Keterlibatan Nahdlatul Ulama (NU) dalam pusaran politik pasca-kemerdekaan mendapat tantangan yang tidak semakin mudah karena menghadapi penjajahan dalam bentuk lain. Penjajahan tersebut muncul dalam bentuk pemberontakan atau bughot terhadap pemerintahan yang sah, baik dari kelompok Islam konservatif, DI/TII maupun dari komunisme yang mewujud dalam Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tidak lama setelah Republik ini diproklamasikan, bangsa dan negara Indonesia
‘ditikam’ dari belakang oleh PKI dengan melakukan pemberontakan pada 1948.
Tidak lama kemudian, muncul geger pemberontakan yang dilakukan oleh DI/TII.
Pada masa PKI masyarakat dihadapkan pada dua pilihan, ikut Muso-Amir
Syarifuddin (PKI) atau ikut Bung Karno dan Bung Hatta (pemerintahan yang sah).
Akhirnya, rakyat dan NU memilih pemerintahan yang sah.
Demikian juga ketika Kartosuwiryo melakukan pemberontakan dengan gerbong DI. Ia
mengklaim sebagai amirul mukminin dengan tujuan untuk membentuk pemerintahan
tandingan. Mereka menentang pemerintahan sah Soekarno.
Sebagai organisasi berbasis keislaman, NU di bawah pimpinan KH Abdul Wahab
Chasbullah menugaskan Kiai Masykur, Menteri Agama saat untuk mengonsolidasikan
para ulama Indonesia sejak 1952 untuk menyelenggarakan beberapa kali pertemuan.
Hal itu untuk menyikapi dualisme kepemimpinan Islam tersebut.
Akhirnya pada tahun 1954, para ulama Ahlussunnah wal Jamaah yang dipelopori NU
dengan memilih Bung Karno sebagai pemerintah yang sah sebagai waliyul amri.
Abdul Mun’im DZ dalam KH Abdul Wahab Chasbullah: Kaidah Berpolitik dan
Bernegara (2014) menjelaskan bahwa kala itu umat Islam mengamini pandangan NU.
Dengan demikian, kekuatan DI/TII jadi terisolir dan berhasil ditundukkan secara
perlahan.
Dalam hal pemberian status amri ini, Kiai Wahab Chasbullah merupakan juru
bicara yang sangat lantang dengan hujjah-hujjah-nya yang kokoh tak terbantahkan
sehingga jauh dari sikap oportunisme. Apa yang dilakukan oleh para kiai NU
semata-mata sebagai bentuk pembelaan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Dijelaskan juga oleh Abdul Mun’im DZ dalam Runtuhnya Gerakan Subversif di
Indonesia (2014), sejumlah tentara yang tertinggal di Jawa Barat tersebut diorganisir
kemudian dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII).
Setelah itu mereka merancang Negara Islam Indonesia (NII) yang kemudian pada 10
Februari 1948 dan pada 25 Agustus 1948 dikeluarkan maklumat Pemerintah Islam
Indonesia yang menandai berdirinya Negara Islam menggantikan Republik Indonesia
yang dianggap kafir dan komunis.
Kondisi keamanan nasional seketika kacau apalagi PKI merespons DI/TII yang
menganggap bahwa Indonesia merupakan negara komunis dengan menggelorakan
perlawanan. PKI mengadakan pemberontakan di Madiun pada 18 September 1948. Jika
DI/TII ingin mendirikan Negara Islam, PKI berupaya menegakkan Negara Soviet
Indonesia.
Penghianatan yang dilakukan oleh DI/TII dan PKI ini mendorong NU sebagai
satu-satunya organisasi yang loyal terhadap NKRI untuk segera mengangkat
Soekarno sebagai waliyyul amri yang sah sehingga diharapkan bisa menyingkirkan
semua yang memberontak dan memusuhi negara.
Sikap NU dan pesantren yang tegas terhadap aksi pemberontakan menyebabkan
mereka dimusuhi oleh DI/TII. Beberapa perangkat dakwah NU menjadi sasaran
teror. Pesantren, masjid, madrasah NU dibakar, bahkan beberapa kiai diculik dan
harta benda dirampas dengan tidak berperikemanusiaan. Bahkan salah satu kiai
NU, KH Idham Chalid menjadi sasaran pembunuhan.
[]
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar