Dalam kitab Thabaqât al-Syâfi’iyyah al-Kubrâ, Imam Tajuddin Abu Nashr ‘Abdul Wahhab al-Subki mencatat sebuah kisah tentang Imam Ilkiya al-Harawi. Berikut kisahnya:
وعن
إلكيا، قال: كانت في مدرسة سرهنك بنيسابور قناة لها سبعون درجة، وكنت إذا حفظت
الدرس أنزل القناة وأعيد الدرس في كل درجة مرة في الصعود والنزول، قال: وكذا كنت
أفعل في كل درس حفظته.
Diceritakan dari (Imam) Ilkiya (al-Harasi). Ia berkata:
“Di Madrasah Sarhank, Naisabur, terdapat sungai yang memiliki tujuh puluh anak
tangga. Saat aku menghafal pelajaran, aku menuruni tangga (yang menuju sungai)
sambil mengulang (hafalan) pelajaranku satu kali di setiap anak tangga. (Aku
melakukannya di saat) naik dan turun.”
Katanya (lagi): “Begitulah yang kulakukan setiap kali menghafal sebuah
pelajaran.” (Imam Tajuddin Abu Nashr ‘Abdul Wahhab al-Subki, Thabaqât
al-Syâfi’iyyah al-Kubrâ, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2012, juz 4, h.
149)
****
Ternyata, Imam Ilkiya al-Harasi (w. 504 H) tidak hanya melakukan kebiasaan ini di tepi sungai saja. Ia melakukannya juga di setiap undak-undakan atau tangga yang berada di Madrasah Nidhamiyyah Naisabur. Di setiap tangga, ia menghafalkan hadits dan melakukan review terhadap pelajaran yang baru saja diterimanya (kâna yahfadhul hadîts wa yunâdhiru fîhi) (Imam Tajuddin Abu Nashr ‘Abdul Wahhab al-Subki, Thabaqât al-Syâfi’iyyah al-Kubrâ, juz 4, h. 149).
Dengan cara ini, pengetahuannya berkembang sedemikian rupa. Ia, kelak, menjadi
ulama yang terkemuka, pemimpin para imam di bidang fiqih, ushul, retorika, dan
sangat menguasai matan-matan hadits hukum. Nama lengkapnya adalah Ali bin
Muhammad bin Ali (w. 504 H). Ia adalah salah satu murid utama Imam al-Haramain
al-Juwaini. Dalam Thabaqât al-Syâfi’iyyah al-Kubrâ dikatakan:
وتفقه
علي إمام الحرمين، وهو أجل تلامذته بعد الغزالي
“(Imam Ilkiya) belajar fiqih pada Imam al-Haramain. Dia merupakan murid
terbesar Imam al-Haramain setelah (Imam) al-Ghazali” (Imam Tajuddin Abu Nashr
‘Abdul Wahhab al-Subki, Thabaqât al-Syâfi’iyyah al-Kubrâ, juz 4, h. 149).
Imam Ilkiya sepertinya telah berhasil menciptakan lingkungan belajar di alam
bawah sadarnya. Seakan-akan, setiap kali ia melihat tangga, di mana pun ia
berada, hasratnya untuk menghafal dan belajar tumbuh. Tentu, lingkungan belajar
semacam ini bisa mungkin terjadi karena kebiasaan yang telah dibangunnya.
Kebiasaan adalah kata kunci. Sebab, kebiasaan dapat memunculkan tindakan dan
perasaan yang tergerak secara spontan. Seorang atlet bulutangkis yang berlatih
setiap hari, refleks gerakannya sangat cepat, bahkan seperti tidak perlu
berpikir panjang.
Karena itu, sebagai pelajar dan penuntut ilmu, kita memerlukan kebiasaan kita
sendiri. Kebiasaan yang berasal dari “pembiasaan”. Ada proses kreatif yang
perlu kita lalui dalam cara belajar kita. Seperti yang dicontohkan Imam Ilkiya
dengan naik-turun tangga. Tentu, tidak harus sama seperti beliau. Misalnya,
bisa dengan merekamnya terlebih dahulu, kemudian kita dengarkan setiap kali
hendak tidur, atau bisa dengan menjadikannya sebagai aktivitas setelah shalat
seperti dzikir, dan lain sebagainya.
Proses “pembiasaan” ini harus terus dilakukan tanpa putus sampai melebur
menjadi kebiasaan, yang ketika kita tidak melakukannya, kita seperti kehilangan
sesuatu. Sebuah kebiasaan, yang setidaknya, bisa menjadi pengingat kita untuk
belajar. Sayyidina Abdullah bin Mas’ud berkata:
تَعَوّدوا
الخير فإنّما الْخَير عادة
“Biasakanlah kebaikan. Karena sesungguhnya, kebaikan adalah (hasil dari)
kebiasaan (yang baik)” (Imam Abu Hayan al-Tauhidi, al-Bashrâ’ir wa
al-Dzakhâ’ir, Beirut: Dar Shadir, 1988, juz 3, h. 20).
Contoh lainnya adalah Imam al-Muzani. Murid Imam al-Syafi’i ini mempunyai
kebiasaan membaca kitab yang sama berulang-ulang sampai ratusan kali. Ia
berkata:
قرأتُ
الرسالة خمسمائة مرة ما من مرة إلا واستفدتُ منها فائدة جديدة
“Aku telah membaca (kitab) al-Risalah (karangan Imam al-Syafi’i) lima ratus
kali. Setiap kali (membaca)nya aku menemukan faidah (atau pengetahuan) baru”
(Imam Yahya bin Syarraf al-Nawawi, al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2011, juz 1, h. 398).
Di riwayat lain, dikatakan bahwa Imam al-Muzani telah mempelajari kitab
al-Risalah selama lima puluh tahun, dan setiap kali ia mempelajarinya, ia
mendapatkan pengetahuan baru yang tidak ia ketahui sebelumnya. (Imam Yahya bin
Syarraf al-Nawawi, al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 1, h. 398).
Memang, kebanyakan dari kita, tidak terpikir sama sekali untuk melakukan hal
semacam ini, apalagi menjadikannya kebiasaan. Terpikir saja tidak, apalagi
berkeinginan untuk melakukannya. Ya, karena kita manusia. Jalan yang kita ambil
berbeda-beda, dan terkadang kita bisa mencapai tujuan tanpa menjadikan cara
belajar tertentu sebagai kebiasaan. Meski demikian, kisah di atas, paling
tidak, bisa menjadi tambahan pengetahuan, entah tentang belajar, menuntut ilmu,
atau apa pun itu. Yang pasti, ada hikmah yang bisa kita ambil dari kisah di atas.
Bukankah demikian?
Wallahu a’lam bish-shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan,
Kebumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar