فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Fī qulūbihim maradhun fa zādahumullāhu maradhan, wa lahum ‘adzābun alīmun bi mā
kānū yakdzibūn.
Artinya, “Pada hati mereka terdapat penyakit, lalu Allah menambahkan penyakit
pada mereka. Untuk mereka siksa yang pedih sebab apa yang mereka dulu
dustakan.”
Ragam Tafsir
Al-Baghowi mengatakan dalam tafsirnya (Ma‘alimut Tanzil fit Tafsir wat Ta’wil
[Beirut, Darul Fikr: 2002 M/1422 H], juz I, halaman 26), “penyakit” yang
dimaksud adalah keraguan dan kemunafikan. Kata “maradh” pada asalnya adalah
kelemahan. Tidak heran kalau keraguan seseorang pada agamanya disebut “maradh”
karena keraguan melemahkan agamanya sebagaimana penyakit melemahkan kekuatan
fisiknya.
Menurut Al-Baidhawi, kata “maradh” pada hakikatnya adalah sesuatu yang
merintangi organ fisik manusia sehingga membelokkannya dari fungsinya dan
mencederai kerja organ.
Al-Baidhawi dalam tafsirnya, (Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], juz I, halaman 81) mengatakan bahwa penyakit di sini adalah majas atas penyakit moral yang mencederai kesempurnaan jiwa seperti kebodohan, keburukan aqidah, kedengkian, dendam, serta kesenangan pada maksiat. Semua itu dapat mencegah seseorang untuk meraih keutamaan atau dapat mengantarkan pada hilangnya kehidupan hakiki yang abadi.
Ayat-ayat mulia Al-Qur’an ini menguraikannya. Hati orang munafik merasakan
sakit terbakar atas kekuasaan yang luput dari mereka; dan kedengkian atas
kemantapan dan pengaruh kuat Nabi Muhammad SAW yang mereka saksikan hari demi
hari. (Al-Baidhawi: 82).
Penyakit pada hati mereka disebabkan oleh ketenangan dan kecintaan mereka
kepada dunia serta kelalaian dan keberpalingan mereka dari akhirat.
(Al-Qurthubi).
“Lalu Allah menambahkan penyakit pada mereka” karena Al-Qur’an ini turun
bertahap, satu ayat demi satu ayat. Ketika mereka mengingkari satu ayat, maka
kekufuran dan kemunafikan mereka semakin bertambah sebagaimana keterangan Surat
At-Taubah ayat 125. (Al-Baghowi: 26).
Allah menambahkan kebimbangan orang munafik karena bertambahnya pengaruh dan
sanjungan kepada Nabi Muhammad SAW; dan menyifatkan diri mereka dengan
kekufuran, keburukan aqidah, sikap permusuhan kepada Nabi Muhammad SAW, dan
penyifatan lainnya. allah menambah penyakit pada hati mereka melalui penambahan
beban, pengulangan wahyu, dan pertolongan Allah yang berlipat ganda.
(Al-Baidhawi).
Yang dimaksud “penyakit”, kata Al-Baidhawi, bisa jadi adalah ketakutan dan
penurunan semangat di dalam hati mereka ketika menyaksikan kekuatan umat Islam
dan bantuan Allah melalui penguatan barisan umat Islam dengan malaikat. Allah
menaruh rasa takut di hati mereka dan menambahkan kelemahan mereka dengan
pertolongan untuk Nabi Muhammad SAW dalam mengatasi para musuh serta perluasan
wilayah kekuasaannya.
Mereka akan menerima siksa yang sangat pedih sehingga sakitnya menembus ke ulu
hati karena pengingkaran mereka kepada Allah dan rasul-Nya secara sirr.
(Al-Baghowi). Kata “dusta” berarti sebuah kabar tentang sesuatu yang berbeda
dari sebenarnya. Dusta atau bohong diharamkan karena menjadi alasan keharusan
mendapa siksa sebagai konsekuensi hukumnya. Adapun dusta pada riwayat hadits
“Nabi Ibrahim melakukan tiga kali dusta” bermakna sindiran. (Al-Baidhawi).
Allah menyerahkan mereka kepada diri mereka sendiri dan menggenapkan
kebimbangan dunia sehingga tidak tersisa ruang kosong untuk perhatian pada
agama. Mereka akan mendapatkan siksa yang pedih dengan sesuatu (kebaikan) yang
fana daripada yang kekal. Menurut Al-Junaid Al-Baghdadi, penyakit hati berasal
dari penurutan pada hawa nafsu sebagaimana penyakit pada organ tubuh yang
berasal dari penyakit badan. (Al-Qurthubi).
Al-Qurthubi dalam tafsirnya, Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, menyebutkan empat
ragam pandangan ulama perihal alasan penahanan diri Nabi Muhammad dari
pembunuhan terhadap orang munafiq. Pertama, Rasulullah SAW tidak membunuh orang
kafir munafik karena hanya Rasulullah sendiri yang mengetahui kondisi mereka.
Kedua, pendapat sebagian murid Imam As-Syafi’i bahwa Rasulullah SAW tidak
membunuh mereka karena kelompok zindik yang menyembunyikan kekufuran dan menyatakan
keimanan cukup dimintakan tobat dan tidak dibunuh. Pandangan ini dibantah oleh
sebagian ulama karena Rasulullah sendiri tidak melakukannya.
Ketiga, Rasulullah tidak membunuh mereka demi kemaslahatan untuk melunakkan
hati mereka agar tidak menjauh. Hal ini ditunjukkan oleh sabdanya kepada
Sayyidina Umar, “Aku berlindung kepada Allah dari pembicaraan orang bahwa aku
membunuh sahabatku (kelompok munafik Madinah) sendiri,” (HR Bukhari dan
Muslim). Ini pandangan mazhab Maliki dan mazhab lainnya.
Keempat, Allah telah para sahabatnya yang beriman dari kemungkinan mafsadat
yang dapat ditimbulkan orang kafir-munafik sehingga keberlangsungan keberadaan
mereka tidak menimbulkan mudharat. Tetapi kondisinya berbeda dengan hari ini di
mana kita tidak memiliki rasa aman dari kerusakan yang dibuat oleh orang
kafir-munafik terhadap kalangan awam dan bodoh umat Islam. (Al-Qurthubi).
Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar