Haji memiliki ragam hukum syar’i tergantung kondisi orang per orang. Hukum haji terkadang menjadi fardhu ain, fardhu kifayah, dan adakalanya sukarela (tathawwu). Tetapi yang pasti haji hanya wajib seumur hidup sekali bagi yang mampu dan memenuhi syarat yang diatur dalam hukum fiqih.
Syekh M Nawawi Al-Bantani dalam karyanya menyebutkan bahwa haji wajib sekali
seumur hidup. Kalaupun lebih dari sekali, maka itu haji nazar, haji qadha, dan
haji fardhu kifayah mensyiarkan Ka’bah pada setiap tahunnya.
ولا
يجب النسك بأصل الشرع إلا مرة واحدة في العمر وقد يجب أكثر منها لعارض كنذر وقضاء
عند إفساد التطوع وإحياء الكعبة كل عام بالحج
Artinya, “Tidak wajib pelaksanaan ibadah manasik (haji) berdasarkan asal
syariat kecuali sekali seumur hidup. Tetapi haji menjadi wajib lebih dari
sekali karena ada sebab baru, yaitu nazar, qadha ketika merusak haji sunnah,
dan mensyiarkan ka’bah setiap tahun dengan ibadah haji,” (Syekh M Nawawi
Al-Bantani, Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi’in, [Beirut, Darul Kutub
Al-Ilmiyyyah: 2002 M/1422 H], halaman 197).
Syekh M Khatib As-Syarbini mendasarkan pandangan kewajiban haji dan juga umrah
seumur hidup sekali pada hadits fi’li dan qauli. Hadits fi’li meriwayatkan
bahwa Rasulullah saw hanya melaksanakan haji sekali seumur hidupnya.
Adapun hadits qauli meriwayatkan tanya dan jawab sahabat dan Rasulullah saw
terkait kewajiban ibadah haji yang dilaksanakan per tahun atau cukup sekali
seumur hidup.
لأنه
صلى الله عليه وسلم لم يحج بعد فرض الحج إلا مرة واحدة، وهي حجة الوداع ولخبر مسلم
أحجنا هذا لعامنا أم للأبد؟ قال لا بل للأبد
Artinya, “Karena Rasulullah saw tidak berhaji setelah datang kewajiban haji
kecuali sekali, yaitu haji wada; dan karena hadits riwayat Muslim, ‘Apakah haji
kita untuk tahun ini atau untuk selamanya?’ sahabat bertanya. ‘Tidak (untuk
tahun ini), tetapi selamanya,’ jawab Rasul,” (As-Syarbini, Mughnil Muhtaj ila
Ma’rifati Ma’ani Alfazhil Minhaj, [Beirut, Darul Ma’rifah: 1997 M/1418 H], juz
I, halaman 673).
Dalam karya yang sama, As-Syarbini menjelaskan ragam hukum ibadah haji tergantung
pada kondisi masing-masing orang. Hukum haji pada sebagian orang bisa jadi
fardhu ‘ain, fardhu kifayah, dan tathawwu (sukarela).
فائدة:
النسك إما فرض عين، وهو على من لم يحج بالشروط الآتية. وإما فرض كفاية، وهو إحياء
الكعبة كل سنة بالحج والعمرة. وإما تطوع، ولا يتصور إلا في الأرقاء والصبيان، إذ
فرض الكفاية لا يتوجه إليهم لكن لو تطوع منهم من يحصل به الكفاية سقط الفرض عن
المخاطبين كما بحثه بعض المتأخرين قياسا على الجهاد وصلاة الجنازة
Artinya, “Informasi, hukum manasik haji adakalanya fardhu ain, yaitu bagi orang
yang belum pernah melaksanakannya dengan syarat-syarat yang akan datang;
adakalanya fardhu kifayah, yaitu mensyiarkan Ka’bah setiap tahun dengan
aktivitas haji dan umrah; adakalanya sukarela (tathawwu) yang hanya dapat
dibayangkan pada budak dan anak-anak karena fardhu kifayah tidak mengenai
mereka. Tetapi ketika salah satu dari mereka ini mengerjakan haji dan umrah
secara memadai, maka gugur kewajiban fardhu kifayah orang-orang yang terkena
khithab wajib sebagaimana dibahas ulama muta’akhirin dengan mengqiyas pada
kasus jihad dan shalat jenazah,” (As-Syarbini, 1997 M/1418 H: I/673).
Hal yang sama juga berlaku pada umrah wajib. Pelaksanaan umrah wajib dituntut
untuk dilaksanakan sekali saja seumur hidup sebagaimana keterangan Imam
An-Nawawi berikut ini:
العمرة
فرض على المستطيع كالحج هذا هو المذهب الصحيح من قول الشافعي رحمه الله تعالى وهو
نصه في كتبه الجديدة ولا تجب العمرة إلا مرة واحدة كالحج
Artinya, “Ibadah umrah merupakan wajib bagi mereka yang mampu seperti ibadah
haji. Demikian mazhab shahih dari pandangan Imam As-Syafi’i ra yang tercatat
pada kitab terbarunya. Umrah tidak wajib kecuali sekali (seumur hidup) seperti
haji,” (Imam An-Nawawi, Al-Idhah fi Manasikil Haji pada Hasyiyah Ibni Hajar
alal Idhah, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], halaman 188-190).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa haji memilik beragam hukum:
1. Fardhu ‘ain, yaitu kewajiban individu sekali seumur hidup bagi orang yang
belum pernah berhaji dan telah memenuhi syarat wajib haji; atau mengqadha haji
yang rusak sebelumnya.
2. Fardhu kifayah, yaitu kewajiban kolektif setiap tahun yang gugur bila mana
ada sebagian orang mensyiarkan Ka’bah dengan ibadah haji dan umrah.
3. Tathawwu, yaitu aktivitas ibadah haji dan umrah yang dilakukan secara
sukarela terutama bagi orang dengan status budak (yang sudah tidak ada di zaman
kini) dan anak-anak. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar