Pertanyaan:
Assalamu 'alaikum wr. wb.
Redaktur NU Online, mohon bertanya tentang hukum aqiqah. Apa hukum aqiqah untuk orang tua yang sudah meninggal? Apakah sah? Sebelumnya kami ucapkan terima kasih atas respons dan penjelasannya. Wassalamu 'alaikum wr. wb.
(Amin/Kediri).
Jawaban:
Penanya dan pembaca yang budiman, semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Sebagaimana diketahui, pada asalnya aqiqah adalah hak anak yang sunnah dipenuhi oleh orang tuanya pada hari ketujuh dari kelahiran.
Bila belum terlaksana sampai melewati hari tersebut, orang tua masih
disunnahkan aqiqah untuk anaknya hingga ia mencapai usai baligh. Selepas baligh
inilah orang tua sudah tidak disunahkan lagi mengaqiqahinya karena secara fiqih
anak yang sudah baligh sudah mandiri tidak terikat dengan orang tuanya.
Justru kemudian saat mencapai usia baligh, anak yang bersangkutan diperbolehkan
memilih antara mengaqiqahi dirinya sendiri atau tidak. (Muhammad bin Umar
Nawawi Al-Bantani, Tausyih ‘alâ Ibnil Qâsim, halaman 273).
Dari penjelasan tersebut kita ketahui bahwa sebenarnya yang dianjurkan
beraqiqah adalah orang tua dan kemudian anak yang bersangkutan bila belum
sempat diaqiqahi sampai usia balighnya. Lalu bagaimana hukum mengaqiqahi orang
tua yang sudah meninggal? Apakah sah sebagaimana pertanyaan di atas?
Merujuk Keputusan Bahtsul Masail ke-17 Forum Musyawarah Pondok Pesantren (FMPP)
Se-Jawa Madura, hukum mengaqiqahi orang tua yang sudah meninggal diperbolehkan
bila ada wasiat. Hal ini disamakan dengan hukum berkurban untuknya yang juga
seperti itu hukumnya. Secara lengkap rumusan bahtsul masail menyatakan:
“Mengaqiqohi orang tua yang masih hidup hukumnya boleh bila ada izin darinya.
Sedangkan mengaqiqahi orang tua yang sudah meninggal dunia hukumnya juga
diperbolehkan bila ada wasiat sebagaimana diperbolehkannya melakukan kurban
atas nama mayit (menurut sebagian pendapat).” (Keputusan Komisi A Bahtsul
Masail ke-17 Forum Musyawarah Pondok Pesantren Se Jawa Madura di PP Nurul
Cholil Bangkalan pada 8-9 Jumadal Ula 1429 H/14-15 Mei 2008 M).
Yang dimaksud sebagian pendapat dalam rumusan adalah sebagian pendapat ulama
Syafi’i seperti Syekh Zakariya Al-Anshari, Syekh Al-Khatib As-Syirbini, Imam
Al-Baghawi dan lainnya, yang menyaratkan adanya wasiat dari mayit semasa
hidupnya untuk keabsahan kurban yang dilakukan orang lain untuk dirinya setelah
kewafatannya. Syekh Al-Khatib As-Syirbini menyatakan:
قَالَ: (وَلَا) تَضْحِيَةَ (عَنْ مَيِّتٍ إِنْ لَمْ يُوصِ بِهَا) لِقَوْلِهِ تَعَالَى: وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى [النجم: 39]، فَإِنْ أَوْصَى بِهَا جَازَ
Artinya, “Tidak boleh kurban atas nama mayit bila semasa hidupnya ia tidak
mewasiatkannya, karena firman Allah yang artinya ‘Bahwasanya seorang manusia
tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya’ (an-Najm ayat 39). Bila
ia mewasiatkannya, maka boleh.” (Muhammad Al-Khatib As-Syirbini, Mughnil Muhtâj
ilâ Ma’rifati Ma’ânî Alfâdhil Minhâj, [Beirut, Dârul Fikr: tth.], juz IV,
halaman 292).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum aqiqah untuk orang tua yang
sudah meninggal adalah boleh selama ada wasiat darinya, sebagaimana hukum
berkurban untuknya.
Demikian jawaban singkat ini, semoga dapat dipahami dengan baik. Kami selalu
terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca
Wallâhul muwaffiq ilâ aqwamith thâriq.
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
Ustadz Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online dan Founder Aswaja Muda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar