Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr. wb. Redaksi NU Online, saya ingin mengajukan pertanyaan. Apakah trading crypto futures merupakah suatu hal yang halal atau haram? Terima kasih.
(Rendy Aldion)
Jawaban:
Wa’alaikumus salam wr. wb. Segala puji bagi Allah swt. Shalawâtullâh wa
salâmuhu semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad saw.
Penanya yang budiman. Futures market merupakan istilah lain dari pasar
berjangka. Yang diniagakan dalam pasar ini adalah berupa komoditas (‘aradl)
yang terdiri dari aset derivatif (aset turunan). Alhasil, mekanisme yang
berlaku berbeda jauh dengan apa yang terjadi di pasar modal (al-aswâq ra’sul
mâliyyah).
Di pasar berjangka (futures market/al-aswâq al-istiqbâliyyah), akad yang
berlaku meniscayakan penggunaan akad bai’ ‘urbun, yaitu jual beli yang disertai
uang muka. Yang dijual pun juga bukan komoditas yang terdiri dari aset crypto
itu sendiri, melainkan kontrak yang sebelumnya pernah dilakukan oleh seseorang
untuk memesan suatu aset crypto pada jangka waktu tertentu. Ketika kontrak itu
telah jatuh tempo, namun aset tidak menunjukkan harga sebagaimana yang
diharapkan, maka pihak penjual memilih opsi (khiyârât) untuk mengalihkan
tanggungannya kepada pihak lain, dengan niat “uang muka” (‘urbun) yang sudah
diserahkannya tidak hangus.
Sekilas tentang Bai' Urbun
Definisi bai' 'urbun adalah sebagai berikut:
بيع
العربون هو أن يبيع الإنسان الشيء ويأخذ من المشتري مبلغاً من المال يسمى عربوناً
لتوثيق الارتباط بينهما على أساس أن المشتري إذا قام بتنفيذ عقده احتسب العربون من
الثمن، وإن نكل كان العربون للبائع
Artinya, "Bai ‘urbun adalah jika ada seseorang menjual sesuatu, kemudian
ia meminta dari pembeli sejumlah uang sebagai uang muka dengan tujuan dijadikan
jaminan ikatan akad yang sudah dijalin oleh keduanya, dengan landasan bahwa
jika pembeli memutuskan melanjutkan akad, maka uang muka tersebut dihitung
sebagai harga, namun jika musytari membatalkan akad, maka uang muka tersebut
milik penjual.” (Hisamuddin Afanah, Fiqhul Tâjiril Muslim, [Baitul Muqaddas,
Maktabah ‘Ilmiyyah, cetakan pertama: 1426 H], halaman 89).
Ulama yang melarang akad ini adalah kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan
Syafiiyah. Dalam perspektif as-Syaukani (wafat 1250 H) ‘illat larangan bai’
urbun adalah sebagai berikut:
والعلة
في النهي عنه اشتماله على شرطين فاسدين. أحدهما شرط كون ما دفعه إليه يكون مجانا
إن اختار ترك السلعة. والثاني شرط الرد على البائع إذا لم يقع منه الرضا
بالبيع.
Artinya, "'Illat dilarangnya bai’ urbun adalah karena dalam transaksi
urbun tersimpan adanya dua syarat yang fasid. Pertama, adalah syarat adanya
harta yang harus diserahkan kepada penjual secara cuma-cuma khususnya jika
terjadi pembatalan transaksi. Kedua, karena ada syarat pengembalian barang
kepada penjual jika terjadi ketiadaan ridla pembeli.” (As-Syaukani, Nailul
Authâr Syarhu Muntaqal Akhbâr, juz V, halaman 182).
Fuqaha yang membolehkan transaksi ‘urbun adalah dari kalangan Hanabilah.
‘Illat kebolehan menurut kalangan ini adalah sebagai berikut:
ومن
المعلوم أن طريقة العربون، هي وثيقة الارتباط العامة في التعامل التجاري في العصور
الحديثة، وتعتمدها قوانين التجارة وعرفها، وهي أساس لطريقة التعهد بتعويض ضرر
الغير عن التعطل والإنتظار
Artinya, “Sebagaimana maklum diketahui bahwa transaksi 'urbun dipergunakan di
banyak transaksi niaga era modern saat ini adalah semata sebagai jaminan
keterikatan antara penjual dan pembeli secara umum. Banyak
peraturan/undang-undang baru yang disusun atas dasar akad tersebut dan
memberlakukannya secara umum, dan bahkan menjadi landasan penetapan ganti rugi
yang ditimbulkan oleh pihak lain karena alasan penundaan dan menunggu” (Afanah,
Fiqhut Tâjir, juz I, halaman 89).
Selanjutnya, untuk lebih jelasnya mari kita menyimak takyîful fiqh jual beli
'urbun dalam trading crypto di futures market itu terjadi.
Ilustrasi Trading Aset Crypto di Futures Market
Suatu misal, Si Fulan membeli sebuah properti (baca: aset kripto), dan akan
dilunasi pada waktu tertentu. Sebagai tanda jadi, ia memberikan “uang muka”.
Ketika telah tiba waktu jatuh tempo, selanjutnya Si Fulan ini memiliki dua
opsi, yaitu apakah mau melanjutkan pembelian properti tersebut, ataukah
merelakannya.
Sebagaimana ciri utama dari uang muka pada bai’ urbun, maka jika terjadi
pembatalan akad, uang muka menjadi hangus dan menjadi milik penjual. Jika
melanjutkan akad, maka pihak pembeli harus menyerahkan uang untuk melunasi
harga properti (baca: aset kripto) dan uang muka menjadi bagian dari harga
aset.
Berangkat dari sini, maka keputusan yang dilakukan oleh Si Fulan, sudah pasti
juga ada 2 opsi (khiyârât), yaitu jika ia tetap bersikukuh untuk membeli
properti, maka dia harus menyerahkan sejumlah uang untuk melunasi sehingga uang
mukanya menjadi bagian miliknya. Sementara bila ia bersikukuh menjual aset
properti, maka uang mukanya ini akan digantikan oleh pihak lain yang akan
membelinya.
Karena hampir bisa dipastikan bahwa pihak trader kecil selalu memilih untuk
menjual pada saat jatuh tempo, maka itu artinya dia hanya memiliki 1 opsi saja
terhadap “uang muka” yang diserahkan, yaitu pembatalan akad pembelian properti
(baca: aset kripto).
Berdasarkan ketentuan yang berlaku di bai’ urbun, setiap kali ada pihak yang
membatalkan akad ‘urbun, maka properti adalah masih menjadi milik sah penjual.
Tidak ada satu hishah pun yang beralih menjadi “hak” (right) trader.
Bercermin pada mekanisme ini, maka “uang muka” yang dialihkan oleh trader
kepada pihak lain pada dasarnya tidak bisa dikaitkan dengan properti (aset
kripto). Dengan demikian, uang itu juga tidak bisa distandarkan harganya dengan
harga baru properti (aset kripto) saat jatuh tempo.
Karena itu, ketika terjadi proses pengalihan hak dari satu trader ke trader
lainnya, maka yang berlaku seharusnya adalah wajibnya “trader baru”
menggantikan “uang muka” dari “trader lama”, dengan ketentuan sama besar, tidak
bertambah dan tidak berkurang (tamatsul). Ketentuan yang berlaku secara syara’
adalah mengikuti ketentuan yang berlaku atas akad hiwalah. Sebab, obyek yang
dijual adalah “uang muka”, sehingga bukan komoditas “properti-”nya atau aset
kriptonya.
Fakta Trading Aset Crypto di Futures Market
Beberapa fakta yang terjadi pada trading aset crypto di lapangan, adalah:
Pertama, valuasi aset crypto ditentukan berdasarkan harga di saat jatuh tempo /
kontrak.
Kedua, uang muka yang dijual oleh trader, memiliki valuasi yang berbeda dengan
saat trader tersebut memutuskan membeli aset derivatif crypto. Padahal kontrak
yang berlaku di opsi “penjualan” oleh trader pada saat kadaluwarsa, menandakan
batalnya akad pembelian aset crypto. Alhasil, yang tersisa adalah akad hiwalah
semata, dan uang muka bukan dihitung sebagai bagian dari aset.
Karenanya, ketentuan yang seharusnya berlaku atas nilai uang muka itu, adalah
wajibnya ia distandarkan dengan saat awal dilakukan kontrak futures. Dalam
kasus properti, ketika pihak pembeli membatalkan pembelian properti, dan
memilih mengalihkan pada orang lain agar uang mukanya tidak hangus, maka besar
nilai pengalihan itu harus sama saat dia menyerahkan uang muka pembelian
properti. Alhasil, nilainya tidak bisa distandarkan dengan harga properti saat
jatuh tempo kontrak futures.
Ketiga, fakta yang terjadi, dalam trading crypto di futures market, ketika akad
futures itu dibatalkan, maka nilai valuasi uang muka mengikuti valuasi aset
crypto saat kontrak itu kadaluwarsa. Konsekuensinya, besarannya menjadi tidak
sama dengan saat uang muka itu diserahkan di awal kontrak. Dengan demikian,
terpenuhi kaidah jual beli utang dengan utang (bai’u mâ fîdz dzimmah bimâ fîdz
dzimmah) dengan besar nilai uang muka yang dialihkan sebagai yang tidak sepadan
dengan gantinya. Karena ketidaksepadanan ini, maka praktik yang terjadi dalam
akad trading aset crypto di pasar berjangka, pada dasarnya merupakan praktik
ribâl fadli.
Keempat, selain itu, 'illat keharaman hukum pada trading aset crypto di pasar
berjangka adalah karena terdapatnya unsur maisir. 'Illat ini muncul seiring
opsi yang dimiliki oleh trader kecil adalah hanya satu, yaitu hanya menjual
pada saat jatuh tempo. Alhasil, otomatis membatalkan akad sehingga murni
tersisa harga baru dari “uang muka” dan bukan “komoditas crypto-nya”. Wallâhu
a’lam bish shawâb. []
Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar