Muktamar Nahdlatul Ulama merupakan forum permusyawaratan tertinggi NU yang dilaksanakan untuk berbagai agenda, yakni mengevaluasi kinerja kepengurusan, menyusun program baru, dan memilih pengurus untuk periode selanjutnya.
Dalam Muktamar NU juga dibahas masalah keagamaan dalam forum yang dinamakan
Bahtsul Masa'il. Mengingat luasnya permasalahan saat ini, forum bahtsul masa’il
dibagi menjadi sejumlah komisi seperti Komisi Waqi’iyah, Qanuniyah, dan
Maudluiyyah sesuai temanya.
Muktamar NU diikuti oleh kepengurusan pusat yakni Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU), kepengurusan tingkat provinsi yakni Pengurus Wilayah Nahdlatul
Ulama (PWNU), dan kepengurusan tingkat kabupaten yakni Pengurus Cabang
Nahdlatul Ulama (PCNU).
Dalam kondisi normal, kepesertaan di tingkat PWNU dan PCNU diwakili oleh lima
orang yakni Rais Syuriyah, Ketua Tanfidziyah, Katib, Sekretaris, dan Bendahara.
Ada juga peserta tambahan yang bisa diusulkan untuk menjadi peserta muktamar.
Status peserta muktamar (muktamirin) terdiri dari tiga jenis yakni peserta, peninjau,
dan pengamat.
Peserta terdiri dari Pengurus Besar, Pengurus Wilayah, dan Pengurus Cabang.
Mereka berhak mengemukakan saran dan pendapat terhadap masalah-masalah yang
berkembang di dalam persidangan. Sementara untuk peninjau juga berhak
menyampaikan saran dan pendapat. Akan tetapi, tidak memiliki hak suara.
Sedangkan pengamat biasanya merupakan intelektual atau akademisi yang mengikuti
jalannya persidangan dalam muktamar. Mereka mengikuti persidangan yang digelar
dalam berbagai komisi sesuai dengan minat mereka.
Dalam Ensiklopedia Nahdlatul Ulama: Sejarah, Tokoh, dan Khazanah Pesantren
yang ditulis oleh M. Imam Aziz disebutkan bahwa Muktamar NU pertama
diselenggarakan di Surabaya pada 21 Oktober 1926, tak lama setelah NU berdiri
dan tetap terselenggara di kota tersebut sampai muktamar ketiga. Pada
tahun-tahun berikutnya, muktamar secara berurutan semakin ke barat, mulai ke
Semarang (1929), Pekalongan (1930), Cirebon (1931), Bandung (1932), dan Jakarta
(1933) yang kemudian pindah ke Banyuwangi (1934). Selanjutnya terselenggara
secara acak.
Muktamar di luar Jawa pertama kali diselenggarakan di Banjarmasin (1936).
Muktamar 1941 direncanakan di luar Jawa untuk kedua kalinya, yaitu di
Palembang. Akan tetapi, gagal karena situasi Perang Asia Pasifik. Selama enam
tahun masa pendudukan Jepang, tidak diselenggarakan muktamar. Muktamar NU
pertama pascakemerdekaan RI diselenggarakan di Purwokerto (1946).
Mengurai masalah
Tempat penyelenggaraan muktamar selalu terkait upaya NU membantu umat Islam
yang mengalami masalah. Muktamar di Semarang (1929) dikarenakan perpecahan
dalam tubuh Syarikat Islam (SI) menjadi SI putih dan SI merah yang didominasi
kelompok komunis.
Demikian pula, Muktamar Pekalongan (1930) diselenggarakan setelah terjadi
konflik hebat antara penduduk dan etnis Tionghoa sehingga NU merasa perlu
meredamnya. Muktamar Cirebon (1931) merupakan upaya mengatasi perpecahan umat
Islam dalam masalah-masalah keagamaan. Muktamar Bandung (1932) merupakan
strategi pengembangan NU di wilayah Priangan.
Dari dulu sampai sekarang, Muktamar NU bukan hanya acara persidangan para
pengurus. Warga NU selalu memeriahkan penyelenggaraan muktamar melalui rapat
umum yang dihadiri ribuan massa. Biasanya diselenggarakan di masjid besar di
kota tersebut, atau di lapangan jika diperkirakan jumlah massa yang datang
sangat besar. Pada kesempatan tersebut, dai-dai populer dan dihormati
masyarakat tampil.
Pada muktamar pertama, rapat umum diselenggarakan di Masjid Sunan Ampel yang
dihadiri tak kurang dari 10 ribu jamaah, suatu kejadian yang belum pernah
dialami Surabaya. Pada muktamar kedua, rapat umum yang diselenggarakan di
Masjid Sunan Ampel dihadiri puluhan ribu orang.
Muktamar ke-4 digelar di Semarang, sementara rapat umum dilaksanakan di Masjid
Besar Semarang yang luar biasa meriah. Pada Muktamar Pekalongan, rapat umum
dilaksanakan di Masjid Besar Pekalongan, yang mendapatkan sambutan mengagumkan.
Ketika Muktamar ke-6 digelar di Cirebon, sempat terjadi kesulitan untuk
menggelar rapat akbar di Masjid Besar kota tersebut. Tetapi akhirnya dapat
diatasi KH Wahab Hasbullah dengan melobi Adviseur voor Inlandsche Zaken di
Jakarta. Muktamar ke-7 digelar di Bandung. Rapat umum diadakan di Masjid Besar
Bandung dengan para pembicara ulung, di antaranya KH Wahab Hasbullah, yang
akhirnya mampu menumbuhkan banyak cabang di Jawa Barat.
Berikutnya adalah Muktamar Petamburan, Jakarta Pusat. Rapat umum
diselenggarakan di depan lokasi muktamar karena Masjid Besar Tanah Abang tidak
muat untuk penyelenggaraan rapat. Banjarmasin sebagai penyelenggara muktamar
ke-11 juga memperlakukan peserta dengan sangat istimewa. Rapat umum
diselenggarakan sampai tiga kali. Pertama, di arena kongres. Kedua, di masjid
besar Kota Banjarmasin. Ketiga, atas permintaan cabang Martapura, diadakan
sekali lagi di kota tersebut.
Seluruh peserta diangkut perahu. Sementara itu, resepsi penutupan
diselenggarakan di rumah hartawan Martapura, KH Abdurrahman ,dengan
penyelenggaraan mewah serta menurut adat asli Martapura dalam seni kasidah dan
bacaan Al-Qur'annya. Acara ini meninggalkan kesan mendalam bagi peserta
muktamar.
Semakin meriah
Pada muktamar di Menes Banten, penyelenggaraan semakin meriah karena sudah
terbentuknya GP Ansor dan Muslimat NU yang turut serta dalam acara tersebut.
Muktamar ke-14 di Magelang dihadiri hampir semua wakil organisasi seperti PB
Muhammadiyah, PII, PDPP, JIB, wakil pemerintah, pamong praja, polisi, dan wakil
Adviseur Voor Inlandcsche Zaken dan para priyayi. Rapat umum yang digelar di
Lapangan Tidar dihadiri lebih dari 50 ribu orang.
Muktamar di Medan tahun 1956 diliputi suasana mencekam mengingat saat itu Kota
Medan dikuasai Dewan Gajah yang dipimpin Kolonel Simbolon. Akan tetapi, dapat
selesai dengan baik. Demikian pula Muktamar Cipasung (ke-29) di bawah
bayang-bayang upaya intervensi penguasa Orde Baru sehingga suasana muktamar
juga sangat “panas”.
Sampai tahun 1951, muktamar diselenggarakan tiap tahun, kecuali antara
1941-1946 ketika pendudukan Jepang. Tidak setiap muktamar pada masa itu
dilakukan pergantian pengurus. Akan tetapi, lebih untuk membahas masalah
keagamaan dan kemasyarakatan.
Awalnya, penyelenggaraan muktamar menggunakan pedoman bulan Hijriyah dan
ditetapkan pada bulan Rabi'uts Tsani. Jika ini dihitung dalam bulan Masehi,
penyelenggaraan muktamar kurang dari satu tahun.
Karena penyelenggaraan muktamar dilakukan setiap tahun, maka sudah ditunjuk
ketua NU penyelenggara muktamar yang tugasnya bekerja menyukseskan muktamar
tersebut. Umumnya biaya penyelenggaraan acara ini tidak menj adi masalah
mengingat dukungan masyarakat yang sangat besar.
Panitia menerima sumbangan mulai dari sayuran, kelapa, beras, sapi, kambing,
kayu bakar, sampai rumah penginapan, untuk kesuksesan acara. Sering kali
masyarakat tidak mau disebut namanya sebagai pemberi sumbangan karena takut
riya’ dan takabur, semata mata IiIIahi ta’aIa.
Setelah tahun 1951, waktu penyelenggaraan muktamar tidak terjadwal secara
periodik. Tetapi melihat situasi dan kondisi yang dibutuhkan. Penyelenggaraan
muktamar berjalan dalam rentang 5 tahunan setelah Muktamar ke-26 di Semarang
tahun 1979 sampai sekarang.
Sebagai kota kelahiran NU, Surabaya merupakan kota tempat penyelenggaraan
muktamar paling banyak (6 kali), diikuti Jakarta (3 kali), Solo (3 kali),
Semarang (2 kali), Bandung (2 kali), sedangkan kota lainnya baru satu kali.
Sebagian besar acara muktamar diselenggarakan di pesantren dari ulama yang
paling dihormati di daerah tersebut.
Kembali ke Khittah
Pada Muktamar ke-13 di Menes, ada usulan menggemparkan agar NU menaruh wakilnya
di Volksraad (dewan rakyat) yang menunjukkan adanya hasrat sebagian anggota
untuk terjun ke politik. Usulan ditolak dengan suara 54-4 yang artinya NU
memutuskan untuk tidak mencampuri politik. Tetapi bergerak dalam bidang
keagamaan dan pendidikan sesuai AD/ ART 1926 yang belum diubah waktu itu.
Muktamar ke-19 di Palembang tahun 1952 menjadi titik penting NU dengan
keputusan memisahkan diri dari Masyumi dan menjadi partai tersendiri. Titik
baliknya pada Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984, dengan keputusan kembali
ke Khittah 1926 sebagai organisasi keagamaan. Sejak kembali ke khittah hingga
kini, NU tetap menjadi ormas keagamaan.
Belakangan, untuk meramaikan muktamar, tak hanya digelar rapat umum. Tetapi
juga terdapat bazar yang berlangsung dari awal sampai akhir muktamar yang
menjual produk dan unit usaha warga NU. Juga ditampilkan berbagai macam seni
islami untuk menghibur muktamirin.
Gelaran Muktamar selalu dihadiri ribuan orang mulai dari peserta maupun
‘penggembira’. Tercatat Pada Muktamar NU ke-32 di Makassar (2010), jumlah
muktamirin yang hadir sekitar 4.000 orang dan mencapai sekitar 8.000 orang jika
ditambah dengan para penggembira. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar