Salah satu dari sekian banyak masjid-masjid bersejarah di pesisir Jakarta adalah Masjid Al-Alam Marunda. Masjid ini beralamat di Jalan Marunda Kelapa Nomor 1, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Terletak tak jauh dari pantai Jakarta.
Begitu pengunjung hendak masuk kawasan masjid, terdapat sebuah gapura yang
bertuliskan kedua kalimat syahadat dalam bahasa Arab dan nama Masjid Al-Alam
Marunda yang di kedua sisinya terdapat kaligrafi lafadz Allah dan Muhammad.
Bangunan utama masjid tak begitu luas, lebih kurang hanya seluas 12x12 meter
persegi, ditambah dengan bangunan baru untuk tempat sholat perempuan yang hanya
seluas lebih kurang 4x8 meter persegi.
Di sebelah barat masjid (diukur dari tempat pengimaman), terdapat beberapa
makam. Ada dua makam keramat. Yaitu makam Kiai Jamiin bin Abdullah dan makam
Syeikh Abdul Halim bin Hayyi Yahya. Di sebelah Barat Daya adalah rumah pitung.
Kira-kira jika ditarik garis lurus hanya sejauh 150 meter.
Di sebelah Timur masjid,terdapat sebuah pendopo untuk peristirahatan para
pengunjung. Tak jauh dari pendopo, terdapat sebuah sumur yang banyak orang
bilang kalau sumur itu memiliki 3 rasa yaitu, asin,manis dan tawar.
Di sebelah selatan –selingkup gapura masjid-, terdapat halaman yang cukup luas,
sedangkan di sebelah selatan luaran gapura masjid terdapat beberapa rumah
warga. Di sebelah utara masjid atau di belakang pendopo adalah laut dan hutan
mangrove.
Bisa dibilang bahwa memang bukanlah hal yang asing terkait beragam versi
mengenai sejarah. Sejarah tentang apapun. Bisa diambil contoh seperti Sejarah
datangnya Islam di Nusantara,misalkan. Banyak para tokoh yang berbeda pandangan
tentang awal mula masuknya Islam di Nusantara. Ada yang mengatakan Islam masuk
ke Nusantara dari Arab,ada yang berteori dari India,ada yang meyakini dari
Persia,dan seterusnya. Rasanya aneh memang, bila membicarakan sejarah hanya
terkungkung pada satu versi saja. Sudah menjadi satu ketetapan bagi sejarah
untuk seperti itu.
Begitu pun sejarah berdirinya Masjid Al-Alam Marunda. Menurut Kartum Setiawan
dan Adityo B. Hardoyo, penulis buku Masjid-masjid Bersejarah di Jakarta, ada
dua versi yang popular di masyarakat sekitar terkait sejarah berdirinya Masjid
Al-Alam. Versi pertama ada hubungannya dengan penyerangan Fatahillah ke Sunda
Kelapa tahun 1527. Versi kedua,masjid Al-Alam dibangun oleh pasukan Mataram
pada abad ke-17.
Salah seorang tokoh setempat bercerita, bahwa masjid Al-Alam itu dibangun oleh
pasukan Mataram untuk dijadikan tempat persinggahan. “Masjid ini dibangun oleh
pasukan Mataram untuk dijadikan tempat persinggahan,yang pada saat itu Mataram
berada dibawah pimpinan Sultan Agung,” urai Habib Agus, pengurus Masjid Al-Alam
Marunda.
Memang benar,kalau kita melihat SK Gubernur DKI Jakarta, yang menetapkan Masjid
Al-Alam sebagai Bangunan Cagar Budaya, yang terpampang pada salah satu bagian
tembok masjid,di situ tertulis bahwa masjid Al-Alam Marunda dibangun pada abad
17 oleh pasukan Mataram ketika menyerbu Batavia (1628-1629).
Ia juga mengatakan bahwa salah satu kedatangan pasukan Mataram adalah untuk
menyebarkan agama Islam ke tanah Betawi. “Kedatangan pasukan Mataram ke tanah
Betawi/Sunda Kelapa itu dalam rangka membantu menyiarkan agama Islam,” jelas
Habib Agus.
“Dalam pasukan Mataram juga ada ulama-ulamanya,diantaranya Syeikh Nurul Ahmad
Nur Muhammad dan Habib Abdul Halim bin Hayyi Yahya,” imbuh habib yang memilik
marga Al-Khon itu.
Asal Mula Nama Al-Alam
Masjid yang lebih dikenal dengan nama Masjid Al-Alam Pitung ini juga memiliki cerita terkait asal mula namanya. Bahkan masyarakat dari luar Marunda memberi nama khusus pada masjid Al-Alam. Diantaranya Masjid Al-Alam Pitung dan Masjid Pitung. Karena memang lokasi masjid tak begitu jauh dari lokasi “rumah” Pitung. Selain itu juga menurut cerita masyarakat setempat,biasanya saat Pitung sedang diburon oleh kompeni,salah satu tempat persembunyiannya adalah Masjid tersebut.
“Dikasih nama Masjid Si Pitung mah sama orang-orang luar Marunda,ya mungkin
memang karena ga begitu jauh juga (lokasi masjid dari rumah Pitung),” tutur
alumnus Pondok Pesantren Kempek tersebut.
Nama Al-Alam disematkan hanya baru beberapa dekade,tepat saat ditetapkan masjid
tersebut sebagai bangunan cagar budaya tahun 1972 oleh Gubernur DKI Jakarta
saat itu,Pak Ali Sadikin. “Dulu (namanya) bukan Al-Alam, tapi Masjid Agung Al-Auliya`.
Dikasih nama Al-Auliya` juga kesepakatan bareng-bareng (masyrakat sekitar
masjid) karena ada andil para wali (saat pembangunan). Nah, tahun 1972 oleh
Gubernur DKI Jakarta,Pak Ali Sadikin,disahin (ditetapkan) jadi cagar
budaya,terus diubah (namanya) jadi Al-Alam,begitu,” papar Habib yang mengisi
pengajian Kitab Riyadhul Badi`ah setiap Ahad pagi di Masjid Al-Alam itu.
Habib Agus Al-Khon berbeda dengan kebanyakan orang. Kebanyakan orang mengamini
bahwa pembangunan masjid itu hanya berlangsung satu malam saja, walaupun cerita
tentang pembangunan masjid yang berlangsung hanya satu malam itu hanyalah
cerita turun temurun. “Pembangunan Cuma semalem itu cuma fiktif,” angkal beliau
dengan tidak memberikan alasan.
Terlepas dari perbedaan keyakinan diatas, Masjid Al-Alam memiliki dampak yang
cukup baik bagi masyarakat sekitar. Terutama di bidang ekonomi. Terbukti dengan
banyaknya para pedagang di sekitaran masjid.
Sumur Tiga Rasa
Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh penulis di bagian awal tulisan,bahwa terdapat sebuah sumur di lingkup masjid Al-Alam Marunda.
Kita tahu,dahulu sebelum menggunakan kran,orang-orang yang ingin berwudhu,kalau
tidak di kali atau sungai, pasti di sumur. Oleh karenanya banyak orang-orang
dulu membuat sumur di sekitaran masjid dan musolla agar tidak jauh-jauh
mengambil air wudhu di sungai atau kali.
Ada satu cerita menarik dari sumur selingkup masjid Al-Alam. Konon menurut masyarakat setempat bahwa sumur itu memiliki tiga rasa,yaitu asin,manis dan tawar. “Sumur yang deket pendopo itu punya tiga rasa. Asin, manis sama tawar, ucap Pak Mamat, pemilik warung di sekitaran masjid.
Namun Habib Agus menjelaskan bahwa rasa sumur tersebut relatif sama denga
sumur-sumur yang lain. “Rasa sumur mah sama, sama (sumur) yang laen. Yang
bilang punya tiga rasa mah Cuma sugesti dia doang. Rasa mah sama aja (dengan
sumur lain),” jelasnya.
Beliau juga memaparkan tentang sejarah sumur tersebut, umur sumur tesebut juga
tidak selisih begitu jauh dengan penetapan masjid Al-Alam sebagai cagar budaya.
“6 Agustus 1990, sumur itu dibikin sama masyarakat sekitar buat wudhu dan lainnya,
emang dulu juga kan aer pam belom masuk ke Marunda. Dulu sebelom ada sumur
orang-orang ngambil wudhu di seberang, yang sekarang jadi KBN (kalau ditarik
garis lurus, kira-kira berjarak satu kilometer), jelas Habib Agus.
Kegiatan di Masjid Al-Alam Marunda
Setiap masjid pasti memiliki kegiatan-kegiatan rutinan. Begitupun dengan Masjid
Al-Alam Marunda.
Tujuan penulis mencantumkan kegiatan rutinitas di masjid Al-Alam Marunda adalah
agar para pembaca bisa tahu kegiatan rutinitas di Masjid Al-Alam Marunda.
Berikut adalah kegiatan-kegiatannya;
1. Bakda Ashar, Senin-Jumat,pengajian anak-anak
2. Setiap malam Jumat,dari Maghrib-Isya diadakan pembacaan tawasul,Yasin,Tahlil dan Rotib Al-Haddad
3. Ahad Shubuh,setelah sholat berjamaah,pengajian kitab kuning Riyadhul Badi`ah oleh Habib Agus Al-Khon
4. Pengajian Bulanan. Setiap Ahad pertama,Pengajian Kitab Riyadh Al-Sholihin oleh Habib Agus Al-Khon
5. Acara Tahunan. Acara-acara keagamaan yang menjadi tradisi setempat.
Syekh Nurul Ahmad Nur Muhammad dan Habib Abdul Halim bin Hayyi Yahya
Di dalam pasukan Mataram juga terdapat para ulama, diantaranya adalah Syeikh Nurul Ahmad Nur Muhammad dan Habib Abdul Halim bin Hayyi Yahya.
Di salah satu sudut sekitar kawasan Masjid Al-Alam ada salah satu tempat
berbentuk rumah yang di dalamnya terdapat bangunan seperti makam. Yang mana
sebenarnya itu bukan benar-benar makam tempat dikuburnya seseorang pada
umumnya. Tempat itu hanyalah petilasan saja. Petilasan Habib Abdul Halim bin
Hayyi Yahya. “Sebetulnya itu bukan makamnya (Habib Abdul Halim), makamnya di
Baqi, Madinah sana. Di sini cuma petilasannya,” ujar Habib Agus.
Bahkan yang menginisiasi adanya petilasan Habib Abdul Halim di dekat masjid
Al-Alam Marunda, dan memerintah untuk dibuatkan suatu bangunan seperti makam
adalah Gus Dur, yang saat itu masih menjabat sebagai Presiden RI ke-4. “Dulu
waktu Gus Dur jadi Presiden, beliau ngasih tau kalo di dekat masjid ada
“makamnya” Habib Abdul Halim, akhirnya beliau memerintah orang-orang cabang
(PCNU) Jakarta Utara, salah satunya ayah saya, Sayyid Rahmat Iman, supaya
dibikin seperti makam,” cerita beliau.
Gus Dur mengumpamakan Habib Abdul Halim bin Hayyi Yahya itu seperti Amr bin
Ash, Gubernur Mesir zaman pemerintahan Umar bin Khattab. “Habib Abdul Halim itu
salah satu mata-matanya (intelijen) Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung.
Karena kecerdikan dan ketajaman berpikirnya, Gus Dur pernah bilang kalau Habib
Abdul Halim itu ‘Amr bin ‘Ash-nya saat itu (di masa itu),” jelas Habib Agus.
Ulama yang ada dalam pasukan Mataram itu tak hanya Habib Abdul Halim, ada satu
Ulama lagi yaitu Syeikh Nurul Ahmad Nur Muhammad. Ia adalah salah satu penggawa
Cirebon yang diutus oleh Kesultanan Cirebon untuk membantu Mataram, di bawah
jenderal Mataram, Tumenggung Bahurekso, menyebarkan agama Islam di Sunda
Kelapa.
“Kalau Syeikh Nurul Ahmad Nur Muhammad itu dia orang Cirebon, salah satu
Penggawa Cirebon. Dia diutus oleh kesultanan Cirebon untuk membantu Mataram
yang dipimpin sama Bahurekso, Jenderal Mataram saat itu, untuk menyebarkan
agama Islam di wilayah Sunda Kelapa.Ia wafat dan dimakamkan di Baqi juga, sama
kaya Habib Abdul Halim,” ujar Habib Agus terkait Syeikh Nurul Ahmad. []
M. Qurratul Ainul Chotib, mahasiswa program studi Sejarah Kebudayaan Islam
Unusia Jakarta, tinggal di Cilincing Jakarta Utara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar