Cinta adalah sesuatu yang abstrak, ia tak tampak oleh mata kepala. Namun dapat dirasakan dan tampak tanda-tandanya. Seorang yang jatuh cinta, hatinya akan terpaut dengan yang dicintainya. Termasuk mencintai Al-Qur’an.
Mencintai Al-Qur’an adalah suatu tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata, tapi
mencintai Al-Qur’an adalah dengan membersamai dan berinteraksi dengan Al-Qur’an
setiap saatnya; membaca, memahami dan merenungi, serta mengimplementasikan
kandungan maknanya.
Pada zaman dahulu, para sahabat adalah orang yang sangat mencintai Al-Qur’an.
Mereka antusias penuh semangat mendengarkan wahyu yang disampaikan kepada
mereka. Setiap deretan ayat yang didapatkan dari Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, bagaikan hadiah yang sangat berharga bagi dirinya. Maka tak
ayal, banyak sahabat yang meluangkan waktu untuk menghafal, memahami dan
merenungi serta mengimplementasikan isi kandungan maknanya.
Abu Abdurrahman al-Sulami mengatakan bahwa para sahabat belajar kepada Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh ayat, mereka tidak akan
mempelajari sepuluh ayat berikutnya kecuali mereka memahami kandungan ayat
tersebut dan mengamalkannya (Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad: 466. Hadis
ke-23482).
Demikian pula, generasi setelah sahabat, tabi’in. Mereka dengan penuh semangat
membaca Al-Qur’an tanpa mengenal waktu. Kecintaan mereka terhadap Al-Qur’an
dibuktikan dengan senantiasa menjadikan Al-Qur’an sebagai teman
sehari-harinya.
Imam al-Nawawi menceritakan bahwa terdapat sebagian tabi’in yang sehari-harinya
membaca Al-Qur’an hingga mengkhatamkannya dalam sehari bahkan ada yang
mengkhatamkannya di antara waktu dhuhur dan ashar. (Imam Nawawi, al-Tibyan fi
Adab Hamalat Al-Qur’an: 47).
Pada masa sekarang, jika seorang ditanya, apakah kamu mencintai Al-Qur’an? Tentu
saja jawabannya adalah, “Iya, saya mencintai Al-Qur’an”. Jawaban ini adalah
jawaban yang keluar secara otomatis tanpa perlu pemikiran dan perenungan. Hanya
saja, cinta butuh pembuktian tidak sekadar diucapkan oleh lisan semata.
Banyak orang yang mengaku mencintai Al-Qur’an tapi dalam sehari-harinya ia
lebih banyak berinteraksi dengan hape (telpon genggam) daripada berlama-lama
duduk bersama Al-Qur’an. Bagaimana mungkin dia dikatakan mencintai Al-Qur’an
sementara dia tahan berlama-lama memainkan keyboard ponsel dan rasa kantuk
menghampirinya saat menyentuh Al-Qur’an?
Seorang yang dirundung cinta, hatinya akan senantiasa terpaut, bibirnya selalu
menyebut, ia akan merindukannya saat ia jauh darinya dan memutuskan segala
sesuatu kecuali bersamanya. Ibaratnya, menurut Sayyidina Ali, dia adalah
tawanan yang tidak bisa lepas dari yang dicintainya.
ومن
أحب شيئا فهو أسير له
Artinya: “Barang siapa yang mencintai sesuatu maka dia adalah tawanan
baginya” (Muhammad Nawawi, Nashaih al-Ibad:14).
Demikian pula, seorang yang mencintai Al-Qur’an, hatinya senantiasa akan
terpaut untuk selalu dekat bersamanya, merasa nyaman dengannya, ia bagaikan
tawanan Al-Qur’an yang tidak bisa lepas darinya; membaca, memahami dan
mengimplementasikan isi kandungannya.
Sebuah bacaan bila dibaca berulang-ulang, ia akan membosankan kecuali
Al-Qur’an. Semakin banyak dibaca dan diulang-ulang, maka ia akan semakin
menyenangkan, tampak indah dan bercahaya.
Imam al-Syatibi mengatakan:
وَخَيْرُ
جَلِيسٍ لاَ يُمَلُّ حَدِيثُهُ *** وَتَرْدَادُهُ يَزْدَادُ فِيهِ
تَجَمُّلاً
Artinya: “Al-Qur’an adalah sebaik-baik teman bercengkrama, ceritanya tidak
membosankan, membaca dan mendengarkannya tidak menjenuhkan, bahkan tambah
menarik jika diulang-ulang”. (Al-Syathibi, Hirz al-Amani wa Wajh al-Tahani fi
al-Qira’at al-Sab’i: 2).
Seorang yang mencintai Al-Qur’an akan tampak darinya beberapa perkara: Pertama,
hatinya senang bila berjumpa (membaca) Al-Qur’an. Kedua, duduk bercengkrama
dengan Al-Qur’an dalam waktu yang lama tanpa rasa bosan. Ketiga, rindu menggelora
dalam hatinya bila ia jauh meninggalkan Al-Qur’an (lama tidak membaca
Al-Qur’an), dia akan berusaha untuk bersama Al-Qur’an. Keempat, mengikuti
arahan dan petunjuk Al-Qur’an serta merujuk kepada Al-Qur’an saat dia memiliki
problem dalam hidupnya, baik yang berskala kecil maupun yang besar. Kelima,
mengikuti perintah Al-Qur’an dan menjauhi larangannya (Khalid al-Lahim, Mafatih
Tadabbur Al-Qur’an wa al-Najah fi al-Hayat, 27-28).
Jika tanda-tanda di atas tampak dalam diri seorang, maka rasa cinta terhadap
Al-Qur’an masih ada dalam hatinya. Tapi jika tanda-tanda tersebut tidak ada
dalam diri seorang, maka rasa cintanya terhadap Al-Qura’an telah sirna.
Oleh karena itu, seorang ulama berkata: “Janganlah seorang ditanya tentang
dirinya kecuali Al-Qur’an, jika ia mencintai Al-Qur’an maka sesungguhnya ia
mencintai Allah dan Rasul-Nya”.
Bagaimana seorang mampu mencintai Al-Qur’an dan menggapai cintanya?
Mencintai sesuatu perlu perjuangan dan usaha, termasuk mencintai Al-Qur’an. Ada
beberapa cara agar mampu mencintai Al-Qur’an, salah satunya adalah;
Pertama, memperbanyak membaca Al-Qur’an. Membaca Al-Qur’an di sini bukan soal
kwantitas tapi kwalitas, yaitu membaca dengan tartil dan memahami kandungan
maknanya. Sebab dengan memahami maknanya akan tersingkap keindahan Al-Qur’an.
Hal ini perlu manajemen dan latihan agar senantiasa istiqamah supaya terbiasa.
Cinta akan tumbuh karena terbiasa.
Kedua, senantiasa membaca tentang keagungan dan kemukjizatan Al-Qur’an, sebab
dengan banyak membaca keagungan Al-Qur’an, hati akan terpaut untuk selalu
membaca Al-Qur’an.
Ketiga, memperbanyak membaca sejarah para sahabat, ulama salaf, dan ahlu
Al-Qur’an yang gemar membaca Al-Qur’an dan mengabdikan diri untuk Al-Qur’an.
Sebab dalam perjalanan hidup mereka terdapat uswah untuk diteladani, inspirasi
untuk diikuti.
Keempat, berdoa kepada Allah agar senantiasa diberikan kemudahan mencintai
Al-Qur’an dan mencapai cintainya. Doa adalah senjata orang mukmin.
اللّهُمَّ
لَا سَهْلَ إِلَّا مَا جَعَلْتَهُ سَهْلًا وَأَنْتَ تَجْعَلُ الحُزْنَ إِذَا
شِئْتَ سَهْلًا
Artinya: “Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali Engkau jadikan mudah, dan
Engkau jadikan kesusahan, jika Engkau berkehendak pasti mudah”.
اللّهُمَّ
ارْزُقْنِيْ حُبَّ القُرْآن وَالشَّوْقِ إِلَى قِرَاءَتِهِ
Artinya: “Ya Allah, anugerahkanlah aku mencintai Al-Qur’an, dan rindu
membacanya”.
Seorang yang Allah anugerahkan cinta terhadap Al-Qur’an, maka sesungguhnya ia
telah mendapatkan anugerah iman. Jika imam sudah dalam dada, maka mudah baginya
masuk surga. []
Ustadz Moh. Fathurrozi, Pengurus Jam’iyatul Qurra’ wal Huffadz NU Surabaya; Pembina Tahfidz Al-Qur’an Pondok Pesantren Darussalam Keputih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar