Dialah Khaulah binti Tsa’labah. Seorang sahabat yang mengadu kepada Nabi Muhammad terkait dengan persoalan rumah tangganya. Karena tidak mendapatkan ‘solusi yang diinginkannya’, Khaulah akhirnya mengadu langsung kepada Allah. Hingga akhirnya Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad (Surat Al-Mujadalah), sebagai solusi atas problematika rumah tangga Khaulah.
Khaulah adalah seorang sahabat yang cerdas. Suatu ketika, Khaulah terlibat debat
dengan suaminya, Aus bin Shamit al-Anshari. Dalam perdebatan itu, Khaulah
dengan argumentasinya berhasil memojokkan suaminya. Hal itu membuat suaminya,
Aus bin Shamit, jengkel hingga kemudian men-ziharnya (sumpah menyamakan istri
dengan ibunya). Zihar merupakan persoalan serius. Seseorang yang melakukan
zihar kepada istrinya, maka istrinya menjadi haram baginya selamanya. Keduanya
tidak boleh melakukan rujuk.
Beberapa saat setelah kejadian itu, Aus bin Shamit menyesal. Ia mengajak
Khaulah rujuk kembali namun sang istri menolaknya. Namun demikian, dia
sebetulnya masih ingin rujuk dan hidup bersama kembali dengan Aus. Dia sadar,
jika berpisah dengan Aus maka hidupnya akan berat, terlebih anak-anaknya masih
kecil.
Singkat cerita, Khaulah kemudian menghadap Nabi Muhammad dan mengadukan
persoalan rumah tangganya itu. Karena belum ada wahyu tentang persoalan Khaulah
tersebut, seperti dalam Sejarah Madinah (Nizar Abazhah, 2017), maka Nabi
Muhammad tetap mengharamkan Khaulah untuk suaminya. Mereka tidak boleh rujuk
lagi. Khaulah tidak terima dengan jawaban Nabi itu. Ia terus mendebat Nabi,
tapi jawaban Nabi tetap sama. Hingga akhirnya, Khaulah mengadu kepada Allah
secara langsung.
“Ya Allah, kuadukan duka dan keadaanku yang berat ini kepada-MU. Aku masih
mempunyai anak-anak yang masih kecil, wahai Rasulullah! Jika kutinggalkan semua
padanya, mereka akan terlantar. Jika aku yang merangkul semua, mereka akan
kelaparan. Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu, maka turunkanlah wahyu kepada
Nabi-Mu,” kata Khaulah sambil mengangkat wajahnya ke langit, tidak
berhenti.
Tidak beberapa lama kemudian, Allah merespons aduan Khaulah tersebut. Maka
turunkan Al-Qur’an Surat Al-Mujadalah ayat 1-4, yang menjadi solusi atas
persoalan yang dihadapi Khaulah dan Aus. Disebutkan bahwa siapa saja yang ingin
menarik zihar, maka pertama-tama mereka harus memerdekakan seorang budak. Jika
tidak mendapatkan budak, maka mereka wajib berpuasa selama dua bulan
berturut-turut, sebelum keduanya bercampur. Atau jika tidak kuat, maka mereka
bisa memberi makan 60 orang miskin.
Semula Khaulah senang karena sudah ada solusi atas persoalan rumah tangganya.
Ia pun pulang dan memberi tahu sang suami, Aus, perihal kafarat tersebut. Namun
kemudian, dia sadar bahwa suaminya adalah seorang yang miskin. Tidak memiliki
apa-apa. Bagaimana mungkin dia dan suaminya bisa membayar kafarat
tersebut.
Mereka tidak putus asa. Kini giliran sang suami, Aus bin Shamit, yang menghadap
Nabi Muhammad dan meminta solusi atas persoalan baru tersebut. Nabi Muhammad bertanya
kepada Aus apakah dia mampu memerdekakan budak. Tidak, jawab Aus. Kata Nabi,
kalau berpuasa dua bulan berturut-turut. Tidak mampu juga, jawab Aus. Terakhir,
Nabi bertanya apakah Aus mampu memberi makan 60 orang miskin. Lagi-lagi Aus
menjawab tidak mampu.
Nabi Muhammad menjadi iba setelah mendengar jawaban Aus tersebut. Ia kemudian
meminta sahabatnya yang lain, Farwah bin Umar, untuk mengambil satu wadah yang
berisi 15 atau 16 sha’ gandum. Nabi meminta Aus bin Shamit agar memberikan
gandum itu kepada 60 orang miskin di sekitar rumahnya.
Kepada Nabi Muhammad, Aus bin Shamit mengatakan bahwa tidak yang lebih miskin
dari pada keluarga dia di desanya. Aus berpikiran, bagaimana dia—yang
paling membutuhkan makanan- memberikan makanan kepada orang lain. Rupanya
kejadian itu membuat Nabi Muhammad tertawa. Nabi kemudian memerintahkan Aus
untuk membagikan makanan itu kepada keluarganya.
Berikut terjemahan QS Al-Mujadalah ayat 1-4:
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan
kepadamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah
mendengar tanya-jawab antara kamu berdua. Sesungguhya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat orang-orang menzihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya
sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka
tidak lain hanyalah wanita-wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya
mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan
sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzihar
istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan,
maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami-istri itu
bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib
atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka
siapa yang tidak kuasa (wajib lah atasnya) memberi makan 60 orang miskin.
Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan, itulah
hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat sedih. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar