Abdul Wahib Hasyim bin KH Muhammad Hasyim Asy’ari tercatat menjadi salah seorang tokoh sentral dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia dari kalangan pesantren. Ia turut menggerakkan dan melakukan diplomasi guna memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajah. Wahid Hasyim melakukan perjuangan tersebut pada usia yang relatif muda, termasuk ketika menduduki jabatan-jabatan strategis.
Pada usia 25 tahun Wahid Hasyim bergabung dengan Majelis Islam A’la
Indonesia (MIAI), federasi organisasi massa dan partai Islam saat itu. Setahun
kemudian atau pada saat usianya baru 26 tahun, Wahid Hasyim menjadi Ketua MIAI.
Kariernya terus menanjak dengan cepat. Ia menjadi Ketua PBNU pada usia 32
tahun, menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada usia
31 tahun, hingga Menteri Agama pada tiga kabinet (Hatta, Natsir, dan Sukiman)
pada usia 31 tahun.
Meskipun beliau adalah putra pendiri NU, beliau tetap menduduki jabatan mulai
dari bawah layaknya orang lain. Awalnya menjadi Sekretaris NU Ranting
Cukir-Jombang, Ketua PCNU Jombang tahun 1938, lalu menjabat kepngurusan PBNU
bagian Ma’arif (Pendidikan) tahun 1940, hingga akhirnya pada tahun 1946 beliau
terpilih menjadi Ketua Tanfidziyah PBNU karena menggantikan Kiai Mahfudz
Shiddiq yang meninggal dunia.
Sejarah mencatat, KH Wahid Hasyim tidak hanya memiliki jiwa organisatoris
tinggi, tetapi mampu menangkap dan menyikapi perubahan zaman untuk memperkuat
diplomasi dengan pihak penjajah. Dia juga ikut andil dalam merumuskan dasar
negara Pancasila. Ia merupakan prototipe produk pesantren yang melampaui
zamannya, termasuk ketika harus bersilang pendapat dengan ayahnya sendiri dalam
menyikapi perlawanan kultural terhadap penjajah.
Sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah, KH Hasyim Asy’ari dahulu pernah
mengeluarkan fatwa haram untuk memakai semua identitas penjajah, termasuk
pakaian. Jadi konteksnya melakukan perlawanan kultural terhadap penjajah. Fatwa
ini diambil Kiai Hasyim Asy’ari agar spirit perlawanan terhadap penjajah tumbuh
di dada bangsa Indonesia, terutama para santri. Hal ini cukup efektif karena
Belanda maupun Jepang dibuat kocar-kacir sehingga gerak-gerik kalangan
pesantren disoroti betul oleh penjajah.
Pakaian yang dilarang oleh KH Hasyim Asy’ari untuk melakukan perlawanan
kultural di antaranya celana, jas, dasi. Selain itu, KH Hasyim Asy’ari juga
melarang pesantren untuk mempelajari ilmu-ilmu umum, tak terkecuali bahasa
Inggris dan Belanda. Perlu dipertegas di sini bahwa konteksnya melakukan
perlawanan kultural. Sehingga penting mendudukkan konteks saat itu ketika
masyarakat melihat perkembangan zaman modern dan era milenial saat ini.
Tetapi, melihat perubahan sosial-masyarakat dan kondisi saat itu, KH Wahid
Hasyim ingin mereformasi langkah yang sudah dibuat oleh ayahnya. Karena bangsa
Indonesia tidak mungkin memahami gerakan-gerakan penjajah jika tidak mengerti
bahasa mereka. Sehingga bahasa penjajah juga menurut Kiai Wahid Hasyim perlu
dipelajari. Begitu juga dengan pakaian sebagai sebuah identitas. Untuk
keperluan diplomasi, pakaian seperti celana dan jas penting dikenakan agar
penjajah lebih bersikap terbuka karena secara kultural identitasnya dipakai.
Tidak ingin terlalu memperdebatkan pendapat anaknya, KH Hasyim Asy’ari justru
merasa senang Kiai Wahid Hasyim memiliki progresivitas pemikiran sendiri.
Karena langkah tersebut tidak hanya berhenti pada gagasan, tetapi juga
dilaksanakan secara nyata, bahkan ketika Kiai Wahid berupaya melakukan
diplomasi dengan Jepang untuk membebaskan Kiai Hasyim dari penjara.
Perjuangan melawan pendudukan Jepang bagi santri dan ulama pesantren tidak
kalah sulit. Apalagi ketika salah satu guru para ulama di Jawa, KH Hasyim
Asy’ari ditangkap Jepang karena tuduhan mengada-ada. Kontak fisik dan senjata
kerap terjadi, diplomasi dan perundingan terus dilakukan, sembari melakukan
riyadhoh-rohani untuk meminta kekuatan, perlindungan, pertolongan Yang Maha
Kuasa.
Dari jalan cukup panjang dalam melakukan perlawanan terhadap penjajahan Jepang,
KH Wahid Hasyim dalam banyak kesempatan seringkali menjelaskan isi ramalan Ronggowarsito
tentang Joyoboyo, bahwa Jepang hanya seumur jagung dalam menduduki Indonesia.
(KH Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren, 2001)
Kepercayaan tersebut ditegaskan oleh Kiai Wahid Hasyim harus menjadi dorongan
untuk berjuang. Ayah Gus Dur tersebut mengatakan, “Namun, diinsyafkan kepada
masyarakat bahwa perjuangan hendaklah jangan disandarkan pada ramalan-ramalan.
Perjuangan itu harus disandarkan kepada penyusunan kekuatan lahir dan batin,
pengorganisasian, dan tawakkal kepada Allah SWT.” Ini menunjukkan sikap kritis
Kiai Wahid Hasyim pada zamannya.
Dalam upaya menggerakkan masyarakat melakukan perlawanan itu, Kiai Wahid Hasyim
kerap mengunjungi daerah-daerah. Di Jakarta Kiai Wahid bekerja sama dengan
tokoh-tokoh nasional dan kalangan pemuda. Di daerah-daerah, beliau mempunyai
anak buah dari kalangan supir truk, bengkel mobil, kondektur kereta api, dan
pedagang keliling untuk melakukan tugas-tugas penghubung. Selain itu, hubungan,
jaringan, dan koneksi dengan dunia pesantren tambah diperkuat. Konsolidasi tak
biasa dari ‘Pasukan Rakyat Jelata’.
Suatu hari, seorang Pemuda Ansor Jakarta bernama Fatoni memberitahukan kepada
KH Saifuddin Zuhri bahwa seorang petani bernama Husin minta berjumpa dengan KH
Wahid Hasyim. Akhirnya kedua orang ini bertemu dan cukup lama mengadakan
pembicaraan. Setelah petani itu pergi, Kiai Wahid memberitahukan kepada Kiai
Saifuddin Zuhri bahwa petani tersebut tak lain adalah Tan Malaka, orang
terkemuka dalam memimpin gerakan di bawah tanah melawan Jepang, guru Adam Malik
dan Chaerul Saleh. (KH Saifuddin Zuhri, 2001: 274)
“Ente jangan lupa, Nabi kita Muhammad SAW pernah mengatakan, Al-Harbu Khid’ah,
bahwa peperangan selamanya penuh dengan tipu muslihat.” Pernyataan tersebut
dikatakan oleh KH Abdul Wahid Hasyim ketika membincang strategi perjuangan
menghadapi penjajah Nippon atau Jepang dengan Konsul Nahdlatul Ulama wilayah
Kedu, KH Saifuddin Zuhri pada tahun 1943. []
Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar