Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr. wb. Izin bertanya Redaksi NU Online. Karena hubungan yang tidak harmonis antara orang tua dan anak, lalu orang tuanya berwasiat, bila ia meninggal anaknya tidak boleh menyalati dan merawat jenazahnya.” Pertanyaannya, apa hukum wasiat tersebut, dan haruskah dituruti?
(Hamba Allah/Jawa Timur)
Jawaban:
Wa’alaikumussalam wr. wb. Penanya budiman, segala puji bagi Allah. Shalawat
serta salam semoga senantiasa tercurah ke hadirat Nabi Muhammad saw. Wasiat
pada dasarnya merupakan perintah Allah swt secara langsung di dalam Al-Qur’an.
كُتِبَ
عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
(البقرة: 180)
Artinya: “Telah ditentukan atas kalian bila salah satu dari kalian ada yang
tengah menghadapi kematian, agar ia meninggalkan wasiat kebaikan untuk kedua
orang tuanya dan kerabatnya secara ma’ruf. Sebagai hak bagi orang-orang yang
bertaqwa.” (QS al-Baqarah: 180).
Imam al-Qurthubi menjelaskan:
وكُتِبَ
مَعْنَاهُ فُرِضَ وَأُثْبِتَ، كَمَا تَقَدَّمَ. وَحُضُورُ الْمَوْتِ: أَسْبَابُهُ.
وَمَتَى حَضَرَ السَّبَبُ كَنَّتْ بِهِ الْعَرَبُ عَنِ الْمُسَبَّبِ
Artinya, “Makna asal dari “kutiba” adalah diwajibkan atau ditetapkan
sebagaimana keterangan terdahulu. Adapun “hudlurul maut” bermakna sebab-sebab
yang bisa membawa kematian. Apabila telah muncul adanya beberapa sebab
tersebut, maka dalam masyarakat Arab sudah terlintas gambaran mengenai akan
hadirnya musabbab (kematian).
Adapun Maksud kata “khairan” pada ayat adalah harta tanpa adanya khilaf. Ulama
hanya berbeda pendapat tentang kadarnya.” (Al-Qurthubi, Tafsîrul Qurthubi, juz
II, halaman 258).
Berdasarkan penafsiran ini dapat disimpulkan, obyek dasar dari wasiat dalam
ranah fikih berkaitan dengan harta dan bukan selainnya.
Dalam I’ânatuth Thâlibîn Sayyid al-Bakri (wafat 1310 H) menjelaskan:
ويشترط
في الموصى فيه كونه تصرفا ماليا مباحا، فلا يصح الإيصاء في تزويج نحو بنته أو
ابنه، لأن هذا لا يسمى تصرفا ماليا، وأيضا غير الأب والجد لا يزوح الصغيرة والصغير،
ولا في معصية، كبناء كنيسة للتعبد، لكون الإيصاء قربة، وهو تنافي المعصية
Artinya, “Disyaratkan atas obyek wasiat adalah berkaitan dengan penyaluran
harta secara mubah. Tidak sah berwasiat dalam hal menikahkan putra-putri Si
Mayit, karena wasiat semacam tidak masuk kategori penyaluran harta. Apalagi ada
ketentuan bahwa tidak ada hak menikahkan putra dan putri yang masih kecil
selain bapak dan kakek. Demikian halnya tidak boleh berwasiat menunaikan
kemaksiatan, misalnya membangun gereja untuk tempat ibadah, sebab wasiat
merupakan sarana pendekatan diri kepada Allah. Alhasil, merupakan antitesa dari
kemaksiatan.” (Sayyid al-Bakri, I’ânatuth Thâlibîn ‘alâ Halli Alfâdhi Fathil
Mu’în, juz III, halaman 255).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum wasiat orang tua agar anaknya tidak
menyalati jenazahnya tidak sah secara fikih, karena ‘illat kemaksiatan dan dan
bisa diabaikan.
Indikator (murajjih) untuk memutuskan bahwa wasiat sebagaimana dalam pertanyaan
termasuk kategori maksiat adalah, bahwa hak dari seorang muslim yang meninggal
adalah dishalati, dikafani, ditajhiz dan dikuburkan. Sebaliknya, kewajiban
muslim yang masih hidup adalah mentajhiz, memandikan, mengkafani dan
menguburkan mayit.
غير
أن طاعة الأبوين غير مطلوبة، بل هي حرام في ارتكاب معصية كبيرة كالإشراك بالله،
وترك فريضة عينية، فإنه لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق، وتلزم طاعتهما في
المباحات، وتندب الطاعة في ترك المندوبات. ومنها الجهاد الكفائي، وإجابة الأم في
الصلاة النافلة إذا شقّ عليها الانتظار أو خيف هلاكها
Artinya, “Namun menaati kedua orang tua (dalam kemaksiatan) bukanlah hal yang
diperintah oleh syara’, bahkan haram dalam urusan kemaksiatan dan dosa besar,
seperti menyekutukan Allah dan meninggalkan fardlu ‘ain. Sebab, tidak ada
ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Khaliq. Di luar itu akan
wajib taat terhadap orang tua dalam hal-hal yang bersifat mubah, dan sunnah
menaati mereka dalam meninggalkan ibadah sunnah. Termasuk pula jihad yang
bersifat kifâyah, menjawab panggilan ibu meski sedang melakukan shalat sunnah,
khususnya bila ada masyaqqah (kerepotan) pada Ibu apabila menunggu selesai
shalat, atau dikhawatirkan membahayakan dirinya.” (Wahbah az-Zuhaili, Tafsîrul
Munir, juz XXI, halaman 152).
Walhasil, sebagai kesimpulan dari jawaban atas pertanyaan saudara, adalah:
1. Wasiat itu hendaknya dilakukan untuk hal yang bersifat mubah (bukan
haram/maksiat) dan berkaitan dengan penyaluran harta. Sebab wasiat merupakan
sarana untuk melakukan pendekatan diri kepada Allah. Karenanya tidak boleh
berwasiat terkait kemaksiatan dan keharaman.
2. Hukum melaksanakan wasiat yang bertentangan dengan nash adalah tidak
diperbolehkan, bahkan haram. Untuk itu, bagi pihak yang pernah mendapati kasus
sebagaimana dalam pertanyaan, hendaknya tetap melakukan shalat jenazah,
mentajhiz, mengafani, menyolati dan menguburkan jenazah serta mendoakannya.
Yang paling penting adalah berbuat baik kepada orang tua sehingga tetap dapat
menjalin hubungan secara sempurna kepada mereka. Wallâhu a’lam bish
shawâb. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar