Rabu, 13 Juli 2022

(Ngaji of the Day) Motif Childfree yang Boleh dan yang Haram dalam Kajian Fiqih Islam

Setelah pembahasan childfree khususnya tentang hukum asal dan sebagian teknisnya, tulisan kali ini penulis fokuskan pada pembahasan motif-motif yang melatarbelakangi suami istri memilih childfree dalam pernikahannya. 


Beragam motif melatarbelakangi suami istri memilih childfree dalam pernikahannya. Di antaranya karena alasan finansial atau khawatir akan menjadi repot hidupnya bila punya anak, khawatir akan menyengsarakan anak di masa depannya, khawatir masalah kesehatan atau kelainan genetik, alasan aktifitas seksual dapat berkurang, alasan masih banyak anak-anak terlantar atau kurang beruntung yang dapat diadopsi, dirawat atau disantuni, overpopulation atau semakin meledaknya penduduk bumi, dan selainnya. Lalu bagaimana hukumnya menurut kajian fiqih Islam?


Masih merujuk pembacaan penulis terhadap ijtihad Imam Al-Ghazali yang sampai pada kesimpulan hukum asal childfree adalah boleh atau sekadar tarkul afdhal, meninggalkan keutamaan, bila dilihat dari motifnya, hukum childfree akan berbeda-beda. Bila motifnya baik dan dapat diterima secara fiqih Islam maka boleh, bila tidak maka tidak boleh. 


Kasus ini identik dengan penjelasan Al-Ghazali yang berkemungkinan diprotes atas rumusan hukumnya, yang membolehkan penolakan wujudnya anak sebelum potensial wujud, yaitu sebelum sperma lelaki masuk ke dalam rahim perempuan. 


Al-Ghazali mengandaikan, “Bila ada yang protes, ‘Bila ‘azl atau menumpahkan sperma di luar vagina istri saat bersetubuh hukumnya tidak makruh dari sisi menolak wujudnya anak, maka bisa saja makruh karena niat atau motif buruk yang menyebabkan orang memilih menolak anak. Sebab penolakan terhadap wujudnya anak tidak akan muncul kecuali dari niat yang rusak (menurut agama) yang mengandung unsur-unsur syirik khafi (syirik yang samar).”


Menjawab protes seperti itu, Al-Ghazali secara detail menjelaskan, niat atau motif orang menolak wujudnya anak ada lima, dan tidak semuanya niat yang haram. Berikut penulis kutipkan secara substansial penjelasan Al-Ghazali dalam kitabnya, Ihyâ ‘Ulûmuddîn.


Pertama, motif finansial seperti dalam konteks masih berlaku perbudakan manusia tempo dahulu, sehingga seorang lelaki membiarkan budak perempuannya hanya disetubuhinya dengan cara ‘azl sehingga tidak punya anak, agar dengan kondisi seperti ini lelaki pemiliknya tetap dapat menjadikan budak perempuan itu sebagai hartanya. Motif finansial seperti ini hukumnya boleh dan tidak terlarang. 


Kedua, motif seksual dan keselamatan hidup, yaitu untuk menjaga kecantikan istri dan kualitas bodinya agar lebih awet dan tetap menarik diajak aktifitas seks, serta menjaganya agar tetap hidup karena khawatir mati bila melahirkan anak. Motif seperti ini tidak dilarang.


Ketiga, motif finansial atau ekonomi, di mana orang khawatir bila punya anak akan merepotkan hidupnya, harus bekerja lebih keras, dan terjerumus dalam pekerjaan-pekerjaan haram. Motif seperti ini juga tidak dilarang. Sebab semakin orang tidak repot, semakin mudah pula ia menjalankan agama. Meskipun berkaitan dengan motif ini perlu diakui, pilihan yang lebih utama adalah tetap menikah dan bertawakal kepada Allah swt seiring firman-Nya:


وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا، كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ


Artinya, “Tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin oleh Allah rezekinya, Dia mengetahui tempat berdiam semua makhuk di dunia dan tempat menetapnya setelah kematian atau saat masih dalam rahim. Semua telah tertulis dalam kitab yang nyata (lauhil mahfûdh).” (Surat Hud ayat 6). (Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsîrul Jalâlain dicetak bersama Hâsyiyyatus Shâwi ‘alâ Tafsîril Jalâlain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], editor: Shidqi Muhammad Jamil, juz II, halaman 259).


Namun demikian, orang tidak berdosa dengan meninggalkan keutamaan menikah dan punya anak dengan bertawakkal seperti ini, dan justru memilih tidak punya anak atau chidfree. Mempertimbangkan akibat-akibat kerepotan hidup di masa depan karena punya anak meskipun sebenarnya bertentangan dengan sikap tawakkal, namun menurut Al-Ghazali tidak dapat dinilai sebagai pilihan hidup yang dilarang agama. 


Keempat, motif keyakinan yang keliru, yaitu orang memilih tidak punya anak karena khawatir anak yang dilahirkan adalah anak perempuan, sementara ia berkeyakinan bahwa menikahkan anak perempuan merupakan aib sebagaimana keyakinan orang Arab jahiliyah tempo dulu yang sampai membunuh anak-anak perempuan mereka. Inilah motif yang rusak dan tidak dibolehkan agama. Bahkan andaikan karena keyakinan seperti ini kemudian orang memilih tidak menikah atau tidak bersetubuh dengan istrinya setelah pernikahan, maka ia berdosa. Dosanya bukan karena (1) ia tidak menikah, (2) tidak bersetubuh dengan istrinya setelah pernikahan, atau  (3) karena memilih ‘azl atau menumpahkan sperma di luar vagina saat bersetubuh, akan tetapi berdosa karena keyakinannya yang salah atas sunnah Nabi saw (memiliki anak). Dosanya seperti dosa perempuan yang enggan menikah karena sombong nanti akan ‘dihegemoni’ oleh lelaki yang menjadi suaminya. 


Kelima, motif perempuan menolak wujudnya anak karena terlalu higenis, terlalu ketat menjaga kebersihan diri, tidak mau melahirkan, tidak mau nifas dan tidak mau menyusui bayi, seperti tradisi perempuan-perempuan sekte Khawarij yang selalu berlebihan dalam menggunakan air untuk membersihkan diri. Bahkan mereka sampai-sampai mengqadha shalat yang ditinggalkannya saat haid dan tidak masuk ke kamar mandi kecuali secara telanjang. Motif seperti ini juga merupakan motif yang buruk dan rusak menurut agama. Namun demikian, berkaitan motif seperi ini, yang rusak adalah motifnya, bukan sikapnya menolak wujudnya anak.  Demikian terang al-Ghazali dalam Ihyâ’. (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, [Beirut, Dârul Ma’rifah], juz II, halaman 52).

 

Dari detail penjelasan Al-Ghazali tersebut hukum childfree dilihat dari sisi motifnya tentu beragam.


Bila motif childfree karena alasan (1) finansial atau khawatir akan menjadi repot hidupnya, (2) khawatir menggangu karir atau memprioritaskan karir, (3) khawatir justru akan menyengsarakan anak di masa depannya, (4) khawatir masalah kesehatan atau kelainan genetik, (5) alasan aktifitas seksual dapat berkurang, (6) alasan sosial yaitu masih banyaknya anak-anak terlantar atau kurang beruntung yang dapat diadopsi, dirawat atau disantuni daripada punya anak lagi, (7) overpopulation atau semakin meledaknya penduduk bumi berbanding terbalik dengan kondisinya yang semakin rusak, dan semisalnya, hemat penulis belum cukup menjadi alasan untuk mengharamkannya. Demikian pula (8) motif orang merasa dirinya lebih dapat berkontribusi positif dalam kehidupan bila tidak punya anak daripada punya anak, dan semisalnya. Sebab motif-motif seperti itu dapat diterima secara fiqih Islam. 


Lain halnya bila motifnya adalah karena keyakinan-keyakinan yang keliru tentang wujudnya anak, seperti (1) memandang rendah anak perempuan, (2) antinatalism yaitu keyakinan bahwa melahirkan manusia-manusia baru ke dunia merpakan sikap tak bermoral yang dilakukan turun-temurun, (3)  mengikuti keyakinan sesat yang menolak memiliki anak, dan semisalnya, maka menurut penulis motif-motif seperti inilah yang membuat childfree menjadi haram. Haram karena motifnya bukan haram karena menolak wujudnya anak.


Pun demikian, hemat penulis bagaimanapun secara mendasar menurut fiqih Islam yang lebih utama adalah tetap memilih punya anak dan berketurunan, bukan memilih childfree. Wallâhu a’lam.


Menarik lagi bila isu ini dapat dikaji secara lebih luas dalam forum-forum ilmiah yang lebih representif, seperti bahtsul masail Forum Musyawarah Pondok Pesantren Se Jawa Madura (FMPP), bahtsul masail di tingkat Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU), atau bahtsul masail di level Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Semoga. 
[]

 

Ahmad Muntaha AM-Redaktur Keislaman NU Online dan Founder Aswaja Muda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar