Di antara shalat yang dianjurkan dalam Islam adalah melakukan shalat sunnah safar, yaitu shalat sunnah yang dilakukan ketika hendak melakukan perjalanan atau bepergian. Kesunnahan ini disebabkan kebiasaan Rasulullah yang tidak pernah meninggalkan sebuah tempat kecuali ia melakukan shalat sunnah sebelum pergi, yaitu shalat sunnah safar.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا
خَلَّفَ أَحَدٌ عَلَى أَهْلِهِ أَفْضَلُ مِنْ رَكْعَتَيْنِ يَرْكَعُهُمَا
عِنْدَهُمْ حِينَ يُرِيدُ السَّفَرَ
Artinya, “Tidak ada sesuatu yang lebih utama untuk ditinggalkan seorang hamba
bagi keluarganya, daripada dua rakaat yang dia kerjakan di tengah (tempat)
mereka ketika hendak melakukan perjalanan.” (HR ath-Thabrani).
Dalam hadits yang lain juga disebutkan, Rasulullah bersabda:
إِنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَنْزِلُ مَنْزِلاً إِلاَّ
وَدَّعَهُ بِرَكْعَتَيْنِ
Artinya, “Sungguh, Nabi Muhammad ﷺ tidak tinggal di suatu tempat kecuali
meninggalkan tempat tersebut dengan shalat dua rakaat” (HR Anas bin
Malik).
Waktu dan Tata Cara Shalat Safar
Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarhil Muhadzdzab menjelaskan beberapa aturan (baca: etika) bagi orang-orang yang hendak melakukan perjalanan. Aturan itu menjadi bagian yang sangat penting untuk dilakukan sebelum pergi meninggalkan keluarga dan tempat tinggalnya. Sebab, selain mempunyai keutamaan tersendiri, shalat sunnah safar merupakan shalat sunnah yang tidak pernah Rasulullah tinggalkan ketika hendak meninggalkan sebuah tempat.
Menurut Imam Nawawi, shalat safar hanya disunnahkan bagi orang-orang yang
hendak bepergian, dan boleh dilakukan di waktu apa pun. Artinya, ia boleh
melakukan di malam hari maupun siang hari. Shalat yang satu ini dilakukan
sebagai wujud permohonan seorang hamba kepada Tuhan-Nya agar diberikan hidayah,
pertolongan, dan keselamatan selama perjalanan.
Tata cara shalat safar sebenarnya tidak jauh berbeda dengan shalat sunnah
lainnya. Ketentuannya sama dengan ketentuan shalat sunnah pada umumnya. Shalat
safar juga mempunyai syarat dan rukun yang harus dipenuhi, seperti harus
mempunyai wudhu’, menutup aurat, dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri
dengan salam, membaca al-Fatihah, ruku’, i’tidal, sujud, dan lainnya. Sedangkan
lafal niatnya adalah sebagai berikut:
أُصَلِّي
سُنَّةَ السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ لِلّٰهِ تَعَالَى
Ushalliî sunnatas safari rak’ataini lillâhi ta’âla
Artinya, “Saya niat shalat sunnah perjalanan dua rakaat karena Allah ta’âla.”
Menurut Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarhil Muhadzdzab, praktik yang
dianjurkan pada rakaat pertama membaca surat Al-Kafirun setelah membaca surat
Al-Fatihah, dan untuk rakaat kedua membaca surat Al-Ikhlas setelah membaca
Al-Fatihah.
Setelah shalat dua rakaat itu selesai, dianjurkan membaca ayat Kursi, yaitu:
اَللّٰهُ
لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ اَلْحَيُّ الْقَيُّوْمُ ەۚ لَا تَأْخُذُهٗ سِنَةٌ وَّلَا
نَوْمٌۗ لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ مَنْ ذَا الَّذِيْ
يَشْفَعُ عِنْدَهٗٓ اِلَّا بِاِذْنِهٖۗ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَمَا
خَلْفَهُمْۚ وَلَا يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهٖٓ اِلَّا بِمَا شَاۤءَۚ
وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَۚ وَلَا يَـُٔوْدُهٗ حِفْظُهُمَاۚ
وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ
Artinya, “Allah, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Mahahidup lagi terus-menerus
mengurus (makhluk-Nya). Dia tidak dilanda oleh kantuk dan tidak (pula) oleh
tidur. Milik-Nyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada
yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang
ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka. Mereka tidak
mengetahui sesuatu apa pun dari ilmu-Nya, kecuali apa yang Dia kehendaki.
Kursi-Nya (ilmu dan kekuasaan-Nya) meliputi langit dan bumi. Dia tidak merasa
berat memelihara keduanya. Dialah yang Mahatinggi lagi Mahaagung” (QS
al-Baqarah: 255).
Keuntungan membaca ayat Kursi di atas, sebagaimana dijelaskan Imam Nawawi dalam
kitab Al-Adzkar lin Nawawi, adalah keselamatan selama perjalanan dan tidak akan
tertimpa sesuatu yang tidak diinginkan sampai ia selesai dari perjalanannya
(Imam Nawawi, al-Adzkar lin Nawawi, [Bairut: Darul Minhaj, 2010], h. 216).
Selanjutnya membaca surat Quraisy, yaitu:
لِاِيْلٰفِ
قُرَيْشٍۙ اٖلٰفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاۤءِ وَالصَّيْفِۚ فَلْيَعْبُدُوْا رَبَّ
هٰذَا الْبَيْتِۙ الَّذِيْٓ اَطْعَمَهُمْ مِّنْ جُوْعٍ ەۙ وَّاٰمَنَهُمْ مِّنْ
خَوْفٍ
Artinya, “Disebabkan oleh kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan
mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas (sehingga mendapatkan banyak
keuntungan), maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini
(Ka‘bah), yang telah memberi mereka makanan untuk menghilangkan lapar dan
mengamankan mereka dari rasa takut” (QS Quraisy: 1-4).
Mengenai kelebihan surat yang satu ini, Imam Nawawi menceritakan sebuah kisah,
bahwa suatu saat Syekh Abu Thahir hendak melakukan perjalanan, hanya saja ia
takut. Kemudian ia pergi menemui Imam Qazwaini untuk memohon doa kepadanya.
Imam Qazwaini berkata, “Siapa hendak bepergian, namun takut dengan musuh, atau
gangguan-gangguan lainnya, maka bacalah surat Quraisy, karena sesungguhnya ia
merupakan pengaman dari segala marabahaya dan kejelekan.” Setelah mendengar
penjelasan itu, Syekh Abu Thahir melakukannya, dan tidak ada kejadian apa pun
yang mengenainya selama perjalanan sampai ia pulang” (Imam Nawawi, Al-Adzkar
lin Nawawi, 2010, h. 217).
Menurut Imam Nawawi, dua bacaan di atas menjadi sangat penting untuk dibaca
setelah melakukan shalat sunnah safar, keduanya mempunyai keberkahan yang
sangat besar dalam hal apa pun, keberkahan itu tidak terbatas oleh waktu dan
keadaan. Oleh karenanya, sangat dianjurkan untuk membaca dua bacaan di atas
ketika hendak berangkat bepergian (Imam Nawawi, Majmu’ Syarhil Muhadzdzab,
[Bairut: Darul Fikr, 1999], juz IV, h. 387).
Doa Shalat Safar
Setelah bacaan-bacaan di atas selesai, dianjurkan untuk berdoa kepada Allah ﷻ dengan khusyuk dan penuh pengharapan disertai dengan keikhlasan. Secara umum, tidak ada doa secara tertulis yang harus dijadikan pedoman ketika hendak bepergian. Artinya, orang yang hendak melakukan perjalanan boleh berdoa sesuai dengan keinginannya masing-masing. Ia boleh berdoa tentang hal-hal yang berkaitan dengan akhirat, juga boleh berdoa tentang hal-hal duniawi, atau boleh juga menggabung keduanya, sebagaimana penjelasan Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarhil Muhadzdzab. Hanya saja, yang terpenting dalam doa ini adalah memohon pertolongan, taufiq, hidayah, keselamatan, dan kesehatan selama bepergian.
Meski dalam kitab Majmu’ Imam Nawawi tidak memberikan doa secara khusus yang
harus dibaca ketika hendak beergian, namun, dalam kitabnya yang lain, yaitu
Al-Adzkar lin Nawawi menganjurkan membaca doa berikut:
اَللهم
بِكَ أَسْتَعِيْنُ، وَعَلَيْكَ أَتَوَكَّلُ ، اَللهم ذَلِّلْ لِي صُعُوْبَةَ
أَمْرِيْ ، وَسَهِّلْ عَلَيَّ مَشَقَّةَ سَفَرِيْ، وَارْزُقْنِيْ مِنَ الْخَيْرِ
أَكْثَرَ مِمَّا أَطْلُبُ، وَاصْرِفْ عَنِّي كُلَّ شَرٍّ، رَبِّ
اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ، وَيَسِّرْ لِيْ أَمْرِيْ، اللهم إِنِّي أَسْتَحْفِظُكَ
وَأَسْتَوْدِعُكَ نَفْسِيْ وَدِيْنِيْ وَأَهْلِي وَأَقَارِبِي وَكُلَّ مَا
أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَيْهِمْ بِهِ مِنْ آَخِرَةٍ وَدُنْيًا، فَاحْفَظْنَا
أَجْمَعِيْنَ مِنْ كُلِّ سُوْءٍ يَا كَرِيْمُ
Artinya, “Ya Allah, hanya kepada-Mu aku meminta tolong, hanya kepada-Mu aku
berpasrah. Tuhanku, tundukkanlah bagiku segala kesulitan urusanku, mudahkan
untukku hambatan perjalananku, anugerahkanlah aku sebagian dari dari kebaikan
melebihi apa yang kuminta, palingkan diriku dari segala kejahatan. Tuhanku,
lapangkanlah dadaku, dan mudahkan urusanku. Ya Allah, aku meminta penjagaan dan
menitipkan diriku, agamaku, keluargaku, kerabatku, dan semua yang telah
Kauberikan kepadaku, baik kebaikan ukhrawi maupun duniawi. Lindungilah kami
dari segala kejahatan, wahai Dzat Yang Mahapemurah.”
Pada bacaan doa di atas, ia dianjurkan untuk memulai dan mengakhirinya dengan
bacaan tahmid (alhamdulillah) disertai dengan bacaan shalawat kepada Rasulullah
ﷺ. Setelah doa tersebut
selesai, dan hendak pergi, ia dianjurkan membaca doa yang biasa Rasulullah baca
sebelum berangkat bepergian, yaitu:
اَللهم
إِلَيْكَ تَوَجَّهْتُ، وَبِكَ أَعْتَصَمْتُ، اَللهم اكْفِنِيْ مَا هَمَّنِي وَمَا
لَا أَهْتَمُّ لَهُ، اَللهم زَوِّدْنِي التَّقْوَى، وَاغْفِرْ لِيْ ذَنْبِيْ،
وَوَجِّهْنِيْ لِلْخَيْرِ أَيْنَمَا تَوَجَّهْتُ
Artinya, “Ya Allah, hanya kepada-Mu aku menghadap dan hanya kepada-Mu aku
berlindung. Tuhanku, cukupilah aku dari segala yang membuatku bimbang dan
segala yang tidak kubimbangkan. Tuhanku, bekalilah diriku dengan takwa,
ampunilah dosaku, dan hadapkan diriku pada kebaikan di mana saja aku
menghadap.” (Imam Nawawi, al-Adzkar lin Nawawi, 2010, halaman 217).
Keutamaan Shalat Safar
Imam As-Suyuthi dalam kitab Jam’ul Jawami’ menuliskan hadits Rasulullah tentang shalat safar, Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا
خَرَجْتَ مِنْ مَنْزِلِكَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ تَمْنَعَانِك مَخْرَجَ السُّوءِ
وإذَا دَخَلتَ إِلَى مَنْزِلِكَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ تَمْنَعَانِك مَدْخَلَ
السُّوءِ.
Artinya, “Jika engkau keluar dari rumahmu maka lakukanlah shalat dua rakaat,
yang dengan ini akan menghalangimu dari kejelekan yang berada di luar rumah.
Dan jika engkau memasuki rumahmu, maka lakukanlah shalat dua rakaat yang akan
menghalangimu dari kejelekan yang masuk ke dalam rumah” (HR al-Baihaqi).
Dari hadits di atas bisa dipahami bahwa shalat sunnah safar tidak hanya
berfungsi sebagai ajang peningkatan spiritualitas kepada Allah ﷻ dengan memperbanyak
ibadah, juga tidak hanya sebatas manifestasi penghambaan kepada-Nya. Lebih dari
itu, dengan melaksanakan shalat safar, akan diselamatkan oleh Allah dari segala
bahaya yang akan menimpanya selama dalam perjalanan. Tentunya, jika keselamatan
juga didapatkan oleh setiap orang yang bepergian, ia masih bisa melanjutkan
ibadah-ibadah yang lain setelah perjalanannya selesai.
[]
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop
Bangkalan Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar