Setelah pembahasan childfree khususnya tentang hukum asal dan sebagian teknisnya, tulisan kali ini penulis fokuskan pada pembahasan motif-motif yang melatarbelakangi suami istri memilih childfree dalam pernikahannya.
Beragam motif melatarbelakangi suami istri memilih childfree dalam
pernikahannya. Di antaranya karena alasan finansial atau khawatir akan menjadi
repot hidupnya bila punya anak, khawatir akan menyengsarakan anak di masa
depannya, khawatir masalah kesehatan atau kelainan genetik, alasan aktifitas
seksual dapat berkurang, alasan masih banyak anak-anak terlantar atau kurang
beruntung yang dapat diadopsi, dirawat atau disantuni, overpopulation atau
semakin meledaknya penduduk bumi, dan selainnya. Lalu bagaimana hukumnya
menurut kajian fiqih Islam?
Masih merujuk pembacaan penulis terhadap ijtihad Imam Al-Ghazali yang sampai
pada kesimpulan hukum asal childfree adalah boleh atau sekadar tarkul afdhal,
meninggalkan keutamaan, bila dilihat dari motifnya, hukum childfree akan
berbeda-beda. Bila motifnya baik dan dapat diterima secara fiqih Islam maka
boleh, bila tidak maka tidak boleh.
Kasus ini identik dengan penjelasan Al-Ghazali yang berkemungkinan diprotes
atas rumusan hukumnya, yang membolehkan penolakan wujudnya anak sebelum
potensial wujud, yaitu sebelum sperma lelaki masuk ke dalam rahim
perempuan.
Al-Ghazali mengandaikan, “Bila ada yang protes, ‘Bila ‘azl atau menumpahkan
sperma di luar vagina istri saat bersetubuh hukumnya tidak makruh dari sisi
menolak wujudnya anak, maka bisa saja makruh karena niat atau motif buruk yang
menyebabkan orang memilih menolak anak. Sebab penolakan terhadap wujudnya anak
tidak akan muncul kecuali dari niat yang rusak (menurut agama) yang mengandung
unsur-unsur syirik khafi (syirik yang samar).”
Menjawab protes seperti itu, Al-Ghazali secara detail menjelaskan, niat atau
motif orang menolak wujudnya anak ada lima, dan tidak semuanya niat yang haram.
Berikut penulis kutipkan secara substansial penjelasan Al-Ghazali dalam
kitabnya, Ihyâ ‘Ulûmuddîn.
Pertama, motif finansial seperti dalam konteks masih berlaku perbudakan manusia
tempo dahulu, sehingga seorang lelaki membiarkan budak perempuannya hanya
disetubuhinya dengan cara ‘azl sehingga tidak punya anak, agar dengan kondisi
seperti ini lelaki pemiliknya tetap dapat menjadikan budak perempuan itu
sebagai hartanya. Motif finansial seperti ini hukumnya boleh dan tidak
terlarang.
Kedua, motif seksual dan keselamatan hidup, yaitu untuk menjaga kecantikan
istri dan kualitas bodinya agar lebih awet dan tetap menarik diajak aktifitas
seks, serta menjaganya agar tetap hidup karena khawatir mati bila melahirkan
anak. Motif seperti ini tidak dilarang.
Ketiga, motif finansial atau ekonomi, di mana orang khawatir bila punya anak
akan merepotkan hidupnya, harus bekerja lebih keras, dan terjerumus dalam
pekerjaan-pekerjaan haram. Motif seperti ini juga tidak dilarang. Sebab semakin
orang tidak repot, semakin mudah pula ia menjalankan agama. Meskipun berkaitan
dengan motif ini perlu diakui, pilihan yang lebih utama adalah tetap menikah
dan bertawakal kepada Allah swt seiring firman-Nya:
وَمَا
مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ
مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا، كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Artinya, “Tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya
dijamin oleh Allah rezekinya, Dia mengetahui tempat berdiam semua makhuk di
dunia dan tempat menetapnya setelah kematian atau saat masih dalam rahim. Semua
telah tertulis dalam kitab yang nyata (lauhil mahfûdh).” (Surat Hud ayat 6).
(Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsîrul Jalâlain dicetak
bersama Hâsyiyyatus Shâwi ‘alâ Tafsîril Jalâlain, [Beirut, Darul Fikr: 1424
H/2004 M], editor: Shidqi Muhammad Jamil, juz II, halaman 259).
Namun demikian, orang tidak berdosa dengan meninggalkan keutamaan menikah dan
punya anak dengan bertawakkal seperti ini, dan justru memilih tidak punya anak
atau chidfree. Mempertimbangkan akibat-akibat kerepotan hidup di masa depan
karena punya anak meskipun sebenarnya bertentangan dengan sikap tawakkal, namun
menurut Al-Ghazali tidak dapat dinilai sebagai pilihan hidup yang dilarang
agama.
Keempat, motif keyakinan yang keliru, yaitu orang memilih tidak punya anak
karena khawatir anak yang dilahirkan adalah anak perempuan, sementara ia
berkeyakinan bahwa menikahkan anak perempuan merupakan aib sebagaimana
keyakinan orang Arab jahiliyah tempo dulu yang sampai membunuh anak-anak
perempuan mereka. Inilah motif yang rusak dan tidak dibolehkan agama. Bahkan
andaikan karena keyakinan seperti ini kemudian orang memilih tidak menikah atau
tidak bersetubuh dengan istrinya setelah pernikahan, maka ia berdosa. Dosanya
bukan karena (1) ia tidak menikah, (2) tidak bersetubuh dengan istrinya setelah
pernikahan, atau (3) karena memilih ‘azl atau menumpahkan sperma di luar
vagina saat bersetubuh, akan tetapi berdosa karena keyakinannya yang salah atas
sunnah Nabi saw (memiliki anak). Dosanya seperti dosa perempuan yang enggan menikah
karena sombong nanti akan ‘dihegemoni’ oleh lelaki yang menjadi suaminya.
Kelima, motif perempuan menolak wujudnya anak karena terlalu higenis, terlalu
ketat menjaga kebersihan diri, tidak mau melahirkan, tidak mau nifas dan tidak
mau menyusui bayi, seperti tradisi perempuan-perempuan sekte Khawarij yang
selalu berlebihan dalam menggunakan air untuk membersihkan diri. Bahkan mereka
sampai-sampai mengqadha shalat yang ditinggalkannya saat haid dan tidak masuk
ke kamar mandi kecuali secara telanjang. Motif seperti ini juga merupakan motif
yang buruk dan rusak menurut agama. Namun demikian, berkaitan motif seperi ini,
yang rusak adalah motifnya, bukan sikapnya menolak wujudnya anak.
Demikian terang al-Ghazali dalam Ihyâ’. (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn,
[Beirut, Dârul Ma’rifah], juz II, halaman 52).
Dari detail penjelasan Al-Ghazali tersebut hukum childfree dilihat dari sisi motifnya tentu beragam.
Bila motif childfree karena alasan (1) finansial atau khawatir akan menjadi
repot hidupnya, (2) khawatir menggangu karir atau memprioritaskan karir, (3)
khawatir justru akan menyengsarakan anak di masa depannya, (4) khawatir masalah
kesehatan atau kelainan genetik, (5) alasan aktifitas seksual dapat berkurang,
(6) alasan sosial yaitu masih banyaknya anak-anak terlantar atau kurang
beruntung yang dapat diadopsi, dirawat atau disantuni daripada punya anak lagi,
(7) overpopulation atau semakin meledaknya penduduk bumi berbanding terbalik
dengan kondisinya yang semakin rusak, dan semisalnya, hemat penulis belum cukup
menjadi alasan untuk mengharamkannya. Demikian pula (8) motif orang merasa
dirinya lebih dapat berkontribusi positif dalam kehidupan bila tidak punya anak
daripada punya anak, dan semisalnya. Sebab motif-motif seperti itu dapat
diterima secara fiqih Islam.
Lain halnya bila motifnya adalah karena keyakinan-keyakinan yang keliru tentang
wujudnya anak, seperti (1) memandang rendah anak perempuan, (2) antinatalism
yaitu keyakinan bahwa melahirkan manusia-manusia baru ke dunia merpakan sikap
tak bermoral yang dilakukan turun-temurun, (3) mengikuti keyakinan sesat
yang menolak memiliki anak, dan semisalnya, maka menurut penulis motif-motif
seperti inilah yang membuat childfree menjadi haram. Haram karena motifnya
bukan haram karena menolak wujudnya anak.
Pun demikian, hemat penulis bagaimanapun secara mendasar menurut fiqih Islam
yang lebih utama adalah tetap memilih punya anak dan berketurunan, bukan
memilih childfree. Wallâhu a’lam.
Menarik lagi bila isu ini dapat dikaji secara lebih luas dalam forum-forum
ilmiah yang lebih representif, seperti bahtsul masail Forum Musyawarah Pondok
Pesantren Se Jawa Madura (FMPP), bahtsul masail di tingkat Pengurus Wilayah
Nahdlatul Ulama (PWNU), atau bahtsul masail di level Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU). Semoga. []
Ahmad Muntaha AM-Redaktur Keislaman NU Online dan Founder Aswaja Muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar