وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ
Wa idzā qīla lahum lā tufsidū fil ardhi, qālū inna mā nahnu mushlihūn.
Artinya, “Jika dikatakan kepada mereka, ‘Jangan kalian berbuat kerusakan
(mafsadat) di bumi,’ mereka menjawab, ‘Kami hanya pembuat kebaikan
(maslahat).’”
Ragam Tafsir
“Jika dikatakan kepada mereka,” mereka adalah kelompok munafik. Ada ulama tafsir mengartikan “mereka” itu kelompok Yahudi. Adapun yang mengatakan adalah orang-orang yang beriman. (Al-Baghowi, Ma‘alimut Tanzil fit Tafsir wat Ta’wil, [Beirut, Darul Fikr: 2002 M/1422 H], juz I, halaman 29).
Menurut Imam Al-Baidhawi (Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, [Beirut,
Darul Fikr: tanpa tahun], juz I, halaman 85), yang berkata adalah Allah,
Rasulullah, atau sebagian umat Islam.
Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam Tafsirul Munir mengatakan, umat Islam menasihati
orang munafik dengan berbagai jalan, mengajak mereka pada keimanan seperti
keimanan mereka yang menggunakan akal sehat dan menempuh jalan pikiran jernih
seperti Abdullah bin Salam dan sahabatnya.
***
“Jangan kalian berbuat kerusakan (mafsadat) di bumi” melalui kekufuran dan
tindakan menghalang-halangi orang lain untuk beriman kepada Rasulullah SAW dan
Al-Qur’an. ada ulama menafsirkan, “Jangan kalian berbuat kufur.” Pasalnya,
kufur merupakan tindakan paling mafsadat dalam agama. (Al-Baghowi)
“Al-fasad” adalah keluar sesuatu dari garis lurus. “As-shalah” adalah lawan
kata dari “al-fasad.” Kedua kata ini bersifat umum mencakup kandungan segala
bentuk mudharat dan maslahat. (Al-Baidhawi).
Menurut Imam Al-Baidhawi dalam tafsirnya, tindakan kerusakan kelompok munafik
adalah upaya mengobarkan perang dan fitnah dengan membuat tipu daya untuk umat
Islam dan berkomplot dengan orang kafir serta membuka rahasia umat Islam di
tengah mereka. Tindakan seperti ini membawa mafsadat di muka bumi bagi manusia,
hewan, dan tumbuhan.
Tindakan kerusakan lainnya adalah perbuatan maksiat secara terang-terangan dan tindakan penghinaan terhadap nilai-nilai agama. Pelanggaran dan keberpalingan dari ajaran agama melahirkan kekacauan dan huru-hara serta merusak tatanan dunia.
Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam Tafsirul Munir mengatakan bahwa larangan untuk
tidak berbuat kerusakan adalah larangan untuk berbuat sebab-sebab yang membawa
pada kerusakan dalam bentuk provokasi agar kekacauan terjadi, pembocoran
rahasia orang beriman Madinah kepada orang kafir Makkah, membuat propaganda
kepada orang kafir Makkah untuk menyerang orang mukmin Madinah, tindakan
menghalangi orang lain untuk mengikuti Nabi Muhammad SAW, dan tindakan kufur
serta upaya menghalangi orang lain dari jalan Allah.
***
“Kami hanya pembuat kebaikan (maslahat)” ini jawaban dusta kelompok munafik
sebagaimana “Kami beriman.” Padahal mereka berdusta. (Al-Baghowi).
Menurut Al-Baidhawi, “Kami hanya pembuat kebaikan (maslahat)” adalah kalimat penolakan atas orang yang memberinasihat mereka untuk berbuat kemaslahatan. Mereka seakan berkata, “Nasihat itu tidak seharusnya ditujukan kepada kami karena kami hanya berbuat kemaslahatan dan murni dari kemafsadatan.”
Mereka mengatakan demikian karena tindakan mafsadat itu terbayang sebagai
kemaslahatan di kepala mereka. Hal itu dapat terjadi karena adanya penyakit di
dalam hati mereka sebagai mana gambaran Surat Fathir ayat 8.
أَفَمَن
زُيِّنَ لَهُۥ سُوٓءُ عَمَلِهِۦ فَرَءَاهُ حَسَنًا
Artinya, “Apakah orang yang terpedaya (oleh setan) menganggap baik pekerjaannya
yang buruk, lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak
terpedaya oleh setan)?” (Surat Fathir ayat 8). (Al-Baidhawi).
Serupa dengan Al-Baidhawi, Al-Qurthubi dalam tafsirnya Al-Jami‘ li Ahkamil
Qur’an mengatakan bahwa orang-orang munafik menjawab demikian karena tindakan
mafsadat itu dalam sangkaan mereka adalah kemaslahatan.
Artinya, tindakan mereka yang berkomplot dengan orang-orang kafir Makkah dimaksudkan untuk kemaslahatan bagi orang kafir Makkah dan orang beriman Madinah sebagaimana pendapat Ibnu Abbas dan lainnya. (Al-Qurthubi).
Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsirul Qur’anil Azhim mengutip sahabat Ibnu Masud
dan sejumlah sahabat Rasulullah, mafsadat itu adalah kekufuran dan perbuatan
maksiat. Ia juga menukil At-Thabari yang mengutip Abul Aliyah yang menafsirkan
ayat ini, “Jangan kalian bermaksiat di bumi.”
Tindakan mafsadat orang munafik adalah kedurhakaan kepada Allah. Orang yang mendurhakai Allah atau mengajak orang lain untuk bermaksiat kepada Allah, maka sungguh ia telah berbuat kerusakan di bumi karena kemaslahatan bumi dan langit terwujud melalui ketaatan kepada Allah sebagaimana pendapat Rabi’ bin Anas dan Qatadah.
Ibnu Katsir juga mengutip Ibnu Juraij yang mengutip Mujahid, “Jika orang
munafik berbuat kemaksiatan” lalu dinasihati, mereka akan menjawab, “Kami
berjalan di atas petunjuk, berbuat kemaslahatan.” Waqi’, Isa bin Yunus, dan
‘Atstsam bin Ali mengutip pandangan Salman Al-Farisi terkait ayat ini, “Orang
(munafik) yang dimaksud dalam ayat ini tidak akan hadir lagi kelak.”
Menurut Ibnu Jarir, ucapan Salman Al-Farisi RA, “Tidak akan ada lagi orang yang berbuat mafsadat melebihi tindakan kerusakan orang munafik di zaman Rasulullah,” tidak menafikan orang di zaman lain yang juga memiliki sifat kemunafikan seperti yang ada di zaman Rasulullah.
Ibnu Jarir mengatakan, orang munafik berbuat kerusakan di bumi melalui
kedurhakaan mereka kepada Allah; tindakan pelanggaran yang dilarang kepada
mereka; penelantaran kewajiban; keraguan mereka pada kebenaran dan keyakinan
agama yang menjadi tumpuan penerimaan amal; penipuan mereka terhadap orang
beriman dengan pengakuan yang tidak sesuai dengan keraguan dan kesangsian pada
batin mereka; dan menolong mereka yang mengingkari Allah, kitab, dan para
rasul-Nya dalam memusuhi orang-orang beriman ketika mendapatkan kesempatan.
Itu semua bentuk tindakan kerusakan orang munafik di bumi. Tetapi dengan berbuat kerusakan itu, mereka merasa berbuat baik di bumi. (Ibnu Katsir). Wallahu a'lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar