Membaca Al-Qur’an adalah aktivitas yang bernilai ibadah sangat besar, sebab setiap huruf yang dibaca bernilai sepuluh kebaikan. Ketika membaca Al-Qur’an seharusnya tidak hanya melafalkan setiap rangkaian huruf, susunan lafadz, dan kalimat hingga ayat, tapi sebaiknya disertai dengan perenungan (tadabbur) akan kandungan makna yang termuat dalam ayat-ayat tersebut, dan lebih baik lagi jika ajaran dan kisah-kisah yang termuat dalam ayat-ayat tersebut dijadikan ibrah (pelajaran) dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab seorang yang sekadar membaca Al-Qur’an tanpa disertai perenungan dan pemikiran, maka sesungguhnya dia diibaratkan hanya menyembah pada lafadz-lafadz tersebut (متعبدين بألفاظه).
Imam Nawawi dalam karyanya At-Tibyan fi Adab Hamalat Al-Qur’an mengatakan bahwa
hendaknya setiap qari’ (pembaca Al-Qur’an) ketika membaca Al-Qur’an dalam
keadaan khusyu’ dan merenungkan isi kandungan makna ayat yang dibaca. Sebab
tadabbur adalah tujuan utama dalam membaca Al-Qur’an. Ketika khusyu’ dan
merenungi isi kandungan maknanya, hati akan lapang dan tenang, jiwa pun akan
bercahaya terang. Terdapat banyak dalil Al-Qur’an, hadits, atsar sahabat dan
tabi’in yang menekankan pentingnya tadabbur kandungan makna Al-Qur’an. Di
antaranya Allah berfirman:
كِتَابٌ
أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو
الْأَلْبَابِ (٢٩)
Artinya: “Kitab (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar
mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat
mendapatkan pelajaran” (QS Shad: 29).
Imam Nawawi menyampaikan riwayat Imam Bahz bin Hakim yang menceritakan bahwa
suatu ketika Imam Zararah bin Aufa, yang merupakan seorang tabi’in, menjadi
imam pada shalat subuh. Beliau membaca Surat al-Mudatstsir, ketika sampai pada
ayat:
فَإِذَا
نُقِرَ فِي النَّاقُورِ (٨) فَذَلِكَ يَوْمَئِذٍ يَوْمٌ عَسِيرٌ (٩)
“Maka apabila sangkala ditiupkan, maka itulah hari yang serba sulit”.
Beliau jatuh pingsan dan meninggal. Imam Bahz bin Hakim berkata: “Saya adalah
salah satu orang yang membawa mayatnya” (Imam Nawawi, At-Tibyan fi Adab Hamalat
Al-Qur’an, Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1994, h, 82). Imam Zararah jatuh pingsan
hingga meninggal karena meresapi dan merenungi kandungan ayat yang dibacanya.
Secara definitif, tadabbur adalah berpikir komprehensif yang sampai pada akhir petunjuk kalimat dan menemukan tujuannya yang jauh. Sementara arti tadabbur Al-Qur’an adalah merenungi dan meresapi yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an untuk dipahami, diperoleh kandungan maknanya, hikmah-hikmahnya dan maksudnya.
Selain itu, tadabbur Al-Qur’an juga bisa berarti mengamalkan dan
mengimplementasikan isi kandungan maknanya, kerena pengamalan adalah buah dari
tadabbur itu sendiri. Tadabbur Al-Qur’an dan pengamalan isi kandungan maknanya
memiliki hubungan yang sangat erat, sebagaimana dikatakan oleh Sayyidina
Ali:
يا
حملة القرأن أو يا حملة العلم، اعملوا به فإنما العالم من عمل بما علم.
“Wahai penghafal Al-Qur’an atau pemilik ilmu, amalkan apa yang kau miliki, maka
sesungguhnya orang alim adalah orang yang mengamalkan ilmunya”.
Imam Hasan al-Bashri berkata:
وما
تدبر أياته الا باتباعه
“Tidaklah seorang merenungi ayat-ayat Al-Qur’an kecuali ia mengikuti (apa yang
terkandung di dalamnya). (Khalid al-Lahim, Mafatih Tadabbur Al-Qur’an wa
al-Najah fi al-Hayat, 21).
Lantas apakah orang awam mampu untuk tadabbur Al-Qur’an?.
Tadabbur Al-Qur’an adalah perkara yang mudah, siapapun mampu merenungi isi
kandungan Al-Qur’an. Secara tegas Al-Qur’an mengatakan bahwa ia merupakan kitab
yang mudah untuk dipahami kandungan maknanya.
وَلَقَدْ
يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
Artinya: “Dan sungguh telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan, maka
adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (QS al-Qamar:17).
Apalagi dewasa ini, telah tersedia Al-Qur’an terjemah yang memudahkan
pembacanya untuk tadabbur dan memahami kandungan kalam Ilahi. Pengajian tentang
tafsir Al-Qur’an pun sangat banyak dengan media daring ataupun luring.
Oleh sebab itu, tidak ada alasan yang mendasar untuk tidak merenungi ayat-ayat
Al-Qur’an dan mengambil pelajaran dari isi kandungan maknanya. Untuk memahami
kandungan ayat Al-Qur’an, baik tentang janji-janji Allah maupun ancaman-Nya,
pada hakikatnya tidak perlu harus memahami istilah-istilah ilmiah yang
mendalam, baik dari sisi gramatikal bahasa Arab, fiqih, ushul fiqh maupun yang
lainnya. Sebab secara garis besar, kebanyakan ayat-ayat Al-Qur’an sangat jelas
maknanya, mampu dicerna oleh seluruh kalangan, baik anak-anak, dewasa,
intelektual maupun yang tidak berpengetahuan (ummi).
Imam Ibnu Hubairah mengatakan bahwa salah satu tipu daya setan adalah
menjauhkan hamba-hamba-Nya dari tadabbur Al-Qur’an, sebab ia tahu bahwa
petunjuk itu akan muncul saat merenungi Al-Qur’an.
Suatu ketika ada seorang perempuan tua yang buta huruf--tidak bisa membaca dan
menulis--bermakmum kepada seseorang, saat sang Imam membaca ayat:
فَخَرَّ
عَلَيْهِمُ السَّقْفُ مِنْ فَوْقِهِمْ وَأَتَاهُمُ الْعَذَابُ مِنْ حَيْثُ لَا
يَشْعُرُونَ (٢٦)
Sang Imam tanpa sadar mengganti lafadz مِنْ فَوْقِهِم dengan
lafadz مِنْ تَحْتِهِمْ . Kemudian perempuan
tua tadi menegur sang Imam dengan ucapan: .مِنْ
فَوْقِهِم. Meskipun tidak bisa membaca dan menulis, ia mampu mencerna
kandungan makna yang dibaca oleh sang Imam tanpa harus memahami secara detail.
Secara logikapun, kata (السَّقْفُ )
yang berarti “atap” pasti berada di atas.
Demikian pula, teguran seorang a’rabi (orang kampung) yang mendengar seseorang
yang membaca ayat qasam, dia berkata:
من
ذا الذي أغضب الجليل حتى أقسم؟
“Siapakah yang membuat Allah marah hingga dia harus bersumpah?”.
Kata sumpah, dalam kebiasaan yang terjadi di tengah masyarakat, digunakan untuk
meyakinkan seseorang dan biasanya orang yang bersumpah dalam keadaan emosi yang
tidak stabil. Oleh karena itu, wajar jika seorang a’rabi (badui, orang kampung)
secara spontan mengajukan pertanyaan.
Sementara itu, dalam ilmu balaghah, lafadz tegas atau sumpah hanya bisa
digunakan bagi orang yang tidak percaya bahkan ingkar. Sementara bagi orang
yang percaya dan tidak mengingkari suatu ucapan, maka tidak perlu diberi
ketegasan apalagi sumpah.
Adapun tanda-tanda seseorang mampu merenungi Al-Qur’an dan mampu mengambil
'ibrah dari ajarannya adalah sebagai berikut: Pertama, dia mampu meneteskan air
mata saat membaca karena takut kepada Allah. Kedua, menyatunya hati dan pikiran
saat membaca Al-Qur’an. Ketiga, khusyu’ dan rendah diri di hadapan Allah.
Keempat, bertambahnya keimanan kepada Allah. Kelima, bergetar jiwanya saat
membaca Al-Qur’an karena takut kepada Allah kemudian muncul ketenangan dan
pengharapan. Keenam, dia merasa bahagia dan mencerahkan siapapun yang menjumpainya.
Ketujuh, gemar bersujud kepada Allah untuk mengagungkan-Nya
Seorang yang memiliki salah satu dari tanda di atas, maka sesungguhnya ia telah
mencapai pada tingkatan orang yang mampu merenungi Al-Qur’an. Tapi apabila dia
melewati hari-harinya tanpa menjumpai tanda-tanda di atas, maka ia telah
melewati keuntungan yang besar dan hanya mendapatkan kerugian dalam
hidupnya.
Untuk itu, seorang Muslim seharusnya selalu membuka akal dan hatinya untuk
senantiasa membaca Al-Qur’an sambil merenungi isi kandungan maknanya, serta
mengambil ibrah dari ajarannya. Seorang a’rabi (orang kampung) yang tidak
memiliki latar belakang pendidikan dan seorang yang buta huruf saja mampu untuk
mencerna isi kandungan Al-Qur’an dengan mudah, how about us? []
Ustadz Moh. Fathurrozi, Pengurus Jam’iyatul Qurra’ wal Huffadz NU Surabaya;
Pembina Tahfidz Al-Qur’an Pondok Pesantren Darussalam Keputih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar