Samudra-samudra Pengetahuan
Nabi sallallahu 'alayhi wasallam
Bismilahirrahmanirrahim
Walhamdulillah Wasshalatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa'ala Aalihi Washahbihi
Waman Walaah amma ba'du…
Subhanaka!
Subhanaka! Subhanaka! [ya
Allah!]
Halaman-halaman
baru. Halaman-halaman yang tak terbatas. Semua yang dimiliki Allah Yang Maha
Agung adalah tak terbatas. Jika kalian mampu untuk menemukan suatu limit atau
batas dari bilangan, kalian boleh untuk berbicara sedikit tentang
karunia-karunia Allah Ta'ala. Karena itulah, Allah 'Azza wa Jalla mengatakan
bahwa seandainya samudera dan lautan menjadi tinta, dan pohon-pohon menjadi
pena untuk menulis, maka itu semua hanya akan menjadi setitik zarah kecil dari
pengetahuan surgawi yang dimiliki Allah Ta'ala. Dan tinta tersebut akan habis,
bahkan jika seandainya kalian membawa tujuh samudera bukan hanya satu samudera.[1]
Bahkan
seluruh samudera yang menjadi tinta itu akan habis dan kering, sedangkan
pengetahuan dan ilmu yang Allah Subhanahu
wa Ta'ala terus karuniakan pada Penutup Para Nabi sallAllahu 'alayhi wasallam,
tak akan pernah habis, karena beliaulah satu-satunya yang berbicara mewakili
Allah Ta'ala – yang pertama! Allah Ta'ala tak pernah berbicara pada siapa pun
yang lain dalam Hadirat Ilahiah-Nya kecuali pada dia yang paling terhormat di
antara seluruh ciptaan, Sayyidina Muhammad sallAllahu
'alayhi wasallam. Tak seorang pun mampu mendekati Hadirat Ilahi
seperti Penutup para Nabi sallAllahu
'alayhi wasallam. Allah Ta'ala mula-mula menciptakan ruhnya, ruhnya
yang berkilau bercahaya, dan ruh tersebut adalah 'nur'. Dan dari 'nur' tersebut, Allah menciptakan (segala
sesuatu lainnya, red.)! Segala sesuatu diciptakan (oleh-Nya) dari 'nur' tersebut. Tak
seorang pun atau apa pun mampu mencapai langsung esensi (Dzat) dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tak
ada yang dapat mencapainya – tak mungkin. Hanya melalui Penutup para Nabi –
ringkasan dan esensi dari seluruh ciptaan adalah bersama beliau sallAllahu 'alayhi wasallam.
Itu telah dikaruniakan pada beliau, dan karunia tersebut terus berlanjut bagi
beliau tanpa berhenti, mengalir, tak pernah berhenti, tak pernah terputus!
A'udhu
billahi mina-sh-shaitani-r-rajim, bismillahi-r-Rahmani-r-Rahim. La haula wa la
quwatta illa billahi-l 'aliyyi-l 'adhim.
Sultan-ul-Arifin[2] Aba Yazid al-Bisthami, semoga
Allah merahmatinya, (menasihati kita) untuk menjaga dan memelihara zikir
mereka, untuk menjaga tetap mengingat mereka, untuk berusaha selalu bersama
dengan para pewaris dari Penutup para Nabi, untuk berusaha agar ruh kalian (selalu)
berada dalam samudera-samudera dari ruh-ruh suci mereka; karena setiap orang
dari mereka – Awliya'
(para Waliyyullah
– kekasih Allah), para pewaris dari Penutup para Nabi, para Grand Wali
(Wali-wali besar) tersebut – telah dianugerahi samudera-samudera pula. Tetapi,
samudera-samudera milik mereka, bahkan seandainya seluruh samudera milik para
Nabi dan Wali dikumpulkan bersama dan disatukan, jika itu semua dibandingkan
dengan apa yang telah dianugerahkan Allah Ta'ala pada Penutup para Nabi, yaitu
Rasulullah sallAllahu
'alayhi wasallam, seluruh samudera mereka itu hanyalah bagaikan
setetes air yang menempel di ujung jarum ketika kalian mencelupkan jarum itu
sesaat ke dalam suatu samudera. Hanya seperti itulah perbandingan seluruh
samudera (milik para Nabi dan Wali) dengan samudera milik Penutup Para Nabi sallAllahu 'alayhi wasallam.
Dan seluruh Awliya' dan para Wali, terutama Grand Wali, Grand Syaikh,
orang-orang pada barisan pertama, yang dekat dengan Penutup para Nabi,
Sayyidina Muhammad sallAllahu
'alayhi wasallam, mereka mengambil secara langsung dari beliau dan
mereka telah diberi lebih banyak dari yang lain. Dan ruh-ruh mereka tengah
meminum 'air' dari samudera-samudera itu dan ruh-ruh mereka pun menjadi
samudera-samudera. Ruh dari setiap orang dari mereka adalah bagaikan sebuah
samudera dan hanya Nabi sallAllahu
'alayhi wasallam yang mengetahui apa yang ada dalam samudera
tersebut. Allah tentu saja mengetahui segala sesuatunya; tetapi, pada maqam [3] dari ciptaan
(makhluq), apa yang telah dikaruniakan pada seluruh Nabi, dan demikian pula
pada para Nabi-nabi besar, Awliya' besar, Syaikh-syaikh besar – mereka yang
berada pada saf pertama pewaris Rasulullah sallAllahu
'alayhi wasallam – hanya Nabi sallAllahu
'alayhi wasallam-sajalah yang mengetahuinya. Dan apa yang berada
dalam samudera milik setiap orang, mereka mengetahuinya, demikian pula Nabi sallAllahu 'alayhi wasallam
mengetahuinya.
Karena
itulah, mereka memiliki alam semesta-alam semesta, 'awalim', ciptaan-ciptaan dalam
samudera-samudera mereka. Dan ciptaan tersebut adalah suatu karunia dari
Penutup para Nabi sallAllahu
'alayhi wasallam. Dan karunia Tuhannya bagi dirinya terus bertambah
lebih banyak dan lebih banyak, dan karunia tersebut tidaklah tetap sama. Allah
Ta'ala berfirman: "Wahai
hamba-Ku yang tercinta! Wa ladaynaa maziid! [4] Aku memberi dan tak akan pernah
berhenti. Apa yang Ku-karuniakan padamu tak akan pernah berakhir".
Karena itulah, apa yang dikaruniakan pada RasulAllah sallAllahu 'alayhi wasallam
ketika beliau bersama kita, tidaklah sama saat ini. Setiap detik, setiap
tarikan nafas, karunia tersebut digandakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Karena
itulah, ketika kami berkata tentang Aba Yazid al-Bisthami (r.a.): Jagalah
Auliya', berusahalah untuk berada bersama mereka, bahkan sekalipun hanya dengan
nama-nama mereka dan dengan asosiasi/majelis mereka. Saat kita menyebut
nama-nama mereka, suatu kasyf
[5] atau pembukaan datang pada diri kita. Tidak kosong. Nabi sallAllahu 'alayhi wasallam
mengatakan bahwa saat kita menyebut orang-orang yang salih – para Wali, Grand
Wali, para Nabi, Nabi-nabi Besar, dan Penutup para Nabi, 'tanzil-ur-Rahmah', rahmah
dari samudera-samudera rahmah akan mendatangi diri kita. Karena itulah, 'manakib-ul-aulia'
(pembacaan kisah para Wali) diadakan. Quran Suci menyebut pula nama-nama para
Nabi, karena setiap kali kita menyebut nama mereka, rahmah yang berlimpah dari
samudera-samudera rahmah mengaliri diri kita. Karena itulah, diulang
berkali-kali (dalam Quran) akan apa yang terjadi pada Bani Israil, apa yang terjadi
pada Sayyidina Adam, apa yang terjadi pada Sayyidina Nuh, apa yang terjadi pada
Sayyidina Ibrahim dan pada Nabi-nabi lain. Ini adalah untuk menerima kemuliaan
dari mereka, untuk mengambil bagian dari 'nur'
mereka, dari cahaya-cahaya ilahiah milik mereka, agar datang pada dirimu. Dan
ini adalah suatu persiapan bagi kalian untuk kehidupan abadi kalian, karena
keabadian dapat menampung sebanyak apa pun yang telah dikaruniakan pada kalian,
tanpa batas. Mereka yang berada pada (atau berusaha untuk) kehidupan abadi dan
memiliki target untuk meraih keabadian, mereka boleh meminta lebih dan lebih –
tak terbatas. Sama seperti suatu pesawat terbang yang tengah terbang melayang –
semakin banyak petrol (minyak bahan bakar) yang kita isikan ke dalamnya,
semakin lama ia akan terbang, tak pernah berkata 'cukup', tidak! Sebanyak yang
kita isikan ke dalamnya, ia akan terus terbang. Dan ruh-ruh kita dalam Hadirat
Ilahiah – jangan berpikir bahwa ruh-ruh terebut diam berhenti – mereka berlari
dan berenang melalui samudera-samudera yang tak terkira banyaknya. Semuanya itu
milik dari keabadian.
Karena
itu, adalah suatu perintah – untuk melakukan suhbat, asosiasi – kalian harus
menjaga jalur (hubungan) dengan mereka secara langsung. Hubungan itu akan
mengalir melalui wujud sejatimu. Jangan berpikir bahwa ini (tubuh wadag kasar
kita) adalah wujud kita yang sejati. Ini hanyalah suatu bayangan dari wujud
sejatinya. Wujud sejati tersebut, dunia ini tak mampu menampungnya. Karena
itulah, Pemimpin Malaikat Jibril ('alayhissalam)
kadang-kadang datang dalam bentuk seorang laki-laki, dan kita berkata Jibril ('alayhissalam) baru
datang. Apakah ia meninggalkan maqam (posisi)nya dan datang ke sini? Saat ia
datang pada Nabi, apakah maqamnya kosong ia tinggalkan? Apakah ia datang dengan
wujud sejatinya? Bagaimana mungkin? (Apa yang nampak datang) hanyalah
perwakilan (dari wujud sejatinya), sebagai suatu bayangan dalam bentuk seorang
laki-laki. Wujud sejatinya tak pernah bergerak ke sini dan ke sana dari Hadirat
Ilahi. Tak pernah! "Tak seorang pun yang matanya dapat melihat ke
sana-sini!" Apakah kalian pikir bahwa adalah wujud sejati Penutup para
Nabi sallAllahu 'alayhi
wasallam yang pernah bersama kita (saat beliau hidup, red)?
Bagaimana mungkin dunia ini dapat menampungnya? Seluruh ciptaan akan lenyap
jika wujud sejati beliau termanifestasikan untuk eksis di sini. Tak ada lagi
ciptaan, segala sesuatunya akan lenyap dalam samudera-samudera beliau, tak ada
yang akan pernah muncul. Tetapi segala sesuatunya, melalui Hikmah Ilahiah,
telah diatur dan diprogram. Tak seorang pun tahu bagaimana keadaannya dan
bagaimana ia wujud, tidak! Kita berada pada maqam kedudukan kita, dan Firman
Ilahiah datang mula-mula pada Rasulullah sallAllahu
'alayhi wasallam dan kemudian pada kita. Jika seandainya Nabi sallAllahu 'alayhi wasallam
tidak menjadi perantara (mediator), Wahyu Ilahiah akan membakar segala
sesuatunya di muka bumi ini.
[Syaikh
membaca ayat]
"Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quraan ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.." [Surat al-Hashr, 21]
Karena
itulah, orang-orang jahil yang berpikiran sempit itu masih pula mengatakan
bahwa Sayyidina Muhammad sallAllahu
'alayhi wasallam hanya seperti seorang tukang pos – hanya membawa
dan menyampaikan suatu pesan. Betapa bodohnya! Dan kebodohan ini kini menjalar
ke seluruh dunia Islam, di Timur dan di Barat. Mereka sama sekali tak memahami
hikmah diutusnya Sayyidina Muhammad sallAllahu
'alayhi wasallam dan karunia Qur'an Suci bagi beliau. Gunung-gunung
tak mampu memikul (beban ini); tapi, hanya kalbu dari ia yang paling berkilau
bercahaya dan paling mulia-lah yang mampu untuk memikul berat dari Wahyu Ilahiah.
Bagaimana mungkin kalian mengatakan bahwa ia telah habis dan mati sekarang,
kemudian kita bisa bersama Allah tanpa Muhammad sallAllahu 'alayhi wasallam? Kebodohan macam
apa ini yang kini kita tengah berada di dalamnya?
Karena
itu, begitu banyak masalah berdatangan pada orang-orang itu. Ya, memang ini
adalah suatu samudera yang demikian dalam yang kami tengah coba untuk tunjukkan
bagimu; kita tak mampu mencapainya. Aba Yazid al-Bisthami – semoga Allah
merahmatinya, dan semoga cahaya-cahaya dari samuderanya menerangi kalbu-kalbu
kita. Qalbu-qalbu yang bercahaya, itulah qalbu-qalbu yang hidup! Qalbu dan hati
yang tak bercahaya, itulah hati yang mati, qalbu yang terkunci. Karena itulah,
qalbu-qalbu dari begitu banyak ulama besar tengah terkunci. Mereka tidak
memahami apa yang kalian katakan. Terkunci! Allah membuka qalbu dan hati kita
pada Awliya'-Nya. Kita memohon agar saat kita berbicara tentang Awliya', agar
mereka mengaruniakan pada kita sesuatu, yang sesuai dengan kebutuhan kita.
Karena itu, inilah yang disebut 'rabithah'
– koneksi dari qalbu ke qalbu. Saat kalian melakukan 'rabitah' [6],
cahaya-cahaya Ilahiah yang dianugerahkan pada Wali tersebut, Grand Wali, atau
Nabi, atau Grand Nabi, atau Khatm
ul-Anbiya' [7], akan mengalir melalui qalbu kalian, dan kalian akan
tercahayai olehnya.
Saat kita
melihat ke langit di waktu malam, kita melihat bintang-bintang yang bercahaya;
tapi, ada pula miliaran bintang yang tidak bercahaya, karena 'nur' itu tidak datang
pada mereka. Dan hal ini serupa pula pada manusia. Makhluk-makhluk Langit
tengah melihat manusia dan memperhatikan siapakah di antara manusia tersebut
yang bercahaya dan berkilau – sama seperti ketika kita melihat bintang-bintang
yang berkilau di langit. Karena itu, 'rabitah',
koneksi, hubungan, adalah medium yang paling penting untuk meraih cahaya-cahaya
surgawi. Siapa yang menyangkal hal ini akan terputus, tak ada cahaya yang
datang ke qalbu mereka – habis! Orang-orang, karena itu, kini tengah berada
dalam kegelapan, karena mereka tidak memiliki hubungan dengan 'orang-orang
langit' atau dengan hamba-hamba Allah yang bercahaya yang hidup di dunia ini di
antara kita. Kebanyakan orang kini tidak peduli lagi, mereka tidak tertarik,
dan mereka senang untuk hidup dalam kegelapan mereka, dalam 'dunya' mereka yang
gelap. Sama seperti burung-burung malam (kelelawar) yang senang untuk berada
dalam kegelapan malam. Mereka tak suka untuk keluar di siang hari, karena
mereka tak menyukai cahaya. Dan kini, 99% orang-orang di bumi tidak mau mencari
cahaya-cahaya surgawi agar diri mereka pun bercahaya, dan mereka pun senang
berada dalam dunia yang gelap, dalam suatu atmosfer yang gelap. Karena itulah
mereka melakukan begitu banyak hal, yang jika mereka dapat melihatnya, tentu
mereka tak akan mau melakukannya. Jika hati mereka tercahayai, mereka tak akan
berkelahi, tak akan bertengkar dan tak akan mengeluh. Mereka akan berbahagia
dengan apa yang telah dikaruniakan pada mereka dari Sang Pencipta, Rabb as-Samaawaati. Tapi,
kegelapan telah mencegah dan menghindarkan mereka dari mencapai titik itu,
karena mereka tak mau mencari hubungan ke dunia spiritual (ruhaniyya) atau hubungan
dengan spiritualitas dan makhluq-makhluq surgawi di muka bumi atau di langit.
Itulah masalahnya. Semua orang-orang yang hidup dalam atmosfer gelap ini, yang
tak mau meminta hubungan dengan makhluk-makhluk surgawi, dengan wujud spiritual
makhluk-makhluk itu, semua orang-orang ini adalah pembuat masalah.
Semoga
Allah mengampuni saya, dan memberikan pada kita pemahaman yang baik, karena ini
adalah suatu hal penting yang mesti diketahui bangsa-bangsa. Seluruh bangsa dan
negara telah memutuskan hubungan mereka dengan makhluk-makhluk langit, mereka
menyangkal keberadaannya, mereka menyangkal kenabian (nubuwwah) dan kewalian (wilayah), dan segala
sesuatunya yang terkait dengan Langit, dan mereka terjatuh dalam dunia yang
gelap. Dunia gelap, ke mana pun mereka berlari, mereka hanya akan menjumpai
kegelapan dan masalah.
Allah!
Allah! Ya Rabb! Ampuni kami, Ya Rabb! Kami memohon ampun dan maaf dan
barakah-Mu. Demi kehormatan dari ia yang paling terhormat dalam Hadirat
Ilahiah-Nya, Nabi Muhammad sall-Allahu
'alaihi wasallam – al-Faatihah!
===============
Catatan Kaki
[1] Quran
Surat Al-Kahfi (18) ayat 109
[2] Sultanul 'Arifin bermakna
pemimpin dari mereka yang mengenal Allah; suatu gelar yang lazim dinisbatkan
pada Syaikh 'Aba Yazid al-Bistami
[3] maqam secara literal
bermakna stasiun atau kedudukan, posisi seseorang di Hadirat Ilahi
[4] Wa ladayna maziid, secara
literal bermakna dan di sisi Kami selalu bertambah. Karunia Allah SWT bagi Nabi
sallAllahu 'alayhi wasallam
selalu bertambah setiap saat.
[5] kasyf adalah suatu
terminologi dalam ilmu tasawwuf yang bermakna tersingkapnya hijab antara
seseorang dengan kegaiban.
[6] rabithah, secara literal
bermakna ikatan; suatu istilah ilmu tasawwuf melukiskan ikatan hati karena
cinta suci, antara seorang murid dengan Syaikh Mursyid pembimbingnya
[7] Khatm ul-Anbiya' bermakna
Penutup para Nabi atau Stempel para Nabi, suatu gelar bagi Rasulullah Muhammad sallAllahu 'alayhi wasallam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar