Sebelum Jepang (Nippon) datang ke Indonesia pada Maret 1942, perjuangan orang-orang pesantren yang digawangi oleh para kiai masih dilakukan dalam bentuk perlawanan kultural terhadap penjajah Belanda. Perlawanan secara kultural tidak berdampak pada fisik secara langsung atau konfrontasi senjata, tetapi perlawanan tersebut mampu membangkitkan spirit dan kekuatan rakyat untuk melakukan perlawanan terhadap segala bentuk kolonialisme.
Muhammad Asad Syihab dalam Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari: Perintis
Kemerdekaan Indonesia (1994) menjelaskan bahwa perjalanan hidup Hadratussyekh
penuh dengan perjuangan demi tanah airnya. Perlawanan beliau melawan penjajah
Belanda dilakukan dengan ucapan maupun pergerakan.
Lebih lanjut, Asad Syihab mengungkapkan bahwa KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan
fatwa-fatwa menentang kolonial Belanda. Antara lain fatwa mengharamkan
kaum Muslimin bekerja sama dengan Belandadalam bentuk apapun dan dengan cara
apapun dari Belanda. Beliau juga mengeluarkan fatwa wajibnya melawan Belanda
dan merebut kemerdekaan dari kaum penjajh. Fatwa yang ternyata mempunyai gaung
luar biasa di seluruh Nusantara saat itu.
Berjalannya waktu, perjuangan berubah dari perlawanan kultural ke perlawanan
bersenjata. Termasuk kalangan santri dan warga pesantren yang tak kalah
semangatnya dalam mengangkat senjata melawan penjajah. Secara mencatat,
mengangkat senjata tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki, tetapi juga
dilakukan oleh kaum perempuan di dalam organisasi Muslimat NU.
Meskipun melakukan perlawanan dalam bentuk mengangkat senjata, para kiai juga
tetap memperkuat riyadhoh rohaniyah dengan bacaan doa, wirid, dan hizib.
Kalangan pesantren tetap meyakini tidak ada kekuatan yang lebih dahsyat
melainkan kekuatan dari Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Jalan riyadhoh rohaniyah
ditempuh untuk tetap memperoleh ridho dan kekuatan dari Allah swt.
Wirid KH Hasyim Asy’ari
Kisah memperkuat wirid dan doa dalam melawan dan menghadapi penjajah dilakukan oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Ketika dipenjara dan mengalami siksa pedih dari tentara Jepang untuk alasan yang tidak pernah diperbuatnya, pemberontakan di Cukir.
Meski mengalami beragam kekerasan di dalam penjara, kakek dari KH Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) tidak menyurutkan sedikit pun semangat menegakkan agama Allah
dengan tetap melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan mengulang hafalan
hadits-hadits dalam kitab Al-Bukhari dan menolak dengan tegas agar hormat
menghadap matahari sebagai sikap tunduk dan patuh kepada Kaisar Jepang, Teno Heika.
Kisah keteguhan hati Kiai Hasyim Asy’ari dengan tetap menghafal Al-Qur’an dan
Kitab Hadits Al-Bukhari sebagai wiridan selama dipenjara oleh Jepang
diriwayatkan oleh Komandan Hizbullah wilayah Jawa Tengah, KH Saifuddin Zuhri
saat berbincang dengan KH Wahid Hasyim dalam sebuah kesempatan sesaat setelah
Kiai Hasyim Asy’ari dibebaskan oleh Jepang melalui diplomasi KH Abdul Wahab
Chasbullah dan Gus Wahid sendiri. (baca KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari
Pesantren, 2013)
“Bagaimana kabar Hadlratussyekh setelah keluar dari tahanan Nippon?” tanya Kiai
Saifuddin Zuhri mengawali obrolan dengan Kiai Wahid Hasyim.
Kiai Wahid Hasyim menjelaskan bahwa kesehatan ayahnya justru semakin membaik.
Bahkan salah satu perumus dasar negara Indonesia itu mengabarkan bahwa ayahnya
selama di penjara mampu mengkhatamkan Al-Qur’an dan Kitab Hadits Al-Bukhari
berkali-kali.
“Alhamdulillah, kesehatannya justru semakin membaik. Selama dalam penjara,
Hadlratussyekh bisa mengkhatamkan Al-Qur’an dan Kitab Hadits Al-Bukhori
berkali-kali,” terang Kiai Wahid Hasyim kepada Saifuddin Zuhri.
Kesaktian Bambu Runcing
Sejarah mencatat bahwa perjuangan di luar nalar manusia pada umumnya tersaji ketika para kiai dan santri berhasil memukul mundur penjajah dengan hanya bermodal bambu runcing dan senjata tradisional lainnya.
Berbagai langkah dan strategi dilakukan walaupun dengan menggunakan senjata
tradisional, bambu runcing demi membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu
penjajahan untuk mencapai kemerdekaan lahir dan batin.
Bambu runcing, karakternya yang tegak, kuat, gagah, dan tajam tidak lantas
membuat para pejuang berhenti berikhtiar untuk mengisi bambu runcing dengan
kekuatan doa dari seorang ulama sepuh dari daerah Parakan, Magelang, Jawa
Tengah, Kiai Haji Subchi yang pada tahun 1945 telah berusia sekitar 90 tahun.
Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010) mengungkap, ratusan
bahkan ribuan tentara sabil, baik Hizbullah dan Sabilillah juga Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) selalu membanjiri rumah Kiai Subchi untuk menyepuh bambu
runcingnya dengan doa. Bahkan untuk keperluan menyemayamkan kekuatan spiritual
ini, Jenderal Soedirman dan anak buahnya juga berkunjung ke rumah kiai yang
dijuluki sebagai Kiai Bambu Runcing tersebut.
Doa yang diucapkan oleh Kiai Subchi untuk menyepuh ribuan bambu runcing adalah
sebagai berikut (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010: 132):
Bismillahi
Ya hafidhu, Allahu Akbar
Dengan nama Allah
Ya Tuhan Maha Pelindung
Allah Maha Besar
Kisah penyepuhan bambu runcing yang dilakukan oleh Kiai Subchi ini dijelaskan
oleh KH Saifuddin Zuhri dalam bukunya Guruku Orang-orang dari Pesantren (LKiS,
2001). Dalam salah satu buku memoar sejarah tersebut, dijelaskan bahwa hampir
bersamaan ketika terjadi perlawanan dahsyat dari laskar santri dan rakyat
Indonesia di Surabaya pada 10 November 1945, rakyat Semarang mengadakan
perlawanan yang sama ketika tentara Sekutu juga mendarat di Ibukota Jawa Tengah
itu.
Dari peperangan tersebut, lahirlah pertempuran di daerah Jatingaleh, Gombel,
dan Ambarawa antara rakyat Indonesia melawan Sekutu (Inggris). Kabar pecahnya
peperangan di sejumlah daerah tersebut juga tersiar ke daerah Parakan. Dengat
niat jihad fi sabilillah untuk memperoleh kemerdekaan dan menghentikan
ketidakperikemanusiaan penjajah, Laskar Hizbullah dan Sabilillah Parakan ikut
bergabung bersama pasukan lain dari seluruh daerah Kedu.
Hizib Nashar KH Dalhar Watucongol
Peperangan di wilayah Jawa Tengah lainnya juga terjadi di Magelang. Diriwayatkan oleh KH Saifuddin Zuhri (1919-1986), ulama se-Magelang mengadakan pertemuan di rumah Pimpinan Hizbullah di belakang Masjid Besar Kota Magelang pada 21 November 1945. Pertemuan ini dilaksanakan pada tsulutsail-lail atau saat memasuki dua pertiga malam (sekitar pukul 03.00 dini hari).
Ulama yang dipanggil sedianya hanya 70 orang, namun yang hadir melebih
ekspektasi yaitu 200 orang ulama dalam pertemuan riyadhoh ruhaniyah itu. Para
ulama menilai, gerakan batin atau gerakan rohani ini untuk menyikapi situasi
genting yang terjadi di dalam Kota Magelang dan sekitarnya, terutama sepanjang
garis Magelang-Ambarawa-Semarang. Karena di Pendopo rumah Suroso tidak cukup,
sebagian ditempatkan di markas Sabilillah yang jaraknya 100 meter.
Di saat ratusan ulama sudah terkumpul, mayoritas hadirin berharap-harap cemas
ketika menanti kedatangan sejumlah ulama khos yang belum hadir, di antaranya KH
Dalhar (Pengasuh Pesantren Watucongol), KH Siroj Payaman, KH R. Tanoboyo, dan
KH Mandhur Temanggung. Mereka adalah ulama “empat besar” untuk Magelang dan
sekitarnya yang akan memimpin riyadhoh ruhaniyah tersebut.
Dalam pertemuan yang juga dihadiri oleh Letkol M. Sarbini dan Letkol A. Yani
dan satu regu pengawal siap tempur itu, para ulama dan rakyat dipimpin ulama
“empat besar” itu membaca aurod yang sudah terkenal di kalangan ulama
Ahlussunnah wal Jamaah antara lain, Dalail Khoirot, Hizib Nashar li Abil Hasan
Asy-Syadzili, Hizib al-Barri, dan Hizib al-Bahri, keduanya Li Abil Hasan
Asy-Syadzili yang termasyhur.
Namun, asisten (dulu biasa disebut kurir yang bertugas membawa informasi
rahasia) yang mengawal M. Sarbini dan A. Yani melapor bahwa tentara Inggris
sedang membuat gerakan mundur meninggalkan Magelang. KH Saifuddin Zuhri dalam
Berangkat dari Pesantren (2013) mencatat bahwa seketika itu Gedung Seminari
Katolik dikosongkan. Mereka mengangkut semua perlengkapan. Bukan hanya
persenjataan, tetapi juga alat perbekalan dan perabotan rumah tangga.
Dalam proses evakuasi tentara Inggris tersebut, Sekutu menyertakan seluruh
serdadu kulit putih, Gurkha, bekas tentara Nippon, dan serdadu NICA. Menurut
laporan kurir itu pula, gerakan evakuasi Sekutu dimulai pukul 04.00 menjelang
subuh.
Ketika kurir itu menyebutkan bahwa Inggris meulai meninggalkan gedung Seminari
Katolik, Kiai Saifuddin Zuhri yang juga bersama Sarbini dan A. Yani mendengar
laporan tersebut tetiba teringat kembali pada saat KH Dalhar bermunajat dengan
Hizib Nashar. Ia meyakini bahwa dua kejadian tersebut, yaitu proses evakuasi
oleh Sekutu dan munajat Kiai Dalhar berbarengan. Kiai Saifuddin menyebut dalam
proses tersebut Kiai Dalhar sampai pada bagian (dari Hizib Nashar) ini:
Nas’aluka al ‘ajala Ilaahi, al-ijaabah. Ya man ajaaba Nuuhan fii qaumihi. Ya
man nashara Ibrohima ‘aala a’daaihi. Ya man rodda Yusufa ‘alaa Ya’quba. Ya man
kasyafa dhurra Ayyuba. Ya man ajaaba da’wata Zakaria. Ya man qabila tashbiha
Yunusa ibni Matta. Nas’aluka bia asroori haadzihidda’waati an tataqobbala maa
bihi da’aunaaka wa an tu’thianaa maa sa’alnaaka...
(Kami mohon pertolongan-Mu itu datanglah sekarang, sekarang, dengan segera, Ya
Tuhan, kabulkanlah permohonan ini, kabulkanlah! Ya Allah, Tuhan kami yang
mengabulkan doa Nabi Nuh ketika menghadapi kaumnya. Ya Allah Tuhan kami yang
memberi pertolongan kepada Nabi Ibrahim yang mengalahkan musuh-musuhnya. Ya
Allah Tuhan kami yang mengembalikan Nabi Yusuf ke pangkuan Nabi Ya’qub. Ya
Allah Tuhan kami yang menghilangkan penderitaan Nabi Ayyub. Ya Allah Tuhan kami
yang memenuhi doa Nabi Zakaria. Ya Allah Tuhan kami yang menerima perkenan atas
tasbih Nabi Yunus bin Matta. Ya Allah Tuhan kami, dengan mengharapkan hikmat
dan rahasia doa-doa ini, mohon kiranya Engkau memperkenankannya dan mengabulkan
segala yang kami maksudkan kepada-Mu, kiranya Engkau memenuhi segala yang kami
mintakan kepada-Mu...)
KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren (2001) menjelaskan,
Riyadhah-Rohani selain meningkatkan semangat pembelaan tanah air, juga untuk
mengamalkan beberapa wirid. Hizbur Rifa’i, Hizbul-Bahr, Hizbun Nashr, Hizbun
Nawawi, Hizbus Saif, doa lainnya dipompakan dalam Riaydhah yang berbentuk
Latihan Rohani itu.
KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013) juga mencatat bahwa
kiai-kiai dari Jombang, Gresik, Pasuruan dan dari sekitar Surabaya menyerang
musuh sambil meneriakkan doa-doa dalam sejumlah hizib. Pertama kali dalam
sejarah perang di Indonesia melawan penjajah, kalimat takbir, Allahu Akbar,
Allahu Akbar, Allahu Akbar bershut-sahutan dengan letusan bom dan rentetan
suara mitraliur.
Kiai Saifuddin Zuhri menjelaskan bahwa tentara Inggris membawa bendera sekutu
yang terdiri dari orang India dan Gurkha, serdadu-serdadu Belanda yang
membonceng Sekutu, dan bekas serdadu Nippon yang dimanfaatkan sebagai perisai.
Walaupun Inggris hanya menguasai Gedung Seminari Katolik di bibir alun-laun dan
sepanjang jalan raya Poncol stasiun Kota Magelang, namun jalan raya
Ambarawa-Semarang dan Ambarawa-Magelang bisa dikuasai pula berkat pasukan tank
dan pesawat terbang mereka. Namun, strategi dan serangan tiba-tiba yang
dilakukan oleh Laskar Hizbullah dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) berhasil
mengusir tentara seukutu.
Sekutu yang digerakkan oleh tentara Inggris berupaya mengevakuasi diri. Di
tengah keberhasilan mengusir sekutu, ternyata di luar sana KH Dalhar Watucongol
telah setengah jalan membaca Hizib Nashar diikuti oleh santri dan para pejuang
lainnya yang berkumpul melakukan gerakan rohani. Di antara yang juga dibaca
ialah Dalailul Khoirot, Hizib al-Barri, Hizb al-Bahri keduanya li Abil Hasan
Asy-Syadzili.
Membaca Shalawat Nariyah
Di tengah kecamuk di daerah Magelang tersebut, kantor-kantor, termasuk markas hizbullah dikosongkan selama tiga hari. Jalan Raya Poncol Magelang menjadi sepi. Penduduk sepanjang jalan tersebut banyak yang mengungsi. Meskipun berhasil kembali dikuasai oleh Laskar Hizbullah dan TKR, namun masyarakat tetap memilih mengungsi karena bisa sewaktu-waktu tentara Sekutu kembali menyerang.
Di tengah kondisi yang sepi, KH Saifuddin Zuhri yang sedang melakukan
perjalanan kembali ke tempat tinggalnya setelah mengunjungi Kantor Karesidenan
Magelang. Ia berjalan kaki menempu jarak sekitar 1 kilometer. baru sampai di
belakang Hotel Tidar, 200 meter dari rumah Abdul Wahab Kodri (Sekrteris NU
Magelang), gemuruh yang berasal dari benturan du benda keras terdengar disusul
oleh berondongan peluru dari senjata jenis mitraliur (sebuah senjata api yang
menggabungkan kemampuan menembak otomatis senapan mesin dengan amunisi pistol).
Bentruan benda-benda keras tersebut dua-duanya saling bersahutan dan
berbarengan sehingga cukup memekakkan telinga. Dua-duanya bersumber dari
iring-iringan pasukan tank yang memlopori pendudukan serdadu-serdadu Inggris
atas Kota Magelang.
Kiai Saifuddin Zuhri seketika bertiarap dan berguling memasuki pekarangan rumah
warga agar bisa merangkak menuju tempat yang lebih aman. Di tengah ia berjibaku
mengamankan diri, ia membaca sebuah wirid secara lirih. Wirid yang ia lakukan
sejak dalam pusat latihan Hizbullah di Cibarusa ialah “Shalawat Nariyah”. (KH
Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, 2013: 347)
Wirid Shalawat Nariyah membawa Kiai Saifuddin Zuhri keluar dari lobang jarum.
Ia sendiri tidak bisa membayangkan ketika bisa meloloskan diri dari kemelut
maut tersebut. Akhirnya ia berhasil tiba di sebuah tempat di mana beberapa
kawan para kiai juga dalam kondisi siap siaga di markas Sabilillah. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar