Memotong atau mencukur rambut kepala adalah salah satu bagian penting dalam pelaksanaan manasik haji dan umrah. Jamaah haji tidak dapat tahallul (tuntas/ selesai dari haji atau umrah) sebelum melakukannya.
Ditegaskan oleh Syekh Zakariya al-Anshari:
وَلَا
تَحَلُّلَ مِنْ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ دُونَهُ كَسَائِرِ أَرْكَانِهِمَا
Artinya,“Tidak ada tahallul dari haji dan umrah tanpa menghilangkan rambut
kepala sebagaimana rukun-rukun yang lain”. (Syekh Zakariya al-Anshari, Asna
al-Mathalib, juz.1, hal.490).
Menurut pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i, aktivitas ini merupakan rukun
haji dan umrah yang tidak dapat ditinggalkan dan tidak bisa diganti dengan
fidyah (denda), sebagian pendapat mengatakan statusnya adalah kewajiban haji
yang berkonsekuensi fidyah bila ditinggalkan, sebagian pendapat menyebut bukan
bagian dari manasik haji. (Syekh Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz.II,
hal.269).
Di antara dalil yang menyebutnya sebagai bagian dari manasik haji adalah:
إِنَّهُ
صلى الله عليه وسلم قَالَ لِكُلِّ مَنْ حَلَقَ رَأْسَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ سَقَطَتْ
نُوْرٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya, “Sesungguhnya Nabi berkata; setiap orang ihram yang mencukur rambutnya
mendapat cahaya di hari kiamat dari setiap helai rambut yang dicukur”. (HR.
Ibnu Hibban).
Standar minimal menghilangkan rambut kepala adalah menghilangkan tiga helai
rambut dengan berbagai cara, bisa dengan mencukur habis, memotong sebagian,
mencabut, membakar dan lain sebagainya. Bagi laki-laki, yang lebih utama adalah
al-halqu (mencukur habis rambut kepala), sedangkan bagi jamaah haji perempuan
adalah al-taqshir (memotong sebagian rambut kepala), tidak diperintah baginya
menghilangkan seluruh rambut kepala menurut kesepakatan ulama, bahkan hukumnya
makruh menurut pendapat al-Ashah dalam kitab al-Majmu’. (Syekh Khatib
al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz II, hal.269).
Menghilangkan rambut kepala harus dilakukan sesuai waktunya, yaitu setelah
pertengahan malam hari Nahar (malam tanggal 10 Dzulhijjah), bila dilakukan
sebelumnya, maka berdosa dan wajib membayar fidyah/ dam (denda), karena
termasuk larangan bagi orang yang berihram. Disebutkan dalam kitab al-Fiqh
al-Manhaji:
وَشَرْطُ
الْحَلْقِ مَا يَلِي أَلَّا يَسْبِقَ وَقْتَهُ، وَوَقْتُهُ بَعْدَ مُنْتَصَفِ
لَيْلَةِ النَّحَرِ، فَلَوْ حَلَقَ قَبْلَ ذَلِكَ كَانَ آثِمًا وَيَسْتَوْجِبُ
الْفِدْيَةَ.
Artinya, “Syarat mencukur rambut adalah sebagai berikut, pertama tidak
mendahului waktunya. Adapun waktunya adalah setelah pertengahan malam hari
Nahar. Bila seseorang mencukur sebelum waktu tersebut, maka ia berdosa dan
berkewajiban membayar fidyah”. (Syekh Mustofa al-Khin dkk, al-Fiqh al-Manhaji,
juz II, hal.142).
Mencukur rambut adalah salah satu proses yang harus dilalui sebelum jamaah
haji/ umrah dinyatakan tahallul (terlepas/ tuntas dari haji/ umrah). Dalam
mazhab Syafi’i, dikenal ada dua jenis tahallul, yaitu tahallul ashghar (kecil)
dan tahallul akbar (besar). Tahallul ashghar yaitu bila seseorang telah
melakukan dua dari tiga hal yaitu, mencukur rambut, melempar jumrah aqabah
dan tawaf ifadhah. Konsekuensi dari tahallul ini adalah diperbolehkannya
melakukan hal-hal yang sebelumnya dilarang bagi orang yang ihram seperti
memakai wewangian, mengenakan pakaian berjahit dan lain sebagainya kecuali
berhubungan badan dengan istri. Sedangkan tahallul akbar yaitu ketika jamaah
haji/ umrah telah melaksanakan ketiganya. Setelah tahallul akbar, seseorang
diperbolehkan melakukan larangan-larangan saat ihram termasuk berhubungan badan
dengan istri. (Syekh Mustofa al-Khin dkk, II/153).
Timbul pertanyaan ketika membicarakan orang yang berkepala plontos, mungkin
sebelum ihram ia sudah cukur atau ia membotak rambutnya selepas melakukan ihram
umrah. Bagaimana cara melakukan rukun mencukur rambut baginya? Apakah ia wajib
menunggu hingga rambutnya tumbuh?.
Bagi orang yang berkepala plontos, tidak berlaku baginya syariat mencukur atau
memotong rambut sebagai bagian dari rukun haji/ umrah, ia tidak perlu menunggu
rambutnya tumbuh agar bisa tahallul, namun disunahkan baginya menjalankan
secara simbolis alat cukur di kepalanya layaknya orang yang hendak mencukur
rambut, hal ini dilakukan untuk menyerupai orang-orang yang bertahallul dengan
mencukur habis rambut. Menurut Imam al-Adzra’i, kesunahan ini hanya berlaku
bagi laki-laki, karena perempuan tidak disyariatkan mencukur habis rambut
kepalanya.
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:
وَمَنْ
لَا شَعْرَ بِرَأْسِهِ خِلْقَةً أَوْ لِحَلْقِهِ وَلِاعْتِمَارِهِ عَقِبَهُ
اُسْتُحِبَّ لَهُ إمْرَارُ الْمُوسَى عَلَيْهِ إجْمَاعًا تَشَبُّهًا
بِالْحَالِقِينَ وَبَحَثَ الْأَذْرَعِيُّ اخْتِصَاصَ ذَلِكَ بِالذَّكَرِ؛ لِأَنَّ
الْحَلْقَ لَيْسَ مَشْرُوعًا لِغَيْرِهِ
Artinya, “Orang Ihram yang tidak memiliki rambut di kepalanya, bisa karena
bawaan lahir, telah dicukur sebelumnya atau melakukan umrah setelahnya,
disunahkan baginya menjalankan alat cukur di atas kepala menurut kesepakatan
ulama, karena menyerupai orang-orang yang mencukur rambut. Imam al-Adzra’i
menyampaikan bahts, kesunahan tersebut berlaku khusus untuk laki-laki, sebab
mencukur rambut tidak disyariatkan untuk selain laki-laki”. (Syekh Ibnu Hajar
al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj Hamisy al-Syarwani, juz IV, hal.121).
Selain menjalankan alat cukur secara simbolis, sunah pula mengambil/ memotong
sebagian dari rambut kumis atau jenggot. Syekh Khatib al-Syarbini menegaskan:
وَيُسَنُّ
أَنْ يَأْخُذَ مِنْ شَارِبِهِ أَوْ شَعْرِ لِحْيَتِهِ شَيْئًا لِيَكُونَ قَدْ
وَضَعَ مِنْ شَعَرِهِ شَيْئًا لله تَعَالَى.
Artinya, “Disunahkan mengambil sebagian dari kumis atau rambut jenggotnya,
supaya muhrim (orang yang ihram) menanggalkan bagian dari rambutnya karena
Allah”. (Al-Syarbini: II/269).
Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan. Semoga bermanfaat. []
Ustadz M Mubasysyarum Bih, Wakil Ketua LBM PWNU Jawa Barat dan Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar