Bangsa Indonesia berkonsensus atau bersepakat terhadap dasar negara dan ideologi pemersatu bernama Pancasila. Dalam perjalanannya, Indonesia dengan Pancasilanya bukan tanpa hambatan, bahkan menghadapi pemberontakan dari kelompok-kelompok pengusung ideologi transnasional yang berupaya mengganti Pancasila. Di tengah rongrongan tersebut, NU dan kiai-kiai pesantren senantiasa berada di garda terdepan sehingga Pancasila tetap sakti.
Setiap tanggal 1 Oktober bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian
Pancasila. Momen ini berangkat dari tragedi Gerakan 30 September (G30S) dan
sebelumnya disambung dengan sejumlah rentetan pemberontakan yang dilakukan oleh
kelompok komunis dan kelompok Islam konservatif yang berupaya merongrong dasar
negara Pancasila.
Proses merumuskan Pancasila ini bukan tanpa silang pendapat, bahkan perdebatan
yang sengkarut terjadi ketika kelompok Islam tertentu ingin memperjelas
identitas keislamannya di dalam Pancasila. Padahal, sila Ketuhanan Yang Maha
Esa yang dirumuskan secara mendalam dan penuh makna oleh KH Wahid Hasyim
merupakan prinsip tauhid dalam Islam.
Tetapi, kelompok-kelompok Islam dimaksud menilai bahwa kalimat Ketuhanan Yang
Maha Esa tidak jelas sehingga perlu diperjelas sesuai prinsip Islam. Akhirnya,
Soekarno bersama tim sembilan yang bertugas merumuskan Pancasila pada 1 Juni
1945 mempersilakan kelompok-kelompok Islam tersebut untuk merumuskan mengenai
sila Ketuhanan.
Setelah beberapa hari, pada tanggal 22 Juni 1945 dihasilkan rumusan sila
Ketuhanan yang berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya”. Kalimat itu dikenal sebagai rumusan Piagam Jakarta.
Rumusan tersebut kemudian diberikan kepada tim sembilan. Tentu saja bunyi
tersebut tidak bisa diterima oleh orang-orang Indonesia yang berasal dari
keyakinan yang berbeda.
Poin agama menjadi simpul atau garis besar yang diambil Soekarno yang akhirnya
menyerahkan keputusan tersebut kepada Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari untuk
menilai dan mencermati apakah Pancasila 1 Juni 1945 sudah sesuai dengan syariat
dan nilai-nilai ajaran Islam atau belum.
Saat itu, rombongan yang membawa pesan Soekarno tersebut dipimpin langsung oleh
KH Wahid Hasyim yang menjadi salah seorang anggota tim sembilan perumus
Pancasila. Mereka menuju Jombang untuk menemui KH Hasyim Asy’ari. Sesampainya
di Jombang, Kiai Wahid yang tidak lain adalah anak Kiai Hasyim sendiri
melontarkan maksud kedatangan rombongan.
Setelah mendengar maksud kedatangan rombongan, Kiai Hasyim Asy’ari tidak langsung memberikan keputusan. Prinspinya, Kiai Hasyim Asy’ari memahami bahwa kemerdekaan adalah kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia, sedangkan perpecahan merupakan kerusakan (mafsadah) sehingga dasar negara harus berprinsip menyatukan semua.
Untuk memutuskan bahwa Pancasila sudah sesuai syariat Islam atau belum, Kiai
Hasyim Asy’ari melakukan tirakat. Di antara tirakat Kiai Hasyim ialah puasa
tiga hari. Selama puasa tersebut, beliau meng-khatam-kan Al-Qur’an dan membaca
Al-Fatihah. Setiap membaca Al-Fatihah dan sampai pada ayat iya kana’ budu waiya
kanasta’in, Kiai Hasyim mengulangnya hingga 350.000 kali. Kemudian, setelah
puasa tiga hari, Kiai Hasyim Asy’ari melakukan shalat istikharah dua rakaat.
Rakaat pertama beliau membaca Surat At-Taubah sebanyak 41 kali, sedangkan
rakaat kedua membaca Surat Al-Kahfi juga sebanyak 41 kali. Kemudian beliau
istirahat tidur. Sebelum tidur Kiai Hasyim Asy’ari membaca ayat terakhir dari
Surat Al-Kahfi sebanyak 11 kali. (Sumber: KH Ahmad Muwafiq)
Paginya, Kiai Hasyim Asy’ari memanggil anaknya Wahid Hasyim dengan mengatakan
bahwa Pancasila sudah betul secara syar’i sehingga apa yang tertulis dalam
Piagam Jakarta (Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya) perlu dihapus karena Ketuhanan Yang Maha Esa adalah prinsip
ketauhidan dalam Islam.
Peristiwa peneguhan Pancasila juga dilakukan oleh para kiai pada rentang tahun
1957-1959. Saat itu, Majelis Konstituante sedang membahas rancangan dasar
negara. PKI masuk dalam faksi Pancasila. Namun, dasar negara Pancasila yang PKI
perjuangkan hanya kamuflase politik karena yang diperjuangkan justru
materialisme historis yang ateis.
Pendiri NU Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari pada tahun 1947 mengingatkan bahaya
ajaran materialisme historis yang ateis itu bagi bangsa Indonesia. Karena
konsep yang sedang dikembangkan secara gencar oleh PKI yaitu menyerukan
pengingkaran terhadap agama dan pengingkaran terhadap adanya akhirat. (Lihat Naskah
Khotbah Iftitah KH Hasyim Asy’ari pada Muktamar ke-14 NU di Madiun tahun 1947)
Terkait strategi dalam menghadapi PKI itu ditegaskan kembali oleh KH Saifuddin
Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013: 502) dalam sebuah
tulisannya yang menyatakan bahwa: “Dengan dalil agama sebagai unsur mutlak
dalam nation building, maka kita dapat menyingkirkan kiprah PKI di mana-mana.
Bahkan kita bisa menumpas segala bentuk ateisme, baik ateisme yang melahirkan
komunisme maupun ateisme yang melahirkan kapitalisme, liberalisme, atau
fasisme. Setiap ideologi yang berbahaya tidak hanya bisa dilawan dengan
kekerasan dan senjata, tetapi juga harus dihadapi dengan kesadaran beragama.”
Baik dengan kelompok komunis maupun Islam garis keras di dalam DI/TII, para
kiai tidak hanya perang gagasan dan ideologi, tetapi juga hingga berkorban
fisik. Tidak sedikit kalangan pesantren yang menjadi korban atas keganasan PKI
dan DI/TII sebab mempertahankan Pancasila.
Warisan pendiri bangsa untuk terus meneguhkan Pancasila terus dilakukan oleh
NU. Pada Munas Alim Ulama pada 1983 dan Muktamar ke-27 NU di Pesantren
Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, para kiai menerima
Pancasila sebagai asas tunggal organisasi. Sikap tersebut belum dilakukan oleh
organisasi Islam mana pun di Indonesia. Para kiai dikomandoi oleh KH Ahmad
Shiddiq juga merumuskan hubungan Islam dengan Pancasila serta menjelaskan
asas-asasnya secara gamblang dari perspektif syariat Islam.
Sebagai salah satu tokoh arsitek Khittah NU 1926 dan juga berperan penting
dalam ikut merumuskan fondasi hubungan Islam dan Pancasila, KH Achmad Siddiq
Jember menyampaikan sebuah pidato usai terpilih sebagai Rais Aam PBNU dalam
Muktamar NU tahun 1984 tersebut. Berikut salah satu cuplikan pidato Kiai Achmad
Siddiq yang begitu berkesan bagi umat Islam Indonesia, khususnya Nahdliyin:
“Dengan demikian, Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nation
(bangsa), teristimewa kaum muslimin, untuk mendirikan negara (kesatuan) di
wilayah Nusantara. Para Ulama dalam NU meyakini bahwa penerimaan Pancasila ini
dimaksudkan sebagai perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan
sosial.” (KH Husein Muhammad, Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, 2015)
Ada tiga poin penting dalam pernyataan Kiai Achmad Siddiq tersebut. Pertama,
negara bangsa (nation state). Penerimaan para kiai yang mumpuni dalam ilmu
agama dan mempunyai jiwa nasionalisme tinggi terhadap bentuk negara bangsa
mempertegas bahwa Indonesia dengan mayoritas beragama Islam bukanlah negara
agama, tetapi negara bangsa yang memegang teguh nilai-nilai agama berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, sila pertama dalam Pancasila.
Kedua, negara kesatuan di wilayah Nusantara atau dengan istilah lain Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kalangan pesantren, santri dan kiai berkomitmen
tinggi dalam menjaga keutuhan NKRI ini. Sebab Indonesia didirikan di atas
pondasi keberagaman atau kemajemukan bangsa yang terbentang di 17.504 pulau,
serta mempunyai 1.340 suku, dan 546 bahasa daerah.
Spirit memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia menjadi fondasi kokoh bagi
para ulama untuk terus menjaga dan merawat perjuangan dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasar Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika,
dan UUD 1945. Cinta terhadap tanah air Indonesia bukan semata cinta buta,
tetapi cinta yang dilandasi agama. Bahkan, Fatwa Resolusi Jihad KH Hasyim
Asy’ari pada 22 Oktober 1945 menyatakan dengan tegas bahwa membela Tanah Air
merupakan kewajiban agama.
Dalam menjaga NKRI tersebut, NU sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi
sosial keagamaan) seperti dipertegas Kiai Achmad Siddiq di atas, bukan ’penjaga
biasa’, melainkan memperkuat dan merajut berbagai elemen bangsa untuk menyadari
bahwa cinta tanah air merupakan salah satu upaya aktualisasi nyata keimanan
seseorang. Sehingga cinta tanah air berlaku untuk seluruh kaum beragama di
Indonesia. Ini dicetuskan langsung oleh pendiri NU KH Hasyim Asy’ari yang
menyatakan, hubbul wathon minal iman (cinta tanah air adalah sebagian dari
iman).
Ketiga, penerimaan Pancasila oleh NU untuk mencapai kemakmuran dan keadilan
sosial. Ada dua catatan sejarah penting dalam Muktamar NU 1984 di Situbondo,
ialah NU kembali ke Khittah 1926 dan penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal
organisasi. Penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal ini pertama kali
dilakukan oleh NU. Bukan semata menyukseskan program rezim Orde Baru, tetapi
lebih kepada misi bahwa Pancasila sebagai konsensus kebangsaan perlu dipertegas
menjadi pondasi kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mencapai
kemakmuran dan keadilan sosial seperti yang dimaksud Kiai Achmad Siddiq.
Ada pemadangan menarik ketika momen Muktamar NU 1989 di Krapyak, Yogyakarta,
lima tahun setelah NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal dengan merinci
hubungan Pancasila dengan Islam. Kiai Achmad Siddiq sebagai Rais Aam PBNU
berhasil memukau kerumunan masa berjam-jam untuk ndeprok (duduk) di tanah di
bawah terik matahari. Masyarakat ingin mendengarkan penjelasan Kiai Achmad
Siddiq bahwa Pancasila itu sejiwa dengan Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah).
Penjelasan Kiai Achmad Siddiq tersebut juga mendapat perhatian dari Cendekiawan
Muslim, Prof Dawam Rahardjo saat itu: “Cara dia membahas dan memecahkan
hubungan antara Pancasila dan Ialam tidak saja sistematis, tetapi juga logis
tanpa nada apologi. Keterangannya itu bisa dimengerti oleh Pemerintah karena
menggunakan terminologi politik modern. Tetapi rakyat juga bisa memahami dan
juga menerima argumentasinya karena didasarkan pada metodologi pembahasan fiqih
yang dikenal masyarakat,” tutur Dawan Rahardjo yang mengagumi kapasitas
intelektual dan kenegarawanan Kiai Achmad Siddiq.
[]
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar