Beringin Tidak Akan Tumbang
Oleh: Bambang Soesatyo
Eksistensi Partai Golkar akan selalu terjaga. Partai berlambang
pohon beringin ini tak akan pernah terbelah, apalagi tumbang. Ibarat beringin
yang usianya mencapai ratusan tahun, Partai Golkar pun akan selalu mengawal
perjalanan sejarah NKRI, kini hingga dekade-dekade mendatang. Apa yang tengah
dihadapi Partai Golkar (PG) saat ini tak lebih dari sebuah ujian zaman. Karena
di tubuh partai politik (parpol) selalu sarat kepentingan kelompok, parpol lain
pun akan mengalami ujian yang sama.
Ketika pada saatnya nanti Megawati Soekarnoputri memutuskan mundur
dari panggung politik dan mengakhiri era kepemimpinannya di Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP), proses regenerasi kepemimpinan PDIP pun belum
tentu mulus. Gesekan faksi-faksi tak akan terhindarkan.
Begitulah sejatinya dinamika parpol. Sepanjang pekan terakhir
November 2014 pemberitaan pers dalam negeri marak dengan tema “Golkar
Terbelah”. Tema itu mengacu pada fakta perbedaan tajam tentang jadwal
Musyawarah Nasional (Munas) IX PG, antara Ketua Umum PG Aburizal Bakrie dan
sejumlah figur calon ketua umum. Beragam komentar dan prediksi pun bermunculan.
Kekuatan PG diprediksi meredup, sehingga tak mampu berbuat banyak
pada Pemilihan Umum 2019. Memuncaknya persoalan internal PG yang ditandai
dengan tampilnya Presidium Penyelamat PG sebenarnya merupakan ujian kedua di
era reformasi, setelah yang pertama pada 1999. Sampai di sini, bisa disimpulkan
bahwa Golkar menghadapi ujian berat setiap kali bangsa dan negara menyongsong
perubahan-perubahan strategis.
Pada 1999, awal reformasi, Golkar pun harus berjuang ekstrakeras
untuk menjaga eksistensi. Tahun ini, ketika rakyat mulai proaktif mencari figur
pemimpin, PG kembali menghadapi ujian itu. Dibandingkan tahun ini, ujian Golkar
pada 1999 jauh lebih berat karena yang dihadapi adalah sikap tidak suka publik.
Berakhirnya era Orde Baru (Orba) saat itu melahirkan dampak teramat buruk bagi
Golkar.
Tekanan terhadap Golkar datang dari masyarakat. Tak hanya mencaci
maki, publik bahkan menuntut Golkar dibubarkan karena posisinya sebagai
penopang Orba. Di masa transisi reformasi itu, terjadi juga polarisasi di tubuh
Golkar. Ada kelompok yang masih mendukung sisa-sisa kekuatan Orba, berhadapan
dengan kekuatan-kekuatan reformis.
Polarisasi itu berakhir di forum musyawarah nasional luar biasa
Golkar, yang melahirkan figur Akbar Tanjung sebagai ketua umum (1998-2004) yang
kemudian mendeklarasikan evolusi Golkar menjadi Partai Golkar. Saat itu PG
diperkirakan hanya bisa bertahan sebagai partai kecil. Perkiraan itu salah
total. Pada pemilihan umum 1999, Partai Golkar meraih dukungan 22,44% dari
total pemilih, dan berstatus sebagai partai pemenang kedua setelah PDIP.
Perolehan ini menggambarkan bahwa infrastruktur PG tetap solid di
tengah empasan badai. Apakah badai yang mengguncang PG tahun 1999 sama
dahsyatnya dengan badai tahun ini? Jelas tidak, bahkan sangat berbeda.
Guncangan sekarang muncul dari internal karena tarikan faktor eksternal.
Pengertian faktor eksternal pun bukan tekanan publik, melainkan kejahilan
unsur-unsur kekuasaan.
Karena guncangan itu berdaya rusak kecil, PG tidak akan terbelah,
apalagi tumbang. Semua kekuatan politik di negara ini mengakui bahwa PG adalah
parpol besar yang kuat dan sarat pengalaman. Konstruksi organisasinya kokoh dan
mampu merespons tantangan zaman dengan sigap tepat. Pengakuan itu benar adanya.
Karena itu, PG akan mampu menyelesaikan persoalan internalnya,
termasuk guncangan yang sedang dihadapi PG saat ini. Semua unsur kekuatan utama
di tubuh PG, pada akhirnya nanti, akan duduk satu meja, mencari dan merumuskan
format penyelesaian masalah yang dilandasi semangat musyawarah dan mufakat.
Sentimen tentang potensi terbelahnya PG yang begitu membahana akhirakhir ini
harus dilihat sebagai ancaman yang justru ingin dihindari oleh semua faksi di
tubuh PG. Dengan begitu, jelas bahwa Golkar sejatinya tidak pernah terbelah.
Provokatif
Posisi pemerintah dalam menyikapi persoalan internal PG sangat
memalukan. Terlihat betapa pemerintah tidak bisa menahan diri untuk melakukan
intervensi. Juga tidak cerdas. Sebab, intervensi Menko Polhukam terhadap
masalah internal PG begitu nyata. Sikap dan posisi Menko Polhukam patut
dikatakan sangat tercela.
Sebab, tampak jelas bahwa dia cenderung memihak pada faksi-faksi
tertentu di dalam tubuh PG. Ketika mendesak Polri untuk tidak menerbitkan izin
bagi PG melaksanakan Munas IX di Bali, Menko Pulhukam secara tidak langsung
telah memprovokasi Presidium Penyelamat PG untuk mengeskalasi perlawanan mereka
terhadap DPP PG yang dipimpin Aburizal Bakrie. Presidium penyelamat memang
menghendaki Munas dilaksanakan pada 2015.
Dengan begitu, makna dari pernyataan Menko Polhukam adalah
dukungan kuat pemerintah kepada Presidium Penyelamat PG yang dipimpin Agung
Laksono. Akibat dukungan itu, suasana internal PG makin keruh. Sebagai Menko
Polhukam, sikap dan pernyataan itu jelas tidak etis.
Bagaimanapun, itu mencerminkan sikap pemerintah. Karena itu,
Presiden Jokowi Widodo patut memberi teguran keras kepada Menko Polhukam yang
jelas-jelas telah melakukan intervensi. PG masih menunggu seperti apa sikap dan
reaksi Presiden Jokowi atas perilaku tidak etis Menko Polhukam itu. Kini, bagi
sejumlah kader PG, persoalannya bukan lagi sekadar intervensi itu.
Mereka melihat ada target besar yang sedang dirancang
kekuatan-kekuatan politik besar untuk memarginalkan eksistensi PG dalam
percaturan politik di masa depan. Cara yang dipilih adalah mencoba
menghancurkan PG hingga berkeping-keping pada era kepemimpinan Aburizal Bakrie.
Menyadari potensi ancaman itu, banyak kader yang bukan hanya fokus melawan
intervensi pemerintah itu, melainkan juga melakukan perlawanan terhadap siapa
saja yang coba menghancurkan PG.
Kalau Presiden Jokowi mendiamkan perilaku tercela Menko Polhukam
itu, mungkin saja Presiden menjadi bagian dari kekuatan politik yang ingin
menghancurkan PG. Idealnya, pemerintah tidak buru-buru menyikapi persoalan
internal PG. Apalagi, penyikapan pemerintah pada dasarnya memang tidak dibutuhkan.
Dalam rentang waktu yang pendek, pemerintah sudah melakukan dua blunder yang
memalukan.
Selain intervensi terhadap PG, Menkumham juga sempat memperuncing
persoalan internal di tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pemerintah
seharusnya memberi ruang seluas-luasnya bagi parpol untuk melaksanakan
agenda-agenda kepartaian. Bagaimanapun, peran strategis parpol tak boleh
dianggap remeh. Dalam kaitan rencana PG melaksanakan munas di Bali misalnya,
pemerintah seharusnya justru membantu agar agenda munas itu bisa berjalan
lancar dan aman.
Kalau benar ada “lubang” atau ancaman sebagaimana disinyalir oleh
Menko Polhukam, sudah barang tentu menjadi kewajiban pemerintah, termasuk
pemerintah daerah dan aparat keamanan daerah, untuk mengeliminasi ancaman itu.
Kalau sekadar membuat pernyataan tanpa berupaya mengeliminasi ancaman itu, sama
artinya Menko Polhukam membiarkan ancaman itu untuk mengganggu munas PG di
Bali.
Cara berpikirnya jangan dibalik-balik. Akhirnya, pemerintah
sebaiknya membiarkan PG dan kader-kadernya menyelesaikan persoalan internal
partai. Yakinlah, intervensi siapa pun tak akan pernah bisa menumbangkan
beringin Golongan Karya. []
KORAN SINDO, 02 Desember 2014
Bambang Soesatyo ; Wakil Bendahara
Umum DPP Partai Golkar; Sekretaris Fraksi Golkar DPR RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar