu dan amal).
(Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, juz 4, h. 51).
Artinya, sejak kecil ia disibukkan dengan menuntut ilmu dan belajar. Hal ini
membentuk kepribadiannya. Ia sangat disiplin dalam mengamalkan agamanya. Meski
demikian, ia tidak pernah menganggap dirinya suci atau bersih dari dosa. Amal
ibadahnya yang sekian banyak, tidak membuatnya sombong. Malah sebaliknya, itu
membuatnya malu, karena ia tahu, tidak ada manusia yang terbebas dari perbuatan
salah.
Oleh karena itu, orang-orang di sekitarnya merasa aneh melihat Imam al-Aswad
al-Nakha’i menangis menjelang kewafatannya. Orang yang selama ini sangat rajin
beribadah dan berpuasa, dari muda sampai menua, kenapa tampak kepanikan dan
kecemasan di ujung hidupnya. Salah satu dari mereka bertanya: “Kepanikan
(macam) apa ini?” Mereka, tampaknya, heran sekaligus bingung melihat keadaan
Imam al-Aswad, seperti hendak mengatakan: “Bukankah dia seharusnya senang
dipanggil Allah? Bukankah ini tidak menunjukkan sikap kepasrahan?”
Mendengar itu, Imam al-Aswad menjawab: “Aku tidak panik (karena kematian). Demi
Allah, meskipun aku diberikan ampunan oleh Allah, rasa malu(ku) atas apa yang
telah kuperbuat (di kehidupan ini) tetap membuatku gelisah. Sesungguhnya
seseorang itu berada di antara (diri)nya dan dosa kecil terakhir(nya), lalu
Allah mengampuninya, maka (orang tersebut sudah sepantasnya untuk) terus merasa
malu kepada-Nya.”
Dalam jawaban tersebut, kita bisa temukan dua hal penting. Pertama, tentang
rasa malu yang harus diingat manusia, dan kedua, tentang pentingnya
terus-menerus memohon ampun meski telah di ujung usia.
Penjelasannya begini. Untuk yang pertama, meskipun semua dosa-dosa telah
diampuni, tapi rasa malu karena pernah melakukannya harus tetap terjaga.
Seperti halnya manusia, ketika ia berbuat salah kepada seseorang, kemudian meminta
maaf dan dimaafkan. Setiap kali berjumpa, rasa tak enak hati masih tetap
ada. Apalagi dengan Sang Pencipta, Allah subhanahu wa ta’ala, yang pintu
maaf-Nya sangat lebar dan terbuka. Bisa dimasuki oleh siapa saja, kapan pun dan
di mana pun ia berada. Kita harus lebih malu kepada-Nya, dan jangan biarkan
rasa malu itu pudar seperti contoh di atas tadi.
Tangisan Imam al-Aswad adalah pertanda dari rasa malunya. Ia malu kepada
Tuhannya. Rasa malu yang membuatnya menangis. Baginya, kemudahan yang kelewat gampang
dalam mendapat ampunan-Nya, membuatnya semakin malu kepada Tuhannya. Selama
manusia memohon ampunan-Nya, Allah pasti mengampuninya.
Kedua, dengan mengatakan: “Sesungguhnya seseorang itu berada di antara
(diri)nya dan dosa kecil terakhir(nya),” Imam al-Aswad al-Nakha’i sepertinya
hendak menegaskan bahwa, seringkali yang menentukan nasib manusia adalah
dosa-dosa kecil yang dilakukan di akhir masa hidupnya. Sebab, dosa kecil lebih
sering terlupakan, sehingga memungkinkan kelalaian dalam memohon ampun kepada
Tuhannya.
Maka dari itu, beruntunglah orang yang bisa menjaga rasa malunya karena dapat
mencegahnya dari kelalaian. Perasaan manusia itu sangat adaptif, begitu mudah
tersesuaikan dengan kebiasaan. Misalnya, orang yang pertama kali bertamu ke
rumah orang lain, awalnya dipenuhi dengan kecanggungan dan rasa malu. Setelah
semakin akrab dan sering, kecanggungan dan rasa malu itu perlahan-lahan
menipis. Begitu pun ketika melakukan perbuatan dosa, misalnya mencuri. Awalnya
dipenuhi ketakutan dan kekhawatiran, tapi lama-kelamaan perasaan itu hilang
karena telah biasa.
Karena itu, penting sekali bagi manusia untuk mengingat kembali rasa malunya.
Salah satu caranya dengan memperkuat kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi
kita. Kenapa “memperkuat kesadaran”, karena sebenarnya kita sudah tahu bahwa
Allah Maha Mengetahui, hanya saja pengetahuan kita itu tidak sampai mendarah
dan mendaging, sehingga masih dengan mudah berbuat dosa tanpa merasa malu dan
khawatir. Berbeda halnya dengan Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq, yang malunya
kepada Allah telah mendarah dan mendaging. Dalam salah satu khutbahnya ia
mengatakan:
أيها
الناس، استحيوا من الله، فوالله ما خرجت لحاجة منذ بايعتُ رسول الله صلي الله عليه
وسلم أريد الغائط إلا وأنا مقنّع رأسي حياءً من الله
“Wahai manusia, malulah kalian kepada Allah. Demi Allah, aku tidak pernah
keluar untuk (memenuhi) hajat ke toilet sejak berbaiat kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, kecuali aku menutup kepalaku karena malu kepada
Allah.” (Imam Abu Hatim Muhammad bin Hibban, Raudlah al-‘Uqalâ wa Nuzhah
al-Fudlalâ’, Maktabah al-Sunnah al-Muhammadiyyah, h. 57)
Pertanyaannya, seberapa malukah kita?
Wallahu a’lam bish-shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan,
Kebumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar