Setelah menjelaskan empat (4) tafsir Surat Al-Maidah ayat 44 di bagian pertama, tulisan bagian kedua menjelaskan penafsiran berikutnya, yaitu penafsiran keempat dan kelima dari ulama mufassirin Ahlussunnah wal Jama’ah atas ayat tersebut.
Penafsiran Keempat, Surat Al-Maidah ayat 44 turun untuk Yahudi namun khusus mereka yang kafir yang mengubah Kitabullah dan mengganti hukumnya, seperti penafsiran Al-Barra’ bin ‘Azib RA, Abu Shalih, Ad-Dhahak, Abu Mijlas, Khudzaifah, Ikrimah, Qatadah, Ibnu Zaid, dan Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud. Dalam hal ini Abu Shalih menegaskan:
اَلثَّلَاثُ
الآيَاتُ الَّتِي فِي الْمَائِدَةِ: وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ، فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ، فَأُولَئِكَ
هُمُ الْفَاسِقُونَ، ليس في أهل الإسلام منها شيءٌ، هي في الكفار
Artinya, “Tiga ayat dalam Surat Al-Maidah, yaitu ayat 44 ‘’Barang siapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah , maka mereka adalah
orang-orang yang kafir’; ayat 45: ‘Maka mereka adalah orang-orang yang zalim’;
dan ayat 47: ‘Maka mereka adalah orang-orang yang fasik’; sama sekali tidak
menyinggung umat Islam. Ayat-ayat itu diperuntukkan bagi orang-orang
kafir.” (At-Thabari, Jami’ul Bayan, juz VIII, halaman 465-462).
Penafsiran keempat inilah yang kemudian diunggulkan atau ditarjih oleh Imam
At-Thabari sebagai penafsiran Surat Al-Maidah ayat 44 yang lebih mendekati
kebenaran. Sebab ayat sebelum dan sesudahnya diturunkan kepada orang-orang
Yahudi yang kafir, maka merekalah yang dimaksud oleh ayat tersebut. Imam
At-Thabari menyimpulkan:
وَأَوْلَى
هَذِهِ الْأَقْوَالُ عِنْدِي بِالصَّوَابِ قَوْلُ مَنْ قَالَ: نَزَلَتْ هَذِهِ
الْآيَاتُ فِي كُفَّارِ أَهْلِ الْكِتَابِ. لِأَنَّ مَا قَبْلَهَا وَمَا بَعْدَهَا
مِنَ الْآيَاتِ فَفِيهِمْ نَزَلَتْ، وَهُمُ الْمَعْنِيُّونَ بِهَا. وَهَذِهِ
الْآيَاتُ سِيَاقُ الْخَبَرِ عَنْهُمْ، فَكَونُهَا خَبَرًا عَنْهُمْ أَوْلَى
Artinya, “Pendapat yang paling benar dari berbagai pendapat ini menurutku
adalah pendapat mufassirin yang menyatakan bahwa ayat 44, 45 dan 47 surat
al-Maidah ini turun bagi orang-orang kafir dari golongan Ahli Kitab (Yahudi).
Sebab ayat sebelum dan sesudahnya juga turun bagi mereka. Ayat-ayat ini berada
dalam runtutan pemberitaan tentang mereka, sehingga lebih utama diposisikan
sebagai kabar berita tentang mereka.” ( (At-Thabari, Jami’ul Bayan, juz VIII,
halaman 468).
Penafsiran kelima, Surat Al-Maidah ayat 44 turun bagi siapapun yang mengingkari hukum Allah. Sedangkan orang yang tidak mengingkarinya meskipun tidak melaksanakannya, maka ia bukan orang yang dimaksudkan oleh ayat ini. Pandangan ini diusung oleh Ibn ‘Abbas RA dan muridnya ‘Ikrimah. Penuh ketegasan ‘Ikrimah menafsirkan:
قَوْلُهُ:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللهُ ... إِنَّمَا يَتَنَاوَلُ مَنْ أَنْكَرَ
بِقَلْبِهِ وَجَحَدَ بِلِسَانِهِ. أَمَّا مَنْ عَرَفَ بِقَلْبِهِ كَوْنَهُ حُكْمَ
اللهِ وَأَقَرَّ بِلِسَانِهِ كَوْنَهُ حُكْمَ اللهِ، إِلَّا أَنَّهُ أَتَى بِمَا
يُضَادُّهُ فَهُوَ حَاكِمٌ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى وَلَكِنَّهُ تَارِكٌ
لَهُ، فَلَا يَلْزَمُ دُخُولُهُ تَحْتَ هَذِهِ الْآيَةِ
Artinya “Firman Allah: ‘Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah …’ hanya mengarah kepada orang yang mengingkari hukum Allah
dengan hati dan lisannya. Sedangkan orang yang tetap meyakini dengan hatinya
dan mengikrarkan dengan lisannya bahwa hukum Allah tetaplah hukum Allah, namun
ia justru melakukan hal-hal yang berlawanan dengannya, maka statusnya tetap
merupakan orang yang berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah Ta’ala,
namun ia berstatus sebagai orang yang meninggalkannya, sehingga tidak
secara otomatis masuk dalam cakupan ayat ini.”
Penafsiran terakhir inilah yang kemudian dianggap paling benar oleh Imam
Fakhruddin Ar-Razi dengan menyatakan: “Ini adalah jawaban yang benar (dari
permasalahan tafsir ayat ini). Wallahu a’lam.” (Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, juz
XII, halaman 7).
Nah, lihatlah bagaimana di lingkungan ulama mufassirin Ahlussunnah wal Jama’ah
tafsir atas Surat Al-Maidah ayat 44 sangat beragam. Masing-masing ulama punya
pendapat tafsir yang berbeda-beda. Bahkan At-Thabari dan Ar-Razi punya berani
mentarjih atau mengunggulkan salah satu pendapat tafsir sesuai analisis ilmiah
mereka. Pun demikian mereka tidak mengunci atau memonopoli penafsiran ayat
dengan menafikan takwil dan penafsiran ulama lain yang berbeda.
Terbukti pula, dalam tradisi keilmuan tafsir Al-Quran, ulama tafsir
otoritatif Ahlussunnah wal Jama’ah tidak memvonis bahwa orang yang tidak
berhukum dengan hukum Allah otomatis kafir dan keluar dari agama Islam.
Tentu keluasan tafsir Al-Qur’an semacam ini jauh dari tradisi kaum radikal
macam Sayyid Quthub sebagai ideolog rujukannya, yang memonopoli dan mengunci
penafsiran Al-Qur’an sehingga di kemudian hari berperan besar mencetak pemikiran
sempit, tertutup, dan eksklusif kaum radikal yang sering kita jumpai. Meyakini
hanya mereka yang benar, sesuai Al-Qur’an dan sesuai hadits, dan sesuai Allah
dan Rasul-Nya, sementara selain mereka adalah orang yang salah, bertentangan
dengan Al-Qur’an, bertentangan dengan hadits dan otomatis menentang Allah dan
Rasul-Nya.
Jadi, bila suatu saat nanti pembaca bertemu orang berpola pikir radikal seperti
itu dan kita dituduh sesat, kafir, menentang Al-Qur’an dan semisalnya,
ketahuilah bahwa mereka, perilaku dan pikirannya telah terkunci oleh
doktrin-doktrin para ideolognya. Wallahu a’lam.
[]
Ustadz Ahmad Muntaha AM, Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar