Jumat, 05 Agustus 2022

(Hikmah of the Day) Imam Aswad bin Yazid, Ahli Puasa yang Malu karena Dosa

Dalam kitab Siyar A’lâm al-Nubalâ’, Imam al-Dzahabi mencatat sebuah riwayat ketika Imam Aswad bin Yazid berada di masa akhir hidupnya. Berikut riwayatnya:


عن يزيد بن عطاء، عن علقمة بن مرثد قال: كان الأسود يجتهد في العبادة، ويصوم حتى يخضرّ ويصفرّ، فلما احتُضِر بكى، فقيل له: ما هذا الجزع؟ فقال: مالي لا أجزع، والله لو أُتيتُ بالمغفرة من الله لأهمّني الحياءُ منه ممّا قد صنعتُ، إنّ الرجل ليكون بينه وبين آخَرَ الذنب الصغير فيعفو عنه، فلا يزال مستحيًا منه.


Dari Yazid bin ‘Atha, dari ‘Alqamah bin Martsad, ia berkata:


“Al-Aswad (bin Yazid sangat) rajin beribadah dan berpuasa hingga menua. Ketika ia menjelang wafat, ia menangis. Ditanyakan kepadanya: “Kepanikan (macam) apa ini?”


(Imam) Al-Aswad menjawab: “Aku tidak panik (karena kematian). Demi Allah, meskipun aku diberikan ampunan oleh Allah, rasa malu(ku) atas apa yang telah kuperbuat (di kehidupan ini) tetap membuatku gelisah. Sesungguhnya seseorang itu berada di antara (diri)nya dan dosa kecil terakhir(nya), lalu Allah mengampuninya, maka (orang tersebut sudah sepantasnya untuk) terus merasa malu kepada-Nya” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1982, juz 4, h. 52).


****


Imam al-Aswad bin Yazid al-Nakha’i (w. 75 H) merupakan seorang tabi’in yang berguru pada banyak sahabat. Ia mengambil riwayat hadits dari Sayyidah ‘Aisyah, Mu’adz bin Jabal, Bilal, Ibnu Mas’ud, Hudaifah bin al-Yamani dan lain sebagainya. Murid-muridnya adalah Abdurrahman bin al-Aswad (anak), Ibrahim al-Nakha’i (keponkan), ‘Umarah bin ‘Umair, Abu Ishaq al-Sabi’iy, al-Sya’bi dan lain sebagainya. (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, juz 4, h. 51). 


Selain ahli di bidang hadits dan fiqih, Imam al-Aswad juga mahir di bidang qiraat. Ia mengambil riwayat bacaannya dari Sayyidina Abdullah bin Mas’ud, dan murid-muridnya di bidang ini adalah Yahya bin Watsab (w. 103 H), Ibrahim al-Nakha’i (w. 96 H), dan Abu Ishaq al-Sabi’iy (w. 127 H). (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, juz 4, h. 51).


Dalam banyak riwayat, Imam al-Aswad disebut sebagai orang yang sangat rajin beribadah dan berpuasa. Salah satu riwayat bahkan mengatakan:


أن الأسود كان يصوم الدهر


“Sesungguhnya al-Aswab berpuasa sepanjang waktu.” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, juz 4, h. 52).


Sebagai orang yang terlahir dari keluarga ulama. Masa kecil dan masa mudanya dihabiskan untuk mempelajari ilmu agama. Hampir semua anggota keluarganya menjadi ulama besar. Saudara laki-lakinya, Abdurrahman bin Yazid al-Nakha’i, seorang ahli hadits ternama. Pamannya, ‘Alqamah bin Qais al-Nakha’i (w. 61/62 H), termasuk dalam faqîh al-kûfah (ahli fiqih Kufah). Saudara perempuannya, Malikah binti Yazid al-Nakha’i, melahirkan seorang ulama besar, Ibrahim al-Nakha’i, ahli fiqih dan ahli hadits Kufah yang sangat termasyhur. Anaknya, Abdurrahman bin al-Aswad al-Nakha’i, menjadi ahli fiqih dan ahli hadits luar biasa. Imam al-Dzahabi menyebut mereka dengan mengatakan, “ahlu bait min ru’ûsil ‘ilmi wal ‘amal” (keluarga dari para master ilmu dan amal). (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, juz 4, h. 51).


Artinya, sejak kecil ia disibukkan dengan menuntut ilmu dan belajar. Hal ini membentuk kepribadiannya. Ia sangat disiplin dalam mengamalkan agamanya. Meski demikian, ia tidak pernah menganggap dirinya suci atau bersih dari dosa. Amal ibadahnya yang sekian banyak, tidak membuatnya sombong. Malah sebaliknya, itu membuatnya malu, karena ia tahu, tidak ada manusia yang terbebas dari perbuatan salah.


Oleh karena itu, orang-orang di sekitarnya merasa aneh melihat Imam al-Aswad al-Nakha’i menangis menjelang kewafatannya. Orang yang selama ini sangat rajin beribadah dan berpuasa, dari muda sampai menua, kenapa tampak kepanikan dan kecemasan di ujung hidupnya. Salah satu dari mereka bertanya: “Kepanikan (macam) apa ini?” Mereka, tampaknya, heran sekaligus bingung melihat keadaan Imam al-Aswad, seperti hendak mengatakan: “Bukankah dia seharusnya senang dipanggil Allah? Bukankah ini tidak menunjukkan sikap kepasrahan?”


Mendengar itu, Imam al-Aswad menjawab: “Aku tidak panik (karena kematian). Demi Allah, meskipun aku diberikan ampunan oleh Allah, rasa malu(ku) atas apa yang telah kuperbuat (di kehidupan ini) tetap membuatku gelisah. Sesungguhnya seseorang itu berada di antara (diri)nya dan dosa kecil terakhir(nya), lalu Allah mengampuninya, maka (orang tersebut sudah sepantasnya untuk) terus merasa malu kepada-Nya.”


Dalam jawaban tersebut, kita bisa temukan dua hal penting. Pertama, tentang rasa malu yang harus diingat manusia, dan kedua, tentang pentingnya terus-menerus memohon ampun meski telah di ujung usia. 


Penjelasannya begini. Untuk yang pertama, meskipun semua dosa-dosa telah diampuni, tapi rasa malu karena pernah melakukannya harus tetap terjaga. Seperti halnya manusia, ketika ia berbuat salah kepada seseorang, kemudian meminta maaf dan dimaafkan. Setiap kali berjumpa, rasa tak enak hati masih tetap ada. Apalagi dengan Sang Pencipta, Allah subhanahu wa ta’ala, yang pintu maaf-Nya sangat lebar dan terbuka. Bisa dimasuki oleh siapa saja, kapan pun dan di mana pun ia berada. Kita harus lebih malu kepada-Nya, dan jangan biarkan rasa malu itu pudar seperti contoh di atas tadi.


Tangisan Imam al-Aswad adalah pertanda dari rasa malunya. Ia malu kepada Tuhannya. Rasa malu yang membuatnya menangis. Baginya, kemudahan yang kelewat gampang dalam mendapat ampunan-Nya, membuatnya semakin malu kepada Tuhannya. Selama manusia memohon ampunan-Nya, Allah pasti mengampuninya.


Kedua, dengan mengatakan: “Sesungguhnya seseorang itu berada di antara (diri)nya dan dosa kecil terakhir(nya),” Imam al-Aswad al-Nakha’i sepertinya hendak menegaskan bahwa, seringkali yang menentukan nasib manusia adalah dosa-dosa kecil yang dilakukan di akhir masa hidupnya. Sebab, dosa kecil lebih sering terlupakan, sehingga memungkinkan kelalaian dalam memohon ampun kepada Tuhannya. 


Maka dari itu, beruntunglah orang yang bisa menjaga rasa malunya karena dapat mencegahnya dari kelalaian. Perasaan manusia itu sangat adaptif, begitu mudah tersesuaikan dengan kebiasaan. Misalnya, orang yang pertama kali bertamu ke rumah orang lain, awalnya dipenuhi dengan kecanggungan dan rasa malu. Setelah semakin akrab dan sering, kecanggungan dan rasa malu itu perlahan-lahan menipis. Begitu pun ketika melakukan perbuatan dosa, misalnya mencuri. Awalnya dipenuhi ketakutan dan kekhawatiran, tapi lama-kelamaan perasaan itu hilang karena telah biasa.


Karena itu, penting sekali bagi manusia untuk mengingat kembali rasa malunya. Salah satu caranya dengan memperkuat kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi kita. Kenapa “memperkuat kesadaran”, karena sebenarnya kita sudah tahu bahwa Allah Maha Mengetahui, hanya saja pengetahuan kita itu tidak sampai mendarah dan mendaging, sehingga masih dengan mudah berbuat dosa tanpa merasa malu dan khawatir. Berbeda halnya dengan Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq, yang malunya kepada Allah telah mendarah dan mendaging. Dalam salah satu khutbahnya ia mengatakan:


أيها الناس، استحيوا من الله، فوالله ما خرجت لحاجة منذ بايعتُ رسول الله صلي الله عليه وسلم أريد الغائط إلا وأنا مقنّع رأسي حياءً من الله


“Wahai manusia, malulah kalian kepada Allah. Demi Allah, aku tidak pernah keluar untuk (memenuhi) hajat ke toilet sejak berbaiat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kecuali aku menutup kepalaku karena malu kepada Allah.” (Imam Abu Hatim Muhammad bin Hibban, Raudlah al-‘Uqalâ wa Nuzhah al-Fudlalâ’, Maktabah al-Sunnah al-Muhammadiyyah, h. 57)


Pertanyaannya, seberapa malukah kita?


Wallahu a’lam bish-shawwab.
[]


Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar