Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 1999-2004 KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh semasa hidupnya, telah melakukan dan merintis upaya pengembangan dan pemerberdayaan masyarakat melalui pesantren.
Kiai Sahal memulai pengembangan masyarakat ini dengan berbagai gagasan dan
pemikiran yang dikembangkan di Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati, Jawa
Tengah bersama komunitas pesantren yang ada di sana. Kemudian gagasan itu
menjadi sebuah lembaga pemberdayaan masyarakat.
Pengembangan masyarakat ini bermula dari diskusi-diskusi yang dilakukan Kiai
Sahal bersama KH Abdullah Salam dan KH Muzayyin Haramain pada tingkat lokal di
Kajen, pada 1970. Para kiai ini kerap melakukan diskusi dengan perhatian cukup
besar kepada masyarakat yang ada di sana.
Ketika itu, masyarakat sangat sulit mengakses fasilitas kesehatan seperti
puskesmas. Rumah sakit pun masih jauh dari jangkauan masyarakat sekitar. Hal
ini masih sangat menjadi persoalan serius pada tahun 1970 di Kajen dan
sekitarnya.
“Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat kala itu difokuskan pada upaya agar
masyarakat bisa membangun klinik sendiri, sekaligus mempermudah akses ke klinik
tersebut,” ujar Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PBNU KH Abdul Ghofar
Rozin dalam Seminar Nasional bertajuk Aktualisasi Pesantren Kiai Sahal Pasca UU
Pesantren yang ditayangkan Youtube IPMAFA TV, Rabu
(27/10/2021).
Langkah konkret yang dilakukan untuk mempermudah masyarakat mengakses fasilitas
kesehatan kala itu adalah dengan iuran di level RT. Tujuannya agar ketika ada
warga yang sakit maka dana yang terkumpul itu bisa dipakai sebagai ‘ansuransi’
untuk berobat. Ini yang terjadi di awal-awal rintisan Kiai Sahal dalam upaya
pengembangan masyarakat pada 1970-an.
Kemudian upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat itu berlanjut pada
gagasan yang lebih konkret. Terutama soal kemandirian sosial dan ekonomi
masyarakat yang difasilitasi oleh pesantren-pesantren.
“Ini melibatkan dua hal yaitu masyarakat secara langsung dan bagaimana
pesantren menjadi fasilitator pengembangan masyarakat,” terang Gus Rozin.
Lalu pada awal 1980-an, diskusi yang dilakukan Kiai Sahal bersama beberapa kiai
di Kajen itu mengemuka dan disambut oleh gagasan-gagasan yang dibawa KH
Abdurrahman Wahid serta para aktivis di Jakarta.
Dari situ, kemudian muncul lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menjadi
tumpuan masyarakat, sehingga pesantren juga membuat LSM atau yang diberi nama
Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM).
“Dalam waktu yang tidak lama, pada pertengahan 1980-an, ada banyak BPPM yang
lahir di pesantren-pesantren. Tidak hanya di pesantren-pesantren NU, tetapi
juga di pesantren-pesantren Muhammadiyah di berbagai wilayah,” ujar Gus Rozin.
BPPM lantas lahir di sebagai sebuah institusionalisasi gagasan pengembangan
masyarakat yang merupakan inisiatif dari pesantren. Dalam hal ini, pesantren
memposisikan sebagai agen perubahan sosial. Pesantren menjadi katalisator sekaligus
dinamisator masyarakat sekitar.
Diskusi-diskusi mengenai pengembangan dan pemberdayaan masyarakat semakin
berkembang. Gus Rozin menyebutkan beberapa pihak yang terlibat atas kelahiran
BPPM di pesantren ini. Di antaranya, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat (P3M); Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan
Sosial (LP3ES), beserta jejaring sosial kemasyarakat yang lain.
Kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat kemudian berkembang cukup masif. Di
awal, gagasan Kiai Sahal bersama para kiai yang lain di Kajen berangkat dari
pesantren yang menjadi fasilitator untuk akses kesehatan masyarakat agar
menjadi mudah ketika berobat.
Lalu, berkembang menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih masif. Salah satunya
adalah teknologi tepat guna. Seperti membuat bangunan yang lebih murah tetapi
kokoh dan aman. Mengingat di sekitar Kajen, rumah masyarakat ketika itu masih
menggunakan bambu.
“Sehingga BPPM memperkenalkan adanya rumah yang sederhana. Lebih murah dari
rumah tembok tetapi dengan kekuatan yang tidak kalah kokoh. Kemudian masyarakat
mengakses air bersih tanpa listrik,” terang Gus Rozin.
Pada pertengahan 1980-an, BPPM semakin berkembang. Kemudian membentuk kelompok
swadaya masyarakat (KSM) yang terdiri dari beragam keahlian seperti peternakan
bebek, keterampilan menjahit, pertanian, perdagangan kerupuk, dan
kesehatan.
KSM merupakan wadah dengan segmentasi tertentu di dalam masyakarat yang berisi
sekitar 15 kepala keluarga di dalamnya. Di KSM, masyarakat diberikan pelatihan
secara berkelanjutan dan dukungan permodalan yang disebut sebagai pinjaman
bergulir. Ini menjadi awal pengembangan kelompok.
Kemudian kelompok yang mendapat pinjaman itu berkewajiban untuk mencicil dan
mengembalikan dana itu kepada BPPM untuk dialihkan ke KSM yang lain, sehingga
dana tersebut bisa bergulir.
Pada 1990-an, BPPM sudah berhasil menaungi 252 KSM dan sudah bisa mandiri
dengan dukungan dana bergulir itu. Bahkan, masing-masing KSM sudah memiliki
usaha mandiri. Lalu, ikhtiar BPPM yang lain adalah melakukan upaya advokasi
terhadap petani.
“Ada dua kelompok, petani dan industri. Kelompok industri ini adalah pabrik
kacang terbesar di Indonesia yaitu Kacang Garuda dan Dua Kelinci.
Sebagian besar kacangnya disuplai dari para petani di Pati. Ini sering
menimbulkan masalah, karena ketika panen besar harganya jatuh,” jelas Gus
Rozin.
“Kami di pesantren melakukan upaya advokasi untuk berbicara kepada industri
bahwa petani itu membutuhkan stabilitas dan kepastian harga. Kepada petani kita
menyampaikan bahwa harus ada penignkatan mutu dan peningkatan kepastian panen,”
imbuhnya.
Di sini, pesantren yang diwakili BPPM berhasil mendudukkan dua pihak, industri
dan petani. Kemudian muncul solusi yakni terdapat dukungan modal dari industri
untuk petani dan kepastian harga ketika panen raya. Selain itu, ada harga
minimal yang harus dibayar pabrik kepada petani.
BPPM kemudian memberikan fasilitas akses modal yang lebih besar. Ada
pembicaraan dengan LP3ES sehingga pesantren bisa menginisiasi pendirian lembaga
mikro berupa Bank Pekreditan Rakyat (BPR) pada 1994-1996.
Dijelaskan Gus Rozin, ketika itu belum ada keuangan syariah tetapi baru ada
Bank Muamalat di level nasional yang berdiri pada 1994. Itu pun masih sangat
sulit diakses karena lokasi bank di Jakarta. Sementara masyarakat di Kajen
membutuhkan akses modal yang sifatnya mikro, bahkan ultra-mikro.
Karena tidak ada pilihan lain, maka dibuatlah bahtsul masail. Dilakukan kajian
agar pendirian bank yang bersifat konvensional ini memiliki aspek hukum yang
jelas dari sisi fikih dan ushuli. Diputuskan, boleh karena berbagai alasan.
Kemudian berdirilah BPR Artahuda Abadi di Pati.
“Proses pendiriannya tidak semata-mata pada persoalan kapitalisasi tapi punya
sejarah panjang. Sejarah pendampingan pesantren kepada KSM, dalam mengembangkan
masyarakat sekitar melalui berbagai cara, pada berbagai keahlian dan profesi,
yang ketika berkembang membutuhkan uluran modal yang lebih besar yaitu lembaga
keuangan mikro,” kata Gus Rozin.
Ditegaskan, hal itu merupakan wujud nyata dari gagasan pengembangan masyarakat
Kiai Sahal yang menjadi sebuah kegiatan terstruktur dan terlembaga. Dukungan
yang semula hanya ditangani LSM yang non-struktural dan sangat segmentatif
kemudian menjadi lembaga yang lebih formal.
BPPM masih terus berjalan hingga 2010. Namun pada 2008, dua tahun sebelum BPPM
diputuskan berhenti, Kiai Sahal mengamanatkan kepada Sekolah Tinggi Agama Islam
Mathaliul Falah (STAIMAFA, kini IPMAFA) agar gagasan pengembangan masyarakat
yang dilakukan BPPM bisa diwujudkan secara masif.
Dari situ, lahirlah Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam. Harapannya,
pengalaman BPPM di Maslakul Huda yang dirintis sejak 1970 hingga 2010 itu bisa
dijadikan sebagai kekayaan pengalaman yang menjadi dasar pengembangan
masyarakat yang dikembangkan Pesantren Mathaliul Falah sekarang.
“Ini sekilas tentang Pesantren Maslakul Huda yang melakukan kegiatan-kegiatan
nyata yang sifatnya teknis. Gambaran sekilas yang dilakukan Kiai Sahal dari
1970-2010. Mulai dari hal-hal sederhana bersifat lokal hingga dilembagakan.
Inilah sebuah gagasan pemberdayaan yang kemudian berkembang menjadi lembaga,”
tandas Gus Rozin. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar