Ada seorang khatib saat khutbah Jumat menyampaikan sebuah riwayat hadits, dengan mantab mengungkapkan kalimatnya dalam bahasa Arab berikut:
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ ﷺ: إِنَّ رَجَبَ شَهْرُ اللهِ وَشَعْبَانَ
شَهْرِيْ وَرَمَضَانَ شَهْرُ أُمَّتِيْ.
Artinya Rasulullah SAW bersabda: ”Sungguh Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban
bulanku dan Ramadhan bulan umatku”.
Dalam kalimat tersebut, sang khatib menggunakan kata-kata, “Qâla Rasȗlullullâh
Shallallâhu ‘alaihi wasallam”, bahkan dalam teks yang disampaikan di atas, ia
pun menggunakan tambahan kata ”inna”, yang berarti sungguh (sesungguhnya),
padahal dalam berbagai kitab, teks hadits tersebut tanpa kata ”inna”, tetapi
berbunyi: ”Rajabu Syahrullâh, wa Sya‘bânu syahrî, wa Ramâdhânu syahru ummati”.
Artinya: ”Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban adalah bulanku dan Ramadan
adalah bulan umatku”.
Bagaimana status riwayat hadits ”Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban bulanku
dan Ramadhan bulan umatku?”. Bagaimana pula seharusnya cara menuturkan riwayat
suatu hadits?
Teks hadits tersebut memang dikutip dalam sebuah kitab yang sering dijadikan
referensi di pesantren, Bughyat al-Mustarsyidîn fî Talkhîsh Fatâwî Ba‘dh
al-A’immah min al-‘Ulamâ’ al-Muta’akhkhirîn, karya al-Imâm al-Habib ‘Abd
al-Rahmân bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar, masyhur dengan sebutan Bâ‘alwî
al-Syâfi‘î (1250-1320 H), mufti ulama muta’akhirin (kontemporer). Teks hadits
dimaksud terdapat pada halaman 107, terbitan Al-Haramain
Singapura-Jedah-Indonesia, tanpa tahun:
فَائِدَةٌ
وَرَدَ عَنْهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَنَّهُ قَالَ: رَجَبُ شَهْرُ
اللهِ وَشَعْبَانُ شَهْرِيْ وَرَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِيْ
Dalam kitab tersebut pengutipan riwayat hadits tidak langsung dengan
menggunakan kalimat: ”Qâla Rasȗlullâh Shallallâhu ‘alaihi wasallam”, melainkan
kata-kata warada ‘anhu... (beredar darinya --suatu hadits--)
Syekh Bâ’alwî dalam kitab Bughyat al-Mustarsyidîn menyatakan maksud hadis ini
adalah bahwa Allah Suhbanahu wa Taala menampakkan ampunan kepada hamba-Nya
di bulan Rajab tanpa pelantaraan (wasilah) syafaat (permohonan ampunan) dari
seseorang pun, dan di bulan Sya’ban dengan wasilah Syafa’at Nabi Muhammad Saw.,
serta di bulan Ramadan dengan wasilah syafa’at umat (yakni orang-orang yang
saleh).
Di dalam kitab ini, tidak dikemukakan status haditsnya; tampaknya diterapkan
dalam konteks atau targhib (dorongan, penyemangat) melakukan amal kebaikan,
termasuk bab fadhâ’ilil a‘mâl (keutamaan-keutamaan).
Riwayat hadits di atas penting dikemukakan dengan tujuan mendudukkan dan
memperingatkan status teks hadits (tanbîh). Teks riwayat hadits tersebut diulas
antara lain dalam dua kitab Suni: Mawâhib al-Jalîl li-Syarh Mukhtashar
al-Khalîl (Dâr ‘Âlam al-Kutub, 2003, Juz III, hlm: 321-323) karya Syams al-Dîn
Abȗ ‘Abdillâh Muhammad bin Muhammad bin ‘Abd al-Rahmân al-Tharâblisî
al-Maghribî al-Ma‘ruf bi-al-Hithâb al-Ru‘anî (902-954 H/1497-1547 M), ulama
mazhab Maliki; dan kitab Faidh al-Qadîr Syarh al-Jâmi‘ al-Shaghîr min Ahâdits
al-Basyîr al-Nadzîr (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994, Juz IV, hlm. 25,
pada teks bahasan nomor 4411), karya al-‘Allâmah Muhammad ‘Abd al-Ra’ȗf
al-Munâwî (952-1031 H/1545-1621 M), ulama mazhab Syafi’i berkebangsaan Mesir.
Dalam kedua kitab tersebut, dikemukakan bahwa hadits ”Rajab adalah bulannya
Allah, Sya’ban bulanku dan Ramadhan bulan umatku?”, --dan hadits-hadits semisal
adalah hadits bâthil (al-ahâdits al-bâthilah).
Dalam ilmu hadits dijelaskan bahwa hadîts bâthil adalah hadits yang dibuat
berisi kedustaan atas Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, baik terhadap
sabda, perbuatan maupun persetujuan (taqrir)nya, yang tidak mempunyai sumbernya
dalam syariat, juga menyalahi kaidah-kaidahnya, sering kali terjadi pada ucapan
perawi yang meski betul logatnya, tetapi buruk hafalannya, sungguhpun
kedustaannya itu tidak disengaja.
Hadits bâthil pada satu sisi sama dengan hadits maudhȗ‘, yakni terdapat unsur
kedustaan atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dalam perkataan, perbuatan
ataupun taqrîr beliau. Keduanya tidak boleh dijadikan hujah atau dalil
beragama.
Pada sisi lain, terdapat perbedaan di antara kedua hadits itu: pada hadits
bâthil, kedustaan tersebut tidak disengaja, sementara pada hadits maudhȗ‘
kedustaan tersebut disengaja; pada hadits bâthil tidak ada sumbernya dalam
syariat, sementara pada hadits maudhȗ‘ terkadang ada sumbernya dalam syariat.
Syekh al-Islâm Muhyi al-Dîn Abȗ Zakariyâ Yahya bin Syaraf al-Syâfi‘î (Imam
al-Nawawi), lahir tahun 204 H, dan wafat di Nisabur pada 261 H, seorang
ulama paling terkemuka dalam mazhab Syafi’i, memberikan panduan dan penjelasan,
terkait penyampaikan suatu hadits. Imam al-Nawawî, dalam kitabnya yang sangat
terkenal, Shahîh Muslim bi-Syarh al-Nawawî, menuliskan:
يحرم
رواية الحديث الموضوع على من عرف كونه موضوعا أو غلب على ظنه وضعه، فمن روى حديثا
علم أو ظن وضعه ولم يبنه حال روايته ووضعه فهو داخل في هذا الوعيد، مندرج في جملة
الكاذبين على رسول الله ﷺ، ويدل عليه أيضا الحديث
السابق (من حدث عني بحديث يرى أنه كذب فهو أحد الكاذبين).
ولهذا
قال العلماء: ينبغي لمن أراد رواية حديث أو ذكره أن ينظر: فإن كان صحيحا أو حسنا
قال: قال رسول الله ﷺ كذا أو فعله أو نحو ذلك من صيغ الجزم، وإن كان
ضعيفا فلا يقل: قال أو فعل أو أمر أو نهى وشبه ذلك من صيغ الجزم، بل يقول: روي عنه
كذا أو جاء عنه كذا أو يروى أو يذكر أو يحكى أو يقال أو بلغنا وما أشبهه. والله
سبحانه أعلم.
Artinya: [”Haram meriwayatkan suatu hadits maudhȗ‘ (hadis palsu) atas orang
yang mengetahui bahwa keberadaan (status) hadits tersebut adalah maudhȗ‘ atau
dominan (kuat) dalam prasangkanya tentang kemaudhu’an hadits itu; maka
barangsiapa meriwayatkan suatu hadits (padahal) ia meyakini atau berprasangka
kuat ke-maudhu’an-nya dan ia tidak menjelaskan hadits tersebut perihal kondisi
periwayatannya dan kemaudhu’annya, maka ia termasuk ke dalam ancaman ini,
tergolong dalam kelompok para pendusta atas Rasulullah Sahallallâhu ‘alaihi
wasallam, hal itu juga ditunjukkan oleh hadits di muka (“Barangsiapa
menyampaikan dariku suatu hadits yang diketahui bahwa hadits itu dusta, maka ia
adalah salah seorang dari orang-orang pendusta”).
Dan oleh karena inilah Ulama berkata: ”Seyogianya bagi orang yang hendak
meriwayatkan hadits atau menyebutkan hadis agar mencermati: maka jika hadis itu
sahih atau hasan maka ia berkata: ‘Qâla Rasȗlullâhi Shallallâhu ‘alaiwi
wasallam kadzâ” (Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda demikian),
atau ”fa‘alahu” (beliau melakukannya), atau ungkapan semacamnya dari
bentuk-bentuk ungkapan yang menunjukkan suatu kepastian (shiyagh al-jazm), dan
tetapi jika hadis itu dhâ‘if (lemah), maka janganlah ia berkata: ”qâla”
(bersabda), atau fa‘ala (melakukan), atau amara (memerintahkan), atau nahâ
(melarang), dan kata-kata serupa dari jenis kata-kata yang menunjukkan
kepastian (syiyagh al-jazm), namun (hendaknya) ia berkata: ”ruwiya ‘anhu kadzâ”
(diriwayatkan dari beliau demikian), atau ”jâ’a ‘anhu kadzâ” (datang darinya
demikian), atau yurwâ (diriwayatkan) atau yudzkaru (disebutkan), atau yuhkâ
(diceritakan), atau yuqâlu (dikatakan), atau balaghanâ (sampai kepada kami),
dan kata-kata yang serupa, wallâhu subhânahu a‘lam (dan Allah Yang Mahasuci
yang lebih mengetahui).”] (Syaraf al-Dîn al-Nawawî, Shahîh Muslim bi-Syarh
al-Nawawî, Kairo: Dâr al-Hadîts, 2001, Cet. ke-4, juz I, halaman 106).
Jadi, untuk menyampaikan hadits dha‘îf saja agar tidak menggunakan redaksi Qâla
Rasȗlullah... dan sejenisnya, apalagi pada hadits yang bâthil, maudhȗ‘ (dusta),
mungkar dan semisalnya, penggunaan kata-kata Qâla Rasulullah... dan sejenisnya
sungguh sangat dihindarkan!
Hendaknya umat tidak disuguhi hadits-hadits dha‘îf, terlebih hadits bâthil,
maudhȗ ‘, mungkar dan semacamnya, sebagai landasan ataupun ”bumbu” ceramah,
khutbah dan semisalnya, tanpa penjelasan statusnya. Wallâhu a‘lam
bi-al-shawwâb. []
Ustadz Ahmad Ali MD, Wakil Sekretaris Lembaga Pentashih Buku dan Konten
Keislaman Majelis Ulama Indonesia (LPBKI MUI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar