Mughits adalah salah satu sahabat Nabi yang berstatus sebagai budak. Ia memiliki seorang istri yang bernama Barirah yang juga seorang budak. Suatu ketika, Barirah dimerdekakan oleh Sayyidah 'Aisyah, sehingga berubah status menjadi wanita yang merdeka.
Setelah merdeka, baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Barirah, lalu memberikan hak pilih kepada Barirah antara tetap menjadi istri Mughits atau berpisah dari suaminya yang masih berstatus budak. Hal itu, karena dalam syariat disebutkan bahwa seorang budak perempuan yang menjadi istri budak laki-laki kemudian merdeka, maka baginya khiyar (pilihan untuk tetap dengan suaminya atau berpisah).
Barirah lebih memilih berpisah dengan suaminya, dan itu merupakan hak bagi dia. Sampai-sampai Barirah berkata kepada nabi, “Walau Mughits memberiku sekian banyak harta, aku tidak mau menjadi istrinya lagi."
Begitulah, Barirah memang tidak mencintai Mughits. Saat diberikan pilihan oleh nabi, ia lebih memilih berpisah. Bukan karena Mughits tidak baik, juga bukan karena Barirah seorang yang berakhlak buruk, tapi itulah pilihan, untuk mencintai ataupun tidak.
Berbeda dengan Barirah, Mughits justru sangat mencintai Barirah. Bahkan setelah berpisah, Mughits terus membuntuti Barirah di jalan-jalan kota Madinah, sambil mengharap belas kasih dari Barirah.
Mendapati hal itu, Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada pamannya, yakni 'Abbas, “Wahai 'Abbas, tidakkah engkau heran betapa besar rasa cinta Mughits kepada Barirah, namun Barirah sedikit pun tidak mencintai Mughits".
Kemudian Baginda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa kasihan terhadap Mughits. Beliau memanggil Barirah, lalu berkata kepadanya, “Andai saja engkau mau kembali kepada Mughits?"
Nabi mengatakan hal itu karena merasa kasihan dengan Mughits, bukan karena ingin memerintah Barirah kembali ke Mughits.
Namun karena begitu takzimnya seorang Barirah kepada Nabi, ia memastikan dan bertanya kepada Nabi tentang maksud dari permintaan kembali ke Mughits. Ia mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahku?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku hanya ingin mengasihani Mughits."
Barirah mengatakan, “Aku sudah tidak lagi membutuhkannya."
(Cerita lengkapnya bisa di rujuk di kitab Fath al-Bari karya Ibnu Hajar al-'Asqalani).
Begitulah kehidupan, terkadang apa yang kita inginkan tidak selalu terwujud. Itu mengingatkan kita akan arti tawakal kepada Allah, dan mengingatkan kita tentang takdir Allah bahwa setiap yang dikehendaki Allah pastilah terjadi.
Karena itu pula, Imam Syafi'i—semoga Allah meridhainya—berkata:
مَا شِئْتَ كَانَ وإنْ لم أشَأْ ۞ وَمَا شِئْتُ إن لَمْ تَشأْ لَمْ يكنْ
"Segala apa yang telah engkau kehendaki—Ya Allah—pastilah terjadi walaupun aku tak menghendakinya, dan setiap yang kuinginkan, jika engkau tak menghendakinya terjadi, niscaya tidak akan pernah terjadi."
Seberapa besar pun usaha Mughits, jika Allah tidak menghendaki hati Barirah mencintainya, tentu ia tak akan mencintainya.
Cerita ini juga mengajarkan kita tentang betapa besarnya rasa hormat para sahabat kepada nabi. Bayangkan saja, seorang Barirah yang sama sekali tidak mencintai Mughits, ketika Nabi mengungkapkan rasa simpati akan Mughits kepadanya, Barirah masih memastikan apakah itu perintah atau bukan. Karena seandainya yang dimaksud Nabi adalah perintah, tentu Barirah tidak akan berani melanggarnya. Sebaliknya dia akan sabar untuk menjalankan perintah Nabi.
Jadi seandainya ada di antara kita yang dikecewakan karena cintanya tidak diterima oleh seseorang yang ia cintai, mungkin saja ia adalah Mughits masa kini.
Terkadang banyak orang yang menginginkan kita, namun tiada satu pun dari mereka yang kita inginkan. Sementara orang yang kita cintai, justru tidak mencintai kita.
Bukan karena ia tidak baik, juga bukan karena orang yang tidak mencintainya tidak baik, tapi itulah pilihan dan hak.
Jangan terlalu berharap, mungkin saja orang yang selalu ada dalam doamu, justru dia mendoakan orang lain.
Kemudian terlepas dari apa yang terjadi dalam rumah tangga Mughits dan Barirah, ketika kita sudah ditakdirkan bersama, ditakdirkan bersatu dalam ikatan pernikahan, maka itu ibarat sebuah tanaman yang indah. Jika kita ingin selalu melihat tanaman itu tetap hidup dan indah perlu dirawat, disiram dan diperhatikan sebagai usaha agar ia tetap memancarkan keindahan.
Demikian juga sebuah ikatan pernikahan hendaknya masing-masing pasangan senantiasa saling memupuk cinta, saling menjaga, saling mendukung dalam kebaikan sebagai ikhtiar agar terus bertahan sampai maut memisahkan dengan kehendak Allah.
Dan ingatlah bahwa apa yang dikehendaki oleh Allah untuk terjadi, pastilah terjadi. Jika tidak, pasti tidak terjadi. []
Yusuf Rosyadi, alumni Program Studi Magister di Global University Doha Lebanon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar