‘Abdah dan Aminah adalah orang yang cerdas lagi dalam pengetahuan agamanya. Termasuk dari kalangan, “an-niswatul muta’abbidât” (perempuan-perempuan ahli ibadah), serta tinggi kedudukan spiritualnya. Imam Abu Abdurrahman al-Sulami (w. 412 H) menulis dalam kitabnya:
كانتا
من العقل والدين بمحل عظيم
“Keduanya adalah orang yang cerdas dan (luas pengetahuan) agama(nya), dengan
kedudukan (spiritual) yang dahsyat” (Imam Abu Abdurrahman Muhammad bin
al-Husain al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa Yalîhi Dzikr al-Niswah
al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003, h. 412).
Bahkan, menurut perkataan Sulaiman, anak Abu Sulaiman ad-Darani (w. 215 H),
bibinya yang bernama ‘Abdah lebih zuhud dari ayahnya. Ia mengatakan:
إن
عمتي أزهد من أبي، يعني عبدة
“Sesungguhnya bibiku (jauh) lebih zuhud dari ayahku, yaitu (bibi) ‘Abdah” (Imam
al-Hafidh Ibnu ‘Asakir, Tarîkh Madînah Dimasyq, Beirut: Dar al-Fikr, 1998, juz
69, h. 262).
Sebagai saudara perempuan Abu Sulaiman ad-Darani, seorang wali dan ulama besar
di zamannya, ‘Abdah dan Aminah memiliki penguasaan ilmu agama yang luas.
Kata-katanya cukup sering dikutip oleh Imam Abu Sulaiman ad-Darani. Salah
satunya adalah:
حكي
أحمد بن أبي الحواري، عن أبي سليمان، قال: سمعت أختي آمنة تقول: الفقراء كلهم
أموات إلا من أحياه الله بعز القناعة والرضا بفقره
“Dikisahkan oleh Ahmad bin Abi al-Hawari, dari Abu Sulaiman (ad-Darani), ia
berkata: “Aku mendengar saudara perempuanku, Aminah, berkata: “Orang-orang
fakir semuanya mati kecuali orang yang Allah hidupkan dengan kemuliaan qana’ah
dan kerdihaan dalam kefakirannya” (Imam Abu Abdurrahman Muhammad bin al-Husain
al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa Yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât
al-Shûfiyyât, h. 412).
Perkataan di atas harus dipahami sebagai perilaku aktif yang penuh kepasrahan,
gabungan dari qanaah (sikap merasa cukup/bersyukur atas segala pemberian Tuhan)
dan ridha (sikap rela, senang dan tidak keberatan), bukan pasif tanpa berbuat
apa-apa. Penjelasan sederhananya begini. Setiap usaha yang kita lakukan harus
dipayungi dan dialasi oleh kepasrahan. Dengan demikian, kata “gagal” dan
“sukses” bukan lagi sebagai tanda pemisah. Karena pada hakikatnya, kita telah
berpasrah diri sebelum berusaha, sehingga ketika usaha yang kita lakukan, dalam
pandangan umum dianggap “tidak berhasil” atau “gagal”, hati kita tetap ringan.
Ini bukan berarti Aminah binti Ahmad menghendaki manusia untuk gagal, tidak.
Malah sebaliknya, ia menghendaki manusia untuk tidak terpasung oleh kata
“gagal”. Bagi orang yang kepasrahannya telah memuncak, ia tak akan pernah takut
dengan kegagalan dan keberhasilan. Dengan kata lain, ia sudah siap untuk gagal,
sebagaimana ia sudah siap untuk berhasil.
Orang-orang yang kepasrahannya sudah menjadi alas dan payung hidupnya, mereka
akan terus maju dan berjuang. Karena mereka tahu, bahwa mereka benar-benar
tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Apakah mereka akan gagal lagi,
atau kali ini mereka berhasil. Mereka tidak tahu, sehingga mereka memaknai
“ketidaktahuan” ini sebagai gelanggang usaha tanpa henti. Selalu mencoba dan
berupaya (optimis). Bayangkan jika manusia mengetahui apa yang akan terjadi
kepada mereka, bahwa ia akan begini atau begitu. Hal itu akan membuat mereka
malas dan merasa sia-sia untuk melakukan sesuatu, dengan berkata, “toh akhirnya
saya seperti ini, ngapain juga susah-susah.”
Aminah binti Ahmad sebenarnya sedang mengajarkan qana’ah kepada manusia,
terutama orang-orang yang selalu merasa kurang, bahwa qana’ah memperkaya hati
manusia, dan meluaskan ruangannya. Sayyidina Abdullah bin ‘Abbas mengatakan:
القناعة
مال لا نفاد له
“Qana’ah adalah harta yang tak pernah habis” (Imam Ibnu Abdi Rabbih, al-‘Iqd
al-Farîd, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983, juz 3, h. 59).
Abu ‘Amr Kultsum bin ‘Amr al-‘Itabi (w. 220 H), seorang sastrawan di era Daulah
Abbasiyyah, dalam salah satu bait syairnya mengatakan:
ولو
قَنِعْتُ أتاني الرزق في دعةٍ ۞ إن القنوع الغِنَي, لا كثرة المال
“Andai aku puas menerima (qana’ah), rezeki mendatangiku dengan nyaman.
Seungguh, qana’ah adalah kekayaan, bukan banyaknya harta benda” (Imam Ibnu Abdi
Rabbih, al-‘Iqd al-Farîd, 1983, juz 3, h. 59).
Singkatnya, dengan qana’ah dan ridha, hati manusia, meskipun ia fakir, akan
tetap hidup (optimis). Persangkaannya akan selalu baik (husnudhan). Daya
kreatifnya tidak akan mati. Depresi dan frustasi akan jauh darinya. Tidak mudah
dimatikan oleh keputus-asaan, apalagi sampai menyalahkan Tuhan. Lagi pula,
Allah memberikan garis start yang sama untuk semua manusia. Artinya, semua
manusia memiliki peluang yang sama untuk mendapatkan “izzul qana’âh
(kemuliaan/kekuatan qanaah) dan ar-ridlâ bi faqrihi (ridha atas kefakirannya).
Pertanyaannya adalah, apakah mereka mau menerimanya atau tidak?
Di lain waktu, saudara perempuannya yang lain, ‘Abdah binti Ahmad, mengurai
efek zuhud terhadap pengamalnya. Ia berkata:
الزهد
يورث الراحة في القلب، وسخاء النفس بالمال
“Zuhud itu mendatangkan kenyamanan dalam hati, dan kedermawanan jiwa dengan
harta” (Imam Abu Abdurrahman Muhammad bin al-Husain al-Sulami, Thabaqât
al-Shûfiyyah wa Yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, h. 412).
Zuhud adalah ilmu rasa. Dibutuhkan pelatihan dan pendidikan panjang untuk
mengamalkannya. Bagi para pengamalnya yang telah akrab, zuhud menyamankan hati
mereka, dan mendermawankan jiwa mereka. Kenyamanan hati, secara sederhana,
bukan berarti hilangnya cemas sama sekali, melainkan pengetahuannya tentang
bahaya cemas yang berlebihan, membuat kesadaran dan kepasrahan hatinya kepada
Tuhan meningkat, sehingga kecemasan tidak lagi mudah menguasai hati seperti
sebelumnya.
Zuhud juga mendatangkan kedermawanan diri. Seorang zahid telah mendidik hatinya
untuk lebih jernih dan kuat. Mengambil alih kekuasaan dari ketamakan, dan
meluaskan otoritasnya. Menjadikan kedermawanan dan kemurahan hati sebagai
pengambil efektif kebijakan, sehingga seluruh anggota tubuh mendengar dan
melaksanakannya. Dengan kata lain, pihak yang beroposisi (ketamakan), suaranya
jauh lebih kecil dari kedermawanan dan kemurahan hati. Akibatnya, orang yang
zuhud begitu mudah mendermakan hartanya, sebagaimana kisah-kisah para sufi yang
hanya menjadi penyalur harta, bukan penyimpannya, karena mereka selalu memberi
tanpa takut menjadi miskin.
Dengan mengatakan ini, tampaknya ‘Abdah binti Ahmad menginginkan manusia agar
dapat menikmati hidupnya dengan cara yang baik, salah satunya dengan
mengamalkan zuhud. Sebab, kenyamanan hati dan kedermawanan jiwa adalah dua hal
yang dapat membebaskan manusia dari kekhawatiran hidup yang berlapis-lapis.
Paling tidak, kekhawatiran itu menjadi ringan dengan mempraktikkan zuhud dalam
kehidupan sehari-hari.
Mengenai kapan ‘Abdah dan Aminah wafat, tidak diketahui secara pasti. Imam Abu
‘Abdurrahman al-Sulami dan Imam Ibnu ‘Asakir tidak mencatatnya di kitab mereka.
Yang pasti keduanya hidup di era yang sama dengan Abu Sulaiman ad-Darani dan
Ahmad bin Abi al-Hawari (w. 230-an H).
Wallahu a’lam bish-shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar